Iklim bisnis


       Menurut wikipedia, tidur adalah keadaan istirahat alami pada berbagai binatang menyusui, burung, ikan, dan binatang tidak bertulang belakang seperti lalat buah Drosophila. Pada manusia dan banyak spesies lainnya, tidur penting untuk kesehatan. Tidur adalah fenomena alami. Tidur menjadi kebutuhan hidup manusia. Manusia menghabiskan sepertiga dari waktu hidupnya dengan tidur. Tidur bukan saja karena kelelahan tetapi juga karena kebiasaan dan pola hidup. Faktor keamanan harus dibangun untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kriminalitas ketika kita sedang tidur. Untuk itu selalu periksa keamanan rumah sebelum tidur. Tanda tanda kehidupan seperti kesadaran, puls, dan frekuensi pernapasan mengalami perubahan. Dalam tidur normal biasanya fungsi saraf motorik juga saraf sensorik untuk kegiatan yang memerlukan koordinasi dengan sistem saraf pusat akan diblokade, sehingga pada saat tidur cenderung tidak bergerak dan daya tanggap pun berkurang; demikian wikipedia.

       Dalam dunia kerja, frekuensi khususnya kualitas tidur cenderung dapat memengaruhi produktivitas kerja. Tiap individu,  idealnya memiliki daur tidur yang teratur. Ada orang yang begitu mudah tidur. Bisa-bisa lagi enaknya ngobrol, tak tahunya dia sudah  lelap tidur. Namun  ada juga yang sulit untuk tidur. Bisa karena  faktor fisik, bisa juga karena  nonfisik seperti  masalah kejiwaan. Pernah ada teori yang menyebutkan lamanya  tidur paling tidak delapan jam perhari. Kurang dan lebih dari itu tidak sehat. Namun teori itu dibantah. Yang penting kualitasnya dan tidak melihat skala waktu. Yang dimaksud kualitas adalah derajad nyenyak tidur dan kesegaran fisik dan batin ketika   yang bersangkutan bangun tidur. Semakin kurang nyenyak tidur ditambah dengan kegelisahan tidur yang semakin tinggi semakin berkuranglah manfaat tidur. Yang bersangkutan mudah lelah dan sulit bekerja secara optimum.

      Di setiap tempat kerja suatu perusahaan sudah ada aturan baku mengenai jam kerja. Rata-rata delapan kerja seharinya. Bisa bekerja dalam waktu pagi-sore, bisa juga sore-malam bergantung pada aturan yang berlaku di masing-masing organisasi. Pertimbangan banyaknya jam kerja antara lain secara fisik dan non-fisik, kapasitas kerja seseorang ada batasnya. Mereka butuh waktu untuk istirahat baik di kantor maupun di rumahnya. Bisa saja dalam tempo jangka pendek seseorang bisa bekerja lebih 3-4 jam di atas standar. Namun kalau tetap dipaksakan dalam tempo panjang maka fisik mereka mudah ambruk. Belum lagi secara psikis juga akan berpengaruh. Maka akibatnya kinerja karyawan secara bertahap akan menurun. Dan yang rugi tentunya perusahaan.

      Ada lagi jenis tidur yang lain. Tidur disini diatikan sebagai kurang adanya gagasan, prakarsa, dan kreatifitas para karyawan. Mereka bekerja begitu sangat rutin. Tidak dalam konteks pengembangan diri dan organisasi. Mereka terbiasa bekerja berdasarkan prosedur operasional yang sudah standar. Karyawan berperilaku kerja seperti itu bukanlah salah mereka. Karyawan sudah terkondisikan oleh suasana kerja yang kurang nyaman. Pimpinan unit atau katakanlah manajer jarang atau malah tidak membuka peluang bagi para karyawannya untuk mengembangkan diri. Untuk mengenal potensinya sendiri. Karena itu tertutup untuk memberikan gagasan dan prakarsa yang brilian.

       Sang manajer berpendapat yang penting para karyawan harus bekerja sesuai dengan uraian pekerjaan dan uraian tugas berdasarkan standar tertentu. Dengan kata lain maka sang manajer pun telah tertidur lelap akan pentingnya memiliki sumberdaya manusia yang trampil atau andal. Pola pikir ini adalah sangat keliru. Mengapa? Karena sang manajer hanya menempatkan karyawannya tidak ada bedanya dengan faktor produksi lain. Yakni tidak uniknya sebagai barang mati. Dan untuk jangka panjang hal demikian akan merugikan organisasi. Karyawan dengan SDMnya adalah sosok manusia dalam organisasi, misalnya perusahaan, yang memiliki ciri-ciri sangat berbeda dengan sumber produksi lainnya seperti dengan kapital atau teknologi, fasilitas, uang, tanah dan bahkan dengan ternak sebagai unsur produksi. Karyawan  adalah manusia yang memiliki intuisi, emosi, akal, ambisi, harga diri, dan kepribadian aktif sedangkan unsur produksi  lainnya tidak demikian. Selain itu sebagai manusia setiap karyawan memiliki kebutuhan  hidup strategis (universal) dan kebutuhan praktis (spesifik) masing-masing.

      Uraian di atas sangat penting mengingat pihak manajemen sering menilai bahwa sumberdaya, khususnya SDM yang digunakan sebagai aset produksi dapat dipindah-pindahkan bahkan dihilangkan begitu saja demi tuntutan bisnis dalam bentuk perampingan jumlah karyawan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kurangnya wawasan para manajemen dalam memahami adanya aset intangible (tidak berujud) yakni pengetahuan. Dengan kata lain pihak manajemen sedang tidur lelap. Keunggulan unsur pengetahuan dalam suatu perusahaan telah menjadi unsur daya-saing yang tinggi. Kepemimpinan pasar dan kepopuleran suatu perusahaan akan semakin tergusur oleh perusahaan lain bahkan perusahaan yang baru muncul yang memiliki manajemen pengetahuan yang tepat-waktu dan tepat-tempat, sesuai dengan  tuntutan teknologi, pergeseran persaingan, dan tuntutan pasar.

      Disinilah  penerapan Manajemen Mutu SDM (MMSDM) yang berorientasi pada pengetahuan menjadi sangat penting dimana jajaran SDM dan sistemnya memiliki akses dengan sumber-sumber pengetahuan yang mutakhir. Perusahaan menjadi organisasi pembelajaran. IBM dan Cisco, misalnya,  merupakan conoh dari sebagian kecil perusahaan yang menerapkan manajemen pengetahuan untuk meningkatkan kinerja bisnis perusahaan dan derajad mutu SDM melalui pelatihan dan pengembangan karyawan secara sistematis.

   Kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat kerja. Kompetensi adalah mengenai orang seperti apa, dan apa yang dapat mereka lakukan, bukan apa yang mungkin mereka lakukan

     Selanjutnya kompetensi dapat didefinisikan sebagai karakteristik dasar seseorang yang memiliki hubungan kausal dengan kriteria referensi efektivitas dan/atau keunggulan dalam pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi merupakan karakter dasar orang yang mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, yang berlaku dalam cakupan situasi yang sangat luas dan bertahan untuk waktu yang lama.

     Dalam prakteknya ada yang disebut kompetensi terlihat dan tersembunyi. Yang terlihat adalah pengetahuan dan keahlian. dan yang tersembunyi adalah nilai keseimbangan, konsep diri, karakteristik pribadi, dan motif. Pengetahuan merujuk pada informasi dan hasil pembelajaran, seperti pengetahuan seorang ahli bedah tentang anatomi manusia. Keterampilan atau Keahlian merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan, seperti keahlian bedah untuk melakukan operasi. Konsep diri dan nilai-nilai merujuk pada sikap, nilai-nilai dan citra diri seseorang. Karakteristik pribadi merujuk pada karakteristik fisik dan konsistensi tanggapan terhadap situasi atau informasi. Sementara itu motif merupakan emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau dorongan-dorongan lain yang memicu tindakan.

    Mengapa kompetensi perlu dikelola? Manajemen kompetensi dapat diartikan sebagai mengidentifikasi, menilai, dan melaporkan level kompetensi karyawan untuk memastikan bahwa organisasi memiliki sumber-daya manusia yang memadai untuk menjalankan strateginya. Apa saja alasannya? Ada beberapa alasan yakni (1) perekonomian dunia ditandai oleh perubahan drastis dan inovasi teknologi; (2)Aspirasi organisasi pada sebuah pasar; (3) Ketidakpuasan terhadap mutu pendidikan; (4) Kesamaan pemahaman mengenai kompetensi; (5) Gerakan mutu menuntut organisasi untuk memastikan bahwa karyawan mereka kompeten; dan (6) Kompetensi juga mendukung pencapaian tujuan strategis organisasi atau kebangsaan.

    Ada tiga pendekatan utama pada manajemen kompetensi yaitu Akuisi kompetensi (competency acquisition), Pengembangan Kompetensi competency development); dan Penyebaran Kompetensi (competency deployment). Dalam akuisi kompetensi, organisasi melakukan upaya yang disengaja dan terencana untuk mendapatkan kompetensi yang diperlukan bagi pertumbuihan dan ekspansi perusahaan. Kemudian dalam pengembangan kompetensi level kompetensi karyawan yang sudah ditingkatkan melalui program pengembangan berkelanjjutan. Sementara itu dalam penyebaran kompetensi, karyawan ditempatkan di berbagai posisi dalam organisasi yang paling cocok dengan kompetensinya (best person-position fit).

( rujukan utama artikel ini: Palan, R., 2007. Competency Management, PPM Jakarta)

       Tahun baru selalu hampir disambut gembira oleh siapapun. Tahun yang selalu dianggap akan membawa keberkahan. Tahun yang didambakan memberi sinar terang kemajuan di segala bidang. Namun oleh mereka yang pesimis, tahun baru bukanlah segala-galanya. Mereka menggap biasa-biasa saja. Bahkan tidak terlalu banyak berharap segalanya akan berbubah menjadi lebih baik ketika mereka memang masih tidak berdaya. Hal itu karena keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya. Sementara pemerintah belum tentu mampu mengangkat derajat kehidupan rakyat banyak.

       Bagaimana dengan kalangan organisasi bisnis? Para pebisnis seharusnya menilai tahun baru akan selalu memeroleh tantangan-tantangan baru. Baik itu tantangan internal seperti struktur dan mekanisme organisasi serta mutu sumberdaya manusia maupun eksternal utamanya faktor perkembangan iptek dan persaingan bisnis. Implikasinya adalah munculnya proses perubahan misalnya dalam hal keorganisasian. Dari model manajemen tradisi menjadi model modern. Dari bentuk organisasi yang rutin menjadi organisasi pembelajaran. Mengapa dibutuhkan rekonstruksi model manajemen organisasi yang berorientasi pembelajaran? Yakni semua elemen pelaku organisasi selalu terdorong untuk belajar berkelanjutan.

       Ada beberapa faktor yang mendorong pentingnya diterapkan kaidah-kaidah organisasi pembelajaran. Pertama adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek yang begitu berkembang pesat sudah menjadi realita kehidupan keseharian. Sekaligus sebagai tuntutan masyarakat luas. Dengan iptek yang maju maka diharapkan proses produksi dan distribusi akan lebih cepat, bermutu dan lebih murah. Bagi organisasi tentunya agar perilaku belajar dan kinerja karyawan dan organisasi semakin meningkat.

       Hal yang kedua adalah perkembangan teknologi komunikasi informasi. Era digital akan meninggalkan sistem komunikasi dan informasi manual yang sudah kuno. Organisasi akan mampu segera memenuhi permintaan konsumen atau pelanggan. Dan ini akan berakibat pada sistem produksi yang serba berteknologi tinggi. Kemudian setiap karyawan akan mampu bekerja secara cepat dan mandiri. Karena itu dibutuhkan sumberdaya manusia yang selalu berkembang. Ini sebagai refeleksi berkembangan masyarakat pengetahuan yang begitu dinamisnya. Hal yang ketiga adalah meningkatnya tuntutan pelanggan yang cepat berubah.Tuntutan ini semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, pendapatan, dan sudut pandang tentang mutu, harga murah dan sistem pelayanan produk di kalangan masyarakat. Sekaligus pula inilah unsur-unsur yang harus dipenuhi kalangan bisnis kalau mereka ingin unggul dalam bersaing.

        Beberapa karakteristik organisasi pembelajaran adalah semua elemen pelaku organisasi selalu menerapkan pembelajaran berkelanjutan. Tidak pernah mengenal kata henti apalagi menyerah dan cukup menerima apa adanya saja. Manajemen puncak harus mampu membangun suasana belajar dan memberi teladan bagaimana pentingnya belajar. Selain itu para pelaku harus memiliki kepekaan dan daya respon tinggi terhadap setiap perubahan baik di kalangan internal maupun faktor eksternal.

        Dari situ terjadi proses pembelajaran berpikir sistem dan pembelajaran berkelompok untuk menganalisis sesuatu dan mensolusi masalah. Dengan kata lain organisasi membutuhkan kompetensi dan kepemimpinan atau penguasaan personal untuk mentransformasi pengetahuan kepada seluruh anggota organisasi. Dengan dukungan lingkungan organisasi belajar yang kondusif diharapkan dapat diciptakan orang-orang yang berpengetahuan dengan kompetensi yang dapat diandalkan. Disinilah pentingnya kedudukan faktor berbagi visi di antara elemen pelaku organisasi. Dengan demikian akan terbangun kesamaan visi dan misi dalam mencapai tujuan orgnaisasi.

 

        Silaturahmi yang dilakukan seseorang mengandung arti terjalinnya saling mengasihi satu sama lain. Dipercaya bahwa dengan silaturahmi, paling tidak ada dua hal yang ingin diraih. Pertama adalah dengan semakin tingginya intensitas bersilaturahmi maka usia kita semakin panjang. Namun bukan  dalam konteks usia biologis. Karena faktor usia merupakan otoritas sang pencipta yakni Allah. Yang dimaksudkan disini adalah nama baik mereka yang rajin bersilaturahmi selalu dikenang sepanjang masa sekalipun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Makna nilai silaturahmi yang kedua adalah berkah bertambahnya rezeki. Dengan silaturahmi seseorang akan semakin terbuka kesempatannya untuk menjalin usaha-usaha yang berkait dengan promosi nama baik, karir dan pendapatan seseorang. Dalam hal ini maka silaturahmi di lingkungan kerja menjadi sangat penting.

        Ketika beberapa orang melaksanakan pekerjaannya di organisasi apapun pasti tidak akan lepas untuk saling berhubungan satu sama lainnya. Baik dalam konteks vertikal dengan atasan maupun horisontal dengan sesasama rekan kerjanya. Baik dilakukan formal maupun informal. Secara formal, disitu ada proses manajemen kineja  mulai dari yang sifatnya pemberian instruksi kerja, koordinasi, umpan balik, sampai evaluasi pelaksanaan dan hasil kerja dalam suasana silaturahmi. Dengan berbagi, tiap individu di unit kerja organisasi menjadi tahu betapapun beratnya masalah yang dihadapi, sesungguhnya yang bersangkutan tidaklah sendiri. Orang lain juga menghadapi masalah yang sama, bahkan mungkin lebih berat dengan bentuk yang berbeda.

        Jika sudah demikian, kita akan bisa lebih tegar menghadapi masalah, dan saling menguatkan. Insya Allah spirit hidup pun tumbuh kembali. Sementara selain formal, secara informal siltarurahmi diujudkan dengan kegiatan-kegiatan sosial internal organisasi. bentuknya berupa acara seni, olahraga, dan wisata bersama di suatu tempat. Maksudnya agar terjadi penyegaran lahir dan  bathin, dan terjalinnya suasana keakrabatan penuh dengan jiwa kekeluargaan tanpa ikatan hirarki jabatan yang ketat. Sekaligus mencegah terjadinya konflik horisontal dan vertikal. Selain itu silaturahmi bisa dimanifestasikan dalam bentuk ucapan selamat dan doa ulang tahun, selamat dan doa hari pernikahan, dan kunjungan ke rumah atau rumah sakit melihat karyawan atau atasan yang sedang dirawat sakit sambil mendoakan kepulihan kesehatannya.

       Dalam hal ini dibutuhkan pendekatan manajemen kinerja formal dan informal berbasis silaturahmi ini. Tujuannya mendorong setiap individu untuk bekerja semakin produktif lagi. Tentunya dalam kerangka kepentingannya masing-masing dan kepentingan organisasi. Setiap individu sesuai dengan posisinya melakukan evaluasi kinerjanya. Hasil evaluasinya digunakan sebagai dasar untuk  meningkatkan potensi dirinya. Semuanya dilakukan dalam kerangka menjaga dan bahkan meningkatkan kinerja baik individu maupun kinerja organisasi. Semakin tinggi intensitas dan mutu koordinasi kerja atau silaturahmi kerja maka semakin tinggi pula kinerja yang dicapainya. Sejauh mungkin, dengan silaturahmi, konflik kerja dapat dihindari. Daya saing usaha organisasi pada gilirannya juga akan semakin meningkat. Tentunya semua itu akan sangat bergantung pada niat dan kebijakan dari manajemen puncak.

 

        Budaya akademik yang berkarakter baru bisa berkembang kalau IPB mampu memfasilitasi dalam bentuk program dan kegiatan akademik yang bersinambung. Setiap insan dosen terbuka peluangnya untuk mengembangkan potensi dirinya tanpa ketat dikungkung aturan birokrasi dan bahkan oleh ketidakadilan dan kekurangan-perhatian dari “seniornya”. Budaya akademik harus memiliki karakter bahwa mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu adalah manifestasi dari ibadah seseorang. Disitu kental ciri budaya akademik yang berkarakter ibadah bahwa “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

        Di sisi lain maka dibutuhkan keteladanan sebagai karakter sejati para senior utamanya para guru besar dalam berbudaya akademik. Kegiatan mengajar, membimbing dan meneliti serta menulis jurnal dan buku ajar seharusnya menjadi perhatian yang tinggi ketimbang mencari jabatan-jabatan teknis. Para guru besar seharusnya mampu menjadi panutan dalam bidang kehidupan spiritual, memiliki wawasan keilmuan yang luas, berbudi pekerti luhur, dan profesional di bidangnya. Dengan demikian penerapan budaya akdemik seperti ini secara otomatis dan alami akan diikuti oleh para “yunior” dan mahasiswanya. Jangan sampai ada kesan seorang dosen baru rajin menulis karya ilmiah hanyalah ketika sibuk untuk meraih KUM jabatan akademik saja.

         Bentuk budaya akademik yang sangat substansi adalah datang dari setiap insan akademik utamanya dosen. Budaya menelaah bahan ajar, diskusi keilmuan, tinjauan teori-teori yang ada, penelitian, menulis buku dan jurnal ilmiah seharusnya menjadi aktifitas keseharian. Ada baiknya dikembangkan perilaku atau ekspresi ilmiah,seperti penelitian, yang diawali dari perenungan, perencanaan, penelitian, rekonstruksi/kontemplasi, penulisan, dan publikasi serta diseminasi karya ilmiah dalam bentuk seminar, penulisan dan publikasi ilmiah.

         Dalam konteks kehidupan modern maka IPB hendaknya mengembangkan jejaring lintas budaya akademik antarbangsa. Interaksi antarbudaya menjadi semakin penting dalam kerangka akulturisasi budaya tanpa menghilangkan budaya akademik berkarakter yang ada. Intinya adalah bagaimana dengan komunikasi budaya tersebut IPB memeroleh manfaat untuk mengambil sisi nilai baiknya suatu budaya akademik dari luar.

       Umum cenderung sudah memahami bahwa Hak Milik yang paling berharga di kalangan perguruan tinggi adalah kebebasan, otonomi, dan budaya akademik. Derajat budaya akademik di IPB diduga bukan saja berhubungan dengan birokrasi pendidikan tinggi tetapi juga akibat keadaan internal berupa interaksi sosiologis yang cenderung belum semua individu siap berbeda pendapat, bersaing dan berambisi untuk meraih kemajuan IPB itu sendiri. Kalau menyimpang mungkin khawatir disebut sebagai sikap arogan dan ambisius. Kalau dibiarkan maka IPB akan kehilangan karakter jati dirinya sebagai lembaga ilmiah/akademik yakni hilangnya intelektual yang bersikap kritis.

        Tradisi akademik berupa kebebasan untuk menyatakan pendapat apa adanya namun bertanggung jawab juga masih harus dikembangkan. Tidak perlu ada dinding tebal yang menghalangi setiap dosen menyatakan pemikiran-pemikirannya sekalipun mungkin bernada “pedas” asalkan didukung dengan kaidah ilmiah yakni obyektif dan kebenaran.

         Produk-produk kebijakan IPB termasuk Visi IPB juga perlu ditelaah mendalam baik dilihat dari substansial maupun teknis operasional apakah sudah ada kandungan unsur budaya akademik atau belum. Jangan sampai unsur-unsur non akademik dan sangat teknis sifatnya mendominasi dalam membuat indikator keberhasilan IPB. Misalnya penting dijadikan ukuran keberhasilan IPB adalah budaya meneliti dan menulis karya-karya ilmiah yang menjadi rujukan masyarakat akademik nusantara bahkan mancanegara.

         IPB hendaknya mampu menciptakan suasana yang semakin nyaman dalam mengembangkan budaya akademik. Maknanya jangan sampai IPB larut terlalu kerap mengurus masalah-masalah teknis pembelajaran semata namun lupa mengembangkan potensi sumberdaya dosen dengan pemikiran-pemikiran cerdasnya.

        Kalau kondisi “malas” untuk mengembangkan budaya akademiknya seperti mengembangkan suatu teori, meneliti, menulis buku ilmiah, dan jurnal ilmiah yang dikaitkan dengan latar belakang masalah kita sendiri maka sama saja kita menjadi “turunan dekat warga barat” dalam berbudaya akademik. Tinggal impor dan gunakan saja tanpa tinjauan kritis berbasis karakter unik bangsa kita. Kreatifitas kita bisa semakin melemah saja karena cukup dengan menggunakan pola pikir dan bertindak bagaikan perilaku konsumen.Jangan sampai generasi pelanjut didikan IPB banyak dijejali dengan teori-teori dari luar tanpa diperkuat dengan karakter, kekayaan dan masalah empiris bangsa.

         Harus diakui adanya kenyataan bahwa semangat dan kemampuan mahasiswa dalam hal membaca dan menulis cenderung masih lemah. Kondisi ini bukan karena faktor interinsik mahasiswa yang bersangkutan saja namun juga oleh pola pembelajaran yang ada. Mahasiswa jarang diajak aktif untuk berpikir kritis berbasis teori dan empiris. Selain itu diskusi-diskusi kelompok hampir jarang dilakukan karena terbatasnya dosen, waktu dan ruangan. Fenomena ini jangan dipandang sebagai sesuatu yang sederhana namun harus dicari formula solusinya.

 

       Pasrah? Apakah sama dengan menyerah? Putus asa? Dalam kamus, pasrah berarti menyerah(kan) sepenuhnya, misalnya marilah kita pasrah pada takdir dengan hati yang tabah; ia pasrah pada apa yg akan diputuskan oleh pengadilan. Contoh lainnya, berpasrah atau berserah diri adalah berpasrah/berserah diri pada Tuhan sambil berdoa agar terhindar dari malapetaka. Bagaimana pasrah di dunia kerja?

        Berpasrah diri dalam dunia kerja akan berbeda maknanya bergantung pada kasus yang dihadapi seseorang dan atau perusahaan. Seorang karyawan akan pasrah diri menerima hukuman dari manajemen ketika dia ketahuan melanggar disiplin kerja. Jadi karyawan bersangkutan menerima dengan lapang dada tanpa merasa kecewa atau jiwa yang tertekan. Dan tentunya setelah kejadian itu sang karyawan diharapkan akan mengelola dirinya dengan lebih baik. Namun akan berbeda makna ketika dia dituduh melanggar disiplin. Karena sifatnya masih tuduhan maka tidak sewajarnya sang karyawan tersebut lalu pasrah diri. Dia bisa mengelak tuduhan asalkan didukung bukti-bukti kuat akan ketidakbenaran tuduhan yang ditimpakan padanya.

        Perusahaan ketika mengalami musibah kebakaran salah satu pabriknya maka wajar manajemen pasrah atas kejadian itu. Apa mau dikata lagi. Itu mungkin kesalahan para karyawan dalam menerapkan prosedur pengamanan dan keselamatan fasilitas. Tentunya pihak manajemen akan berpikir keras untuk menghindari agar kejadian tersebut tidak terulang lagi.  Begitu pula pihak  manajemen akan pasrah ketika kondisi perekonomian global berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Alasannya karena tidak mungkin perusahaannya mampu mengatasi sendiri perekonomian global. Namun di sisi lain tentunya manajer tidak berpasrah diri melainkan mencari jalan bagaimana perusahaan menyesuaikan diri dengan kondisi perekonomian tersebut. Misalnya bergantung pada sudut persoalannya, manajer bisa melakukan efisiensi di berbagai segi. Mulai dari aspek sumberdaya manusia karyawan hingga proses produksi dan distribusi.

        Dari contoh-contoh tentang pasrah di atas maka pertanyaannya apa dan bagaimana yang harus dilakukan oleh karyawan dan manajemen. Yang jelas pasrah disini tidak diartikan statis. Pasrah pasti punya hikmah di dalamnya. Pasrah bukan berarti berdiam diri. Karena itu ketika mengelola pasrah maka yang pertama harus diperhatikan adalah kemampuan menarik nilai yang terkandung dari setiap kejadian. Hal ini sangat penting untuk melihat sejauh mana kita ikhlas atau ridha dan sabar menghadapinya. Kemudian yang berikutnya adalah sikap pasrah harus diikuti suatu analisis atau diagnosis mengapa suatu kejadian itu muncul. Apa akibat-akibatnya pada seseorang, kelompok dan perusahaan.? Hal apa yang bisa dikendalikan sendiri dan mana yang harus dibantu pihak lain. Dari situlah pasrah akan membuahkan jalan keluar agar di kemudian hari akibat dari setiap kejadian bisa ditekan sekecil mungkin.

         Dengan demikian manajemen pasrah bukanlah diartikan hanya bagaimana kita ikhlas dan sabar menghadapai setiap musibah yang ada. Apalagi bersifat sangat statis dimana setiap program dan kegiatan dilakukan tanpa perencanaan dan antisipasi kalau mengalami penyimpangan. Manajemen pasrah disini lebih ditekankan pada bagaimana setiap karyawan dan manajemen tidak pesimis dan berdiam diri saja apalagi putus asa ketika menghadapi suatu masalah. Mereka harus responsif dan peka terhadap setiap kejadian baik di internal maupun eksternal perusahaan. Ada usaha aktif bagaimana perusahaan bisa maju tanpa harus menyerah pada kepasrahan diri.

Laman Berikutnya »