Februari 2008


Hampir di setiap  kuliah yang berkait dengan topik “Motivasi”,saya suka bertanya pada mahasiswa. Pertanyaannya “seberapa jauh pentingnya uang sebagai unsur motivasi untuk bekerja?”. Hampir serentak dijawab bahwa uang atau gaji/upah adalah sebagai unsur utama mengapa mereka mau bekerja. Tetapi ketika saya melanjutkan pertanyaan “apakah uang masih menjadi unsur utama ketika berada dalam lingkungan kerja kurang nyaman karena gaya kepemimpinan otoriter dari sang manajer” maka para mahasiswa terdiam. Sejenak setelah mendengar pertanyaan saya, beberapa mahasiswa berpendapat uang bukanlah segalanya. Atau seperti ungkapan yang lucu sekaligus membingungkan yakni bagi karyawan uang adalah bukan  segalanya. Yang penting saya bisa bekerja dan tidak jadi penganggur. Namun pada waktu yang sama mereka bilang uang segalanya. Tidak bisa nyaman kerja kalau tidak ada uang cukup. Munafikinkah sang karyawan? Tidak juga. Disini  kedudukan uang ternyata sangatlah situasional.

Frederich Herzberg sendiri menempatkan uang atau gaji bukanlah sebagai unsur motivasi kerja. Kedudukannya adalah sebagai unsur kepuasan kerja atau pemeliharaan sama dengan kebijakan perusahaan, lingkungan kerja, dan hubungan antarkaryawan. Sementara unsur motivasi adalah pengakuan, prestasi, tanggung jawab, peluang maju, dan pekerjaan itu sendiri. Dengan kata lain kalau gaji relatif rendah seharusnya tidaklah menurunkan motivasi namun hanya menurunkan kepuasan kerja. Kalau begitu apa sebenarnya yang dibutuhkan karyawan? Mereka berharap perusahaan seharusnya memiliki rencana pensiun bagi karyawan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, uang pensiunan, dan atau pesangon. Tujuan bagi perusahaan untuk mencegah terjadinya ketidak-puasan kerja dan tingkat perputaran kerja (masuk-keluar karyawan) yang tinggi.

Kembali pada posisi uang, kita bisa berhipotesis yaitu semakin tinggi status kerja seseorang karyawan semakin tidak menempatkan uang sebagai unsur kepuasan kerja. Bagi mereka yang sudah berada pada posisi manajer ke atas,yang dibutuhkannya adalah hak otonomi dalam pengambilan keputusan. Memang uang dari gaji mereka sendiri relatif sudah besar. Sementara itu bagi karyawan tingkat subordinasi, posisi uang menjadikan unsur kepuasan tertinggi ketimbang hak otonomi. Mereka tidak peduli dengan otonomi. Yang penting bagaimana punya uang untuk mencukupi kebutuhan dasarnya. Karena itulah fenomena keseharian yang kita lihat dan dengar dari demonstrasi para karyawan selalu berawal dari protes uang gaji yang tidak cukup. Sementara,  hampir tidak pernah mendengar ada demonstrasi dari kalangan manajemen menengah.

Rasa malu adalah fenomena yang biasa, alami, dan bisa terjadi pada siapa saja. Yang membedakannya hanya dalam hal derajat dan lingkupnya saja. Ada yang rasa malu hanya untuk bertemu memperkenalkan diri dengan bosnya yang baru. Ada juga yang malu campur segan dan bahkan gugup kalau berada di tengah-tengah kerumunan orang. Menurut Philip G.Zimbardo dalam Ranjit Singh Malhi (Enhancing personal quality;2004), penelitian menunjukkan empat dari sepuluh orang ketika saling bertemu  memiliki rasa malu bahkan bersifat kronis. Penelitian juga mengindikasikan bahwa baik perempuan maupun pria memiliki derajat rasa malu yang sama.

          Rasa malu seseorang cenderung dapat menghambat proses komunikasi dalam pergaulan sosial. Untuk beberapa hal bisa jadi rasa malu bisa menjadi masalah besar. Mereka merasa tidak nyaman dalam tiap kegiatan sosial khususnya karena mereka tidak mengenal orang di sekitarnya dengan baik. Ada juga rasa malu ketika berada pada situasi tertentu misalnya berbicara di depan publik, bertemu dengan orang asing, dengan jenis seks yang lain, dan dengan orang yang berstatus superior.

Perilaku yang terkait dengan rasa malu antara lain keengganan untuk berbicara, ketidak-mampuan berpidato, kesulitan dalam bertatap mata, dan cenderung sering gugup. Gejala fisiknya antara lain tangan berkeringat,jantung berdebar cepat, gemetaran, muka merah padam, perut mulas, dan mulut terasa kering. Orang yang pemalu biasanya juga mengalami perasaan tidak aman, dan rasa rendah diri.Penyebab utama terjadinya rasa malu karena kurangnya kecerdasan sosial yang dimiliki pemalu. Umumnya mereka tidak tahu seni memperkenalkan dirinya dan memulai suatu percakapan, kurang memiliki ketrampilan mengetengahkan bahasa tubuh, dan tidak tegas. Dengan kata lain sang pemalu umumnya tidak pernah mengetahui bagaimana seharusnya berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Selain kecerdasan sosial, penyebab rasa malu antara lain adalah unsur rendahnya harga diri, pengalaman buruk masa lalu, dan pengalaman tak menyenangkan, kondisi fisik yang kurang sempurna, serta lingkungan keluarga yang kurang nyaman dalam berinteraksi.

Apa konsekuensi bagi orang yang memiliki rasa malu  kronis? Pemalu akan menemukan kesulitan untuk bertemu dengan orang baru atau tidak dikenal, sulit untuk mencari teman baru, kurang mampu mengekspresikan pendapat atau gagasan, tidak tegas bereaksi kalau ada permintaan atau penilaian diri dari orang lain, kesulitan berpikir jernih dan berkomunikasi secara efektif, dan ekstremnya rasa malu yang berat mengarah pada perasaan negatif atau depresi, ketidak-sadaran, dan rasa kesepian.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemalu?. Antara lain yang dapat dilakukan adalah (1) mengetahui penyebab rasa malu yang kronis, (2) membangun rasa percaya diri dengan mengerjakan sesuatu yang menantang, (3) belajar menerima dan menyukai diri sendiri atau jadilah diri sendiri, (4)  belajar untuk tegas dalam merespon, (5) keluarlah dari ”persembunyian” dan mulailah untuk kontak dengan orang lain sekarang juga, (6) belajarlah seni berbincang-bincang dengan orang lain, (7) mengamati orang-orang yang sukses dan pelajarilah teknik dalam membangun hubungan dengan orang lain, dan (8) menghindari keinginan menjadi perfeksionis.

Dalam artikel terdahulu telah diuraikan karakteristik karyawan yang tergolong sulit yang disebut pengidap “negaholic”. Jika manajer memiliki karyawan bertipe ini maka ada beberapa kemungkinan yang dilakukannya. Mungkin ada yang memindahkannya ke bagian atau departemen lain. Idealnya sang manajer menolongnya agar karyawan tersebut menjadi orang yang berfungsi dan produktif. Kalau itu berhasil dengan baik maka pendekatan yang dilakukan manajer itu akan dipakai menjadi contoh pendekatan untuk memperbaiki karyawan lainnya yang juga termasuk sulit.Tentunya dengan modifikasi karena tak ada karyawan yang bersifat homogen secara total. Namun bisa jadi ada manajer yang mengambil keputusan ekstrem yakni memecatnya kalau setelah beberapa kali perlakuan perbaikan tak ada hasilnya yang positif. Lalu bagaimana pendekatan secara umum yang seharusnya dilakukan manajer?

Hal pertama yang perlu dilakukan manajer adalah melakukan identifikasi apakah benar sang karyawan termasuk orang yang sulit. Ini penting agar manajer tidak membuat kesalahan besar dalam mengambil keputusan. Jangan cepat berprasangka buruk.Bisa saja seseorang tampak dari luar sebagai orang yang sulit diajak kerjasama. Padahal dia mungkin sedang mengalami kesulitan atau masalah tertentu dan dia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Biasanya orang yang sedang bermasalah bersifat sensitif dan mudah ”menyerang” koleganya. Jadi harus hati-hati dan jangan segera mengisolasinya. Artinya kalau sudah  memahami apa yang terjadi pada orang itu maka sebaiknya manajer melakukan kontak dengan yang bersangkutan. Ketika itu manajer bisa melakukan interograsi tentang masalah yang dihadapi karyawan dan dilanjutkan dengan mencari pemecahan masalahnya.

Hal kedua adalah menelaah apakah masalahnya dapat diatasi dengan diam-diam? Hal ini penting diketahui karena tipe masalah seperti ini berdampak pada aspek psikologis. Karena itu ada baiknya tidak dilakukan secara terbuka sampai-sampai diketahui oleh kolega karyawan lainnya. Yang perlu dihindari adalah agar para karyawan yang tergolong sulit tidak kehilangan muka apalagi merasa dendam kalu diperlakukan secra terbuka.

Dalam tahap berikut manajer sebaiknya melakukan pengelompokan jenis kesulitan dan sejauh mana bobotnya berpengaruh pada kinerja individu dan juga perusahaan. Semakin ringan bobot dan lingkup masalahnya semakin mudah dan semakin singkat waktu yang dipakai dalam pemecahannya. Kalau masalahnya relatif ringan bisa ditangani sendiri oleh manajer. Namun kalau dimensinya semakin kompleks, manajer bisa menggunakan jasa para psikolog dan praktisi hukum, misalnya,untuk membantu mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang dihadapi karyawan. Yang jelas dalam tahap ini manajer jangan menunda-nunda mengatasi masalah. Sekali menunda akan berakibat berkali-kali menghadapi masalah yang semakin bertumpuk yang dialami para karyawan yang tergolong sulit. Tentunya juga masalah yang bakal dihadapi manajer semakin menggunung.

Hal keempat adalah bagaimana yang perlu dilakukan manajer? Salah satu substansi yang perlu dipenuhi adalah tidak pernah berhenti mengatasi para karyawan yang termasuk sulit. Tak ada istilah hanya satu tiket atau resep untuk memindahkannya ke departemen lain atau bahkan memecatnya. Jangan mudah menyerah menghadapi karyawan yang sulit. Pada dasarnya perilaku manusia terkena hukum perubahan. Tinggal lagi apa dan bagaimana bentuk pendekatan masalah yang dianggap sesuai dengan beragam masalah dan karakter golongan karyawan yang sulit. Pendekatan komunikasi multiarah, pendekatan imbalan finansial dan non-finansial, pendekatan dinamika kelompok dan resolusi konflik serta pendekatan kekeluargaan adalah beberapa cara yang dapat dipertimbangkan untuk mengurangi jumlah karyawan yang tergolong berperilaku sulit.   

Adanya beberapa sikap negatif di antara karyawan atau bahkan manajer di tempat kerja adalah hal yang lazim. Bahkan untuk beberapa orang mungkin bisa menjadikan suasananya seperti gejala epidemik. Dalam artikel ini “negaholic”, arti kasarnya, adalah kecanduan berbuat negatif. Sifat  perilaku negatifnya adalah dalam bentuk dis-fungsional, kontraproduktif, dan mudah menular. Mungkin kita pernah melihat ada karyawan atau staf dalam rapat berespon terhadap gagasan seorang manajer dengan berucap “Oooo tak mungkin itu dapat dikerjakan; itu ide konyol, dan saya tak akan mengerjakannya; terserah”. Apa saja karakteristik dari “negaholic”?

Beberapa karakteristik dari  orang berperilaku negatif adalah (Marilyn Pincus, 2004, Managing difficult people):

(1).Mereka biasanya menyendiri di lingkungannya saja. Jarang terlibat berpartisipasi dalam kegiatan kelompok yang lebih besar. Jika mereka ditekan untuk mengerjakan sesuatu, moral kelompok akan goyah.

(2).Mereka sering mementingkan dirinya sendiri. Hampir-hampir tidak pernah mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan orang atau kelompok lain.

(3).Tidak pernah mengerjakan sesuatu sampai berhasil walaupun merekalah yang bertanggung jawab.

(4).Sikap  yang paling nyata adalah sering berulah “saya tidak dapat”, bukan ”saya dapat”.

(5).Sebagian besar waktu digunakan untuk mencela majikan mereka dan tiap keputusan bisnis yang dibuat.

(6).Kehidupan pribadinya cenderung dis-fungsional dan lebih senang melihat  rekan karyawan lainnya susah hati. Motonya “Misery loves company”.

(7).Menghindarkan diri dari resiko. Meminta mereka untuk bekerja di luar zona mereka yang menyenangkan adalah hampir mustahil.

(8).Mereka cenderung fokus pada hal-hal negatif ketika  orang lain terlihat cerah ceria.

(9).Mereka mencari situasi “lose-lose” ketimbang situasi “win-win”.

(10). Mereka kapan pun cenderung suka berahasia dan menghindari berkomunikasi dengan orang  lain.

(11).  Mereka kadang-kadang menderita dari kehidupan murung dan hanya sekejap saja merasa bahagia namun kemudian kembali hanyut dalam kesusahan hati.

(12). Mereka kerap ingin menguasai situasi dan mencari kesempatan untuk membuat kacau suatu kegiatan. Namun ketika mereka berhasil lalu mereka cepat menyalahkan orang lain.

(13). Mereka adalah pengambil keputusan berdasarkan dorongan hati dan biasanya membuat keputusan salah.

   Ketika manajer menghadapi orang atau kelompok orang yang tergolong “negaholic” di atas maka diperlukan analisis dan pendekatan  masalah yang mendalam. Untuk itu perlu ditelaah beberapa hal yaitu apakah kelompok itu benar-benar sangat menyulitkan lingkungan kerja? Apakah masalah itu  bisa diatasi?; Apakah masalah itu hanya menjadi perhatian manajer ataukah perhatian pihak pimpinan yang lain? Dan bagaimana manajer bisa menolong orang bertipe “negaholic”?.Insya Allah akan diuraikan dalam artikel yang lain.   

Tidak jarang para karyawan merasa kecewa karena dinilai tidak memiliki kinerja yang standar. Mereka menganggap telah terjadi manipulasi data oleh  penilai. Bisa saja itu terjadi kalau penilaian kinerja terhadap karyawan dilakukan dengan ukuran subyektif. Dengan kata lain  terjadi peluang munculnya bias. Di sini, bias merupakan distorsi pengukuran yang tidak akurat. Meskipun pelatihan bagaimana melakukan penilaian kerja dapat mengurangi bias, maka bias sering terjadi ketika penilaian tetap tidak lepas dari unsur emosional para penilai. Bentuk bias penilai meliputi hal – hal berikut.

Hallo Effect

Bias ini terjadi ketika opini personal penilai terhadap karyawan mempengaruhi ukuran kinerja. Sebagai contoh, jika seorang penilai menyukai seorang karyawan, maka opini tersebut bisa jadi mengalami distorsi estimasi terhadap kinerja karyawan itu. Masalah ini sering meringankan atau memberatkan ketika para penilai harus menilai karakter kepribadian teman–teman mereka, atau seseorang yang sangat tidak disukainya.

Kesalahan Kecenderungan Penilaian Berlebihan

Beberapa penilai tidak menyukai untuk menilai karyawan apakah dalam kondisi efektif atau  dalam kondisi rata–rata. Dalam bentuk penilaian, distorsi ini menyebabkan para penilai untuk menghindari penilaian ekstrem, seperti nilai amat buruk dan sempurna. Sebagai gantinya mereka menempatkan angka–angka penilaiannya dekat dengan rata–rata. Inilah yang disebut bias atau kesalahan menilai. Padahal ini mengakibatkan kerugian pada karyawan yang memang secara obyektif memiliki kinerja tinggi.

Bias Kemurahan dan Ketegasan Hati

Bias kemurahan hati terjadi ketika para penilai cenderung begitu mudah dalam menilai kinerja para karyawan. Beberapa penilai melihat semua karyawan adalah baik dan memberikan penilaian yang menyenangkan. Bias ketegasan hati merupakan hal yang sebaliknya. Hal itu merupakan hasil dari para penilai yang begitu keras dalam evaluasinya. Sering disebut “kikir” dalam menilai. Kedua bentuk bias ini lebih umum terjadi ketika standar kinerja tidak jelas.

Bias Lintas Budaya

Tiap penilai memiliki harapan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada budayanya. Ketika orang–orang diharapkan untuk mengevaluasi yang lainnya dari kultur yang berbeda, mereka mungkin menggunakan harapan budayanya kepada seseorang yang memiliki kepercayaan atau perilaku yang berbeda. Dengan keragaman budaya yang lebih besar dan tingginya mobilitas karyawan melintas batas internasional, sumber bias potensial menjadi lebih mungkin muncul.

Prasangka Personal (Contrast Effect)

Ketidaksukaan penilai terhadap sebuah kelompok orang dapat mendistorsi penilaian yang orang terima. Sebagai contoh, beberapa departemen SDM telah memperhatikan penyelia pria boleh jadi memberikan penilaian rendah yang tidak semestinya diberikan pada perempuan yang memegang pekerjaan atau jabatan yang secara tradisi dipegang kaum laki–laki. Kadang–kadang para penilai tidak sadar akan prasangkanya, dan hal ini membuat bias lebih sulit untuk dibatasi. Meskipun demikian, para ahli hendaknya memberi perhatian dalam membuat pola penilaian tanpa adanya unsur prasangka. Prasangka akan mengabaikan penilaian efektif dan dapat melanggar hukum antidiskriminasi.  Hal ini akan melanggar persamaan hak dalam pekerjaan.

Bagaimana mengurangi bias penilai? Manakala ukuran kinerja yang subyektif harus digunakan, bias dapat dikurangi melalui pelatihan, umpan balik, dan teknik seleksi kinerja yang lebih baik. Ada tiga langkah pelatihan untuk para penilai, yaitu (1) bias dan penyebabnya harus jelas, (2) peranan keputusan tentang penilaian kinerja terhadap karyawan harus dijelaskan untuk menekankan kebutuhan akan kejujuran dan obyektif, dan  (3) jika ukuran–ukuran subyektif digunakan, para penilai harus menggunakannya sebagai bagian dari pelatihan. Sebagai contoh, pelatihan di ruang kelas membutuhkan evaluasi terhadap pelatih atau video-tape untuk menunjukkan situasi pekerja dan pekerjaan. Kesalahan kesalahan yang tidak kelihatan selama evaluasi simulasi kemudian dapat dibetulkan melalui tambahan pelatihan atau konseling.

 Sekali ukuran subyektif telah dibahas dan  masuk dalam praktik, para penilai harus memperoleh umpan balik tentang penilaian sebelumnya. Apakah penilaian terbukti secara relatif akurat atau tidak akurat. Umpan balik akan membantu para penilai menilai perilaku mereka secara lebih tepat. Departemen SDM juga dapat mengurangi distorsi melalui penyeleksian teknik penilaian kinerja yang hati–hati. Fokusnya pada teknik penilaian terhadap kinerja masa lalu dan kinerja masa depan. Umpan balik dapat terjadi ketika yang dinilai berhak untuk memprotes jika hasil penilaiannya dianggap tidak adil.  

          Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988), “pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam”.Ciri-ciri pertanian berkelanjutan:

v      Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal digunakan secara ramah  dan yang dapat diperbaharui.

v      Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dan dapat melestarikan sumberdaya alam dan meminimalisasikan risiko.

v      Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan disistribusikan sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai, dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan, di lapangan dan di masyarakat.

v      Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia, tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat.

v      Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan ubahan kondisi usahatni yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan, permintaan pasar, dll.          

        Anggap saja sistem pertanian berkelanjutan dipandang sebagai suatu paradigma ilmu. Sistem pertanian berkelanjutan sebagai paradigma ilmu membuat khalayak yang mempercayainya hendaknya (a) mengetahui apa yang harus dipelajarinya, (b) apa saja pernyataan-pernyataan yang harus diungkapkan, dan (c) kaidah-kaidah apa saja yang harus dipakai dalam menafsirkan semua jawaban atas fenomena pertanian berkelanjutan. Dalam  perspektif falsafah ilmu berikutnya, suatu paradigma ilmu pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana, apa dan untuk apa.         

        Tiga pertanyaan di atas dirumuskan menjadi beberapa dimensi yaitu:

(a)   dimensi ontologis yaitu apa sebenarnya hakikat dari sesuatu kejadian alam dan sosial ekonomi masyarakat yang dapat diketahuinya atau apa  hakikat dari setiap kejadian di sektor pertanian dan sistem pertanian berkelanjutan pertanian selama ini ditinjau sebagai ilmu; mengapa terjadi kerusakan lingkungan; bagaimana hubungan degradasi tersebut dengan sistem nilai masyarakat dan sistem nilai suatu kebijakan pembangunan; bagaimana sektor pertanian di Indonesia dinilai terpinggirkan ketimbang kebijakan industri manufaktur, sehingga terjadi transformasi struktural semu; dsb,

(b)   dimensi epistemologis yaitu apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu khususnya di bidang pertanian dengan fenomena obyek yang ditemukannya; bagaimana prosedurnya; hal-hal apa yang seharusnya diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem pertanian berkelanjutan yang benar; apa kriteria benar itu; tehnik dan sarana apa untuk mendapatkan pengetahuan sistem pertanian berkelanjutan sebagai suatu ilmu,

(c)   dimensi axiologis yaitu seberapa jauh peran sistem nilai dalam suatu penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan; untuk apa mengetahui sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana menentukan obyek dan tehnik prosedural suatu telaahan sistem pertanian berkelanjutan  dengan mempertimbangkan kaidah moral atau profesional;

(d)   dimensi retorik yaitu apa bahasa yang digunakan dalam penelitian sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana dengan bahasa yang dipakai sebagai alat berpikir dan sekaligus menjadi alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan jalan pikirannya kepada orang lain; bahasa yang dipakai seharusnya sebagai sarana ilmiah dan tentunya obyektif namun menafikan kecenderungan sifat emotif dan afektif;

(e)   dimensi metodologis yaitu bagaimana cara atau metodologi yang dipakai dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan sistem pertanian kaitannya dengan fenomena pertanian berkelanjutan; apakah deduktif atau induktif; monodisiplin, multidisiplin dan interdisiplin; kuantitatif atau kualitatif atau kombinasi keduanya;  penelitian dasar atau terapan.Berkaitan pula dengan sistem pertanian berkelanjutan, khususnya bagi yang berminat dalam kegiatan penelitian, diperlukan penerapan metodologi program penelitian.

        Meminjam pendapat Imre Lakatos dalam Mohammad Muslih (2005), ada tiga elemen yang harus diketahui dalam program penelitian.

o        Pertama adalah inti pokok yaitu asumsi-asumsi dasar yang menjadi ciri dari penelitian berbagai aspek yang terkait dengan sistem pertanian berkelanjutan.Kedudukannya sebagai dasar di atas elemen lain yang dicerminkan sebagai hipotesis umum dan kerangka teoretis yang bersifat umum. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah seperti mengapa dan bagaimana timbulnya  masalah degradasi lingkungan dan degradasi sosial ekonomi pertanian serta bagaimana peran masyarakat dalam kerusakan lingkungan fisik dan sosial-ekonomi (eksternalitas negatif) yang kemudian dijawab sementara dalam bentuk hipotesis berdasarkan teori dan empirik.

o        Kedua adalah sebagai lingkaran pelindung yang terdiri dari beberapa hipotesis awal atas terjadinya fenomena di sektor pertanian. Kedudukannya sebagai pelengkap inti pokok agar penelitian tentang pertanian mampu menerangkan dan meramalkan setiap fenomena pertanian berkelanjutan yang nyata. Disini sudah dimunculkan perlakuan bagaimana mengembangkan beragam varian yang kompleks dari suatu sistem pertanian, bagaimana memodifikasinya. Namun teori yang dipakai sebagai suatu struktur yang koheren dapat tetap terbuka untuk dikembangkan. Artinya penelitian sistem pertanian berkelanjutan tidak selalu berlangsung sekali jadi tetapi terbuka untuk penelitian lanjutan.

o        Ketiga adalah serangkaian teori  yaitu keterkaitan antara teori yang satu dengan teori lainnya. Penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan seharusnya dinilai dari serangkaian teori. Karena ciri fenomena pertanian berkelanjutan yang begitu kompleksnya maka dalam penelitian ini sudah dapat diduga teori yang digunakan meliputi antara lain teori ekonomimakro, ekonomimikro, teori ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, teori ekonomi produksi, teori perilaku konsumen, teori kebijakan lingkungan, kebijakan pertanian, teori ekonomi ketenagakerjaan, sosiologi, antropologi, ekologi manusia, kelembagaan dsb.  

Sumber: Tb Sjafri Mangkuprawira,2007, bahan kuliah Filsafat Sains Mahasiswa Doktor Program  Ekonomi  Pertanian IPB,Kelas Khusus.   

Dua minggu lalu saya mendapat sebuah buku yang bagus dari seorang mahasiswa kandidat doktor manajemen bisnis (bimbingan saya). Judulnya EPIC Change (How to Lead Change in the Global Age) yang ditulis oleh Timothy R.Clark (2007). Kata EPIC merupakan singkatan dari evaluate, prepare, implement, dan consolidate. Pemikiran perlunya strategi EPIC berangkat dari perkiraan apa yang bakal terjadi di era global. Perubahan di era itu membuat pemimpin organisasi, khususnya pengusaha lebih banyak menghadapi bahaya ketimbang sebelumnya. Tekanan global menciptakan gangguan terhadap pasar. Celakanya  seolah   tanpa belas kasihan. Lalu  siklus strategi menjadi lebih singkat, dan cepat usang. Ketegangan yang terjadi mendorong pengusaha untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam mengarahkan organisasi khususnya ketika menghadapi resiko yang semakin meningkat. Kalau tidak diarahkan maka resiko yang berat tersebut akan berakibat fatal yakni terjadinya kegagalan organisasi dan ketegangan personal.

Tantangan utama dari pengusaha yang berorientasi perubahan adalah bagaimana memelihara keunggulan kompetitif. Artinya jangan bertahan pada status quo. Para pengusaha harus mempercepat langkah perubahan sejalan dengan kondisi  gobal. Mereka harus  meningkatkan kesadaran para anggota organisasi sehubungan dengan ancaman di arena global. Kondisi internal akan menyingkapkan pemimpin yang tidak siap menghadapi perubahan adaptif. Semakin kuat posisi internal semakin berhasil pengusaha mengarahkan perubahan sejalan dengan perubahan eksternal. Karena itulah metodologi EPIC sangat dibutuhkan. Ia merupakan sebuah sistem pendekatan untuk mengarahkan perubahan berdasarkan pada terciptanya keunggulan keorganisasian melalui beragam tahapan. Tahapan untuk mencapai keberhasilan dalam proses perubahan meliputi evaluasi, persiapan, implementasi,dan konsolidasi. Tahapan tersebut didasarkan pada jenis dan frekuensi pekerjaan yang dilakukan dan tingkat ketegangan yang dapat dikurangi.

Selama tahap awal, perusahaan mengevaluasi kodisi persaingan, kinerja perusahaan, dan pilihan untuk perubahan, dan mengambil keputusan untuk melakukan perubahan. Pada tahap ini perusahaan tidak membutuhkan tambahan pekerjaan dan keorganisasian yang banyak. Namun yang penting adalah diperlukannya kestabilan internal dalam hal strategi, proses, dan sistem. Kemudian selama tahap persiapan, perusahaan melakukan uji terhadap opsi perubahan yang ada, menseleksi, dan kemudian membuat rencana pelaksanaannya. Dalam tahap ini termasuk menciptakan struktur,mendefinisikan peran dan tanggung jawab, penganggaran sumberdaya, penjadwalan tugas, dan mengidentifikasi kejadian penting. Suatu organisasi secara gradual meningkatkan kemampuannya karena selama tahap ini sudah mulai melaksanakan pekerjaan yang semakin banyak dan mengurangi ketegangan-ketegangan.

Pada tahap berikutnya yakni implementasi, perusahaan memulai proses pelaksanaan rencana perubahan, mengelola sumberdaya, dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya. Implementasi termasuk menghasilkan jumlah tambahan pekerjaan yang lebih banyak dan menekan ketegangan dalam mencapai tujuan perubahan perusahaan. Setelah implementasi maka tahap berikutnya adalah konsolidasi. Selama tahap ini, agar perusahaan mencapai hasil yang diharapkan maka perlu mengawalinya dengan mengurangi enerji yang tidak perlu.Tujuannya agar proses perubahan berlangsung bersinambung. Enerji tersebut semakin menurun hingga perusahaan mencapai keseimbangan dan menjadikan perusahaan bertahan abadi.  

Laman Berikutnya »