Hampir di setiap  kuliah yang berkait dengan topik “Motivasi”,saya suka bertanya pada mahasiswa. Pertanyaannya “seberapa jauh pentingnya uang sebagai unsur motivasi untuk bekerja?”. Hampir serentak dijawab bahwa uang atau gaji/upah adalah sebagai unsur utama mengapa mereka mau bekerja. Tetapi ketika saya melanjutkan pertanyaan “apakah uang masih menjadi unsur utama ketika berada dalam lingkungan kerja kurang nyaman karena gaya kepemimpinan otoriter dari sang manajer” maka para mahasiswa terdiam. Sejenak setelah mendengar pertanyaan saya, beberapa mahasiswa berpendapat uang bukanlah segalanya. Atau seperti ungkapan yang lucu sekaligus membingungkan yakni bagi karyawan uang adalah bukan  segalanya. Yang penting saya bisa bekerja dan tidak jadi penganggur. Namun pada waktu yang sama mereka bilang uang segalanya. Tidak bisa nyaman kerja kalau tidak ada uang cukup. Munafikinkah sang karyawan? Tidak juga. Disini  kedudukan uang ternyata sangatlah situasional.

Frederich Herzberg sendiri menempatkan uang atau gaji bukanlah sebagai unsur motivasi kerja. Kedudukannya adalah sebagai unsur kepuasan kerja atau pemeliharaan sama dengan kebijakan perusahaan, lingkungan kerja, dan hubungan antarkaryawan. Sementara unsur motivasi adalah pengakuan, prestasi, tanggung jawab, peluang maju, dan pekerjaan itu sendiri. Dengan kata lain kalau gaji relatif rendah seharusnya tidaklah menurunkan motivasi namun hanya menurunkan kepuasan kerja. Kalau begitu apa sebenarnya yang dibutuhkan karyawan? Mereka berharap perusahaan seharusnya memiliki rencana pensiun bagi karyawan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, uang pensiunan, dan atau pesangon. Tujuan bagi perusahaan untuk mencegah terjadinya ketidak-puasan kerja dan tingkat perputaran kerja (masuk-keluar karyawan) yang tinggi.

Kembali pada posisi uang, kita bisa berhipotesis yaitu semakin tinggi status kerja seseorang karyawan semakin tidak menempatkan uang sebagai unsur kepuasan kerja. Bagi mereka yang sudah berada pada posisi manajer ke atas,yang dibutuhkannya adalah hak otonomi dalam pengambilan keputusan. Memang uang dari gaji mereka sendiri relatif sudah besar. Sementara itu bagi karyawan tingkat subordinasi, posisi uang menjadikan unsur kepuasan tertinggi ketimbang hak otonomi. Mereka tidak peduli dengan otonomi. Yang penting bagaimana punya uang untuk mencukupi kebutuhan dasarnya. Karena itulah fenomena keseharian yang kita lihat dan dengar dari demonstrasi para karyawan selalu berawal dari protes uang gaji yang tidak cukup. Sementara,  hampir tidak pernah mendengar ada demonstrasi dari kalangan manajemen menengah.