Mei 2009


 

          “Satu satu, aku sayang ibu. Dua dua, juga sayang ayah. Tiga tiga.. sayang adik kakak. Satu-dua-tiga, sayang semuanya”. Itulah sepenggal lagu anak-anak yang sudah pop sejak tahun ‘50an. Maknanya sangat dalam yakni kasih sayang dalam suatu keluarga. Janganlah diskriminatif untuk berbuat kasih. Bagaimana dengan angka-angka (nomor) hasil undian pemilihan untuk para calpres-wapres? Apakah ada makna tertentu? Pertanyaan lebih spesifik adakah makna keberuntungan tertentu?

         Selain tidak menguasai numerology, saya tidak percaya pada angka keberuntungan dari angka. Hemat saya semua angka bermakna baik. Dari beberapa sumber yang dipelajari semua angka ditafsirkan berbeda-beda. Ada angka 4, 5, 6, 7, 13, dst. Bayangkan pada angka yang sama bisa berlambang baik tetapi bisa juga buruk. Pemaknaan angka-angka itu cenderung spekulatif, tidak terukur, primbonisme, bahkan cenderung jadi mitos. Jadi angka undian pilpres-wapres seharusnya cukup dimaknai lebih pada hal-hal pragmatis saja. Atau cuma simbol untuk memudahkan penyebutan urutan pasangan kandidat. Barangkali juga untuk keperluan administrasi. Bukan bermakna klenik. Kalau ada yang menghubung-hubungkan dengan keberuntungan barangkali hanya untuk sekedar intermezo saja.

        Dengan demikian keberuntungan atau lebih tepatnya keberhasilan pasangan kandidat nanti dalam pilpres-wapres antara lain sangat bergantung pada kualitas isi platform, program nyata, dan keberpihakan program yang ditawarkan. Selain itu memang dipengaruhi pula oleh karakter kepribadian, performa, dan popularitas figur. Sebagai unsur pendukungnya adalah intensitas, teknik, dan etika promosi atau kampanye: putih ataukah hitam. Rakyat punya otonomi dengan cerdas dan kritis memilih mana kandidat yang terbaik. Kembali ke makna lagu di atas diharapkan proses pilpres-wapres akan berlangsung dengan penuh kasih sayang.

 

         Kemarin tanggal 29 Mei 2009 merupakan hari Lanjut Usia ( Hari Lansia) Nasional. Hari itu merupakan salah satu hari penting di Indonesia yang diperingati tiap tahun sebagai wujud kepedulian dan penghargaan terhadap orang lanjut usia. Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, Lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Hari Lanjut Usia Nasional dicanangkan secara resmi oleh Presiden Soeharto di Semarang pada 29 Mei 1996 untuk menghormati jasa Dr KRT Radjiman Wediodiningrat yang di usia lanjutnya memimpin sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sebagian dari mereka diperkirakan sudah memasuki masa pensiun dari pekerjaan formalnya. Menurut data Pusdatin Kesos tahun 2008, jumlah lansia  sekitar 16,5 juta, termasuk di dalamnya lansia yang masih potensial. Sementara sebanyak 1,6 juta orang termasuk non-potensial atau terlantar yang dibantu pemerintah. Lalu apa hubungan warlansia dengan kesolehan sosial?

         Pada dasarnya, warlansia dikategorikan menjadi dua macam yaitu penyandang masalah kesejahteraan sosial  dan potensi sumber kesejahteraan sosial. Artinya, masih ada warlansia yang produktif, meski ada juga yang justru menjadi masalah sosial. Misalnya, berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Jabar (2008), dari 3.371.521 warlansia di Jabar, terdapat 236.721 warlansia yang telantar (tak tertampung). Jumlah ini hampir sekitar 10 persen. Cukup memprihatinkan. Belum lagi adanya para warlansia miskin yang hidup sendiri, yang cacat fisik, dan yang sakit berkepanjangan. Meskipun sudah memasuki masa pensiun, sebagian warlansia masih ada yang tetap beraktifitas; apakah di bidang ekonomi maupun non-ekonomi. Rasanya semakin pilu ketika kita semakin sering menemui para warlansia yang menggantungkan hidupnya di jalanan dengan cara mengemis. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor akses produksi dan juga kesadaran sosial warga.

          Sementara di sisi yang hampir sama betapa mereka yang sudah tua renta masih begitu gigih mencari nafkah. Apakah sebagai pedagang kecil-kecilan, penarik beca, penggali pasir, dsb. Idealnya mereka yang sudah sangat lansia itu ditampung oleh keluarganya yang mampu. Namun bisa jadi memang keluarganya pun termasuk kurang beruntung. Pertanyaannya bagaimana warga sekitar yang masih sehat fisik, mental, dan sehat ekonominya terpanggil untuk beribadah (kesolehan) sosial membantu warlansia yang kurang beruntung itu? Tentunya lain lagi bagi para warlansia yang berpendidikan cukup tinggi atau berkedudukan sosiall pegawai yang tinggi. Aktifitas di masa lansianya ada yang masih beraktifitas ekonomi dan dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial. Mereka habiskan masa-masa tuanya untuk meningkatkan mutu kesolehan sosial. Termasuk melakukan syiar kebajikan dalam mengajar, menulis buku, artikel, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi sosial.

         Kesolehan sosial seperti itu akan semakin berkembang sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup. Kalau sampai tahun 2000, rata-rata usia harapan hidup penduduk Indonesia masih 65 tahun. Maka menurut estimasi Badan Pusat Statisisk (BPS), usia harapan hidup periode 2010-2015 naik menjadi 71,5 tahun dari 69,8 tahun pada periode 2000-2005. Dengan demikian untuk warlansia akan memiliki kesempatan untuk menerapkan kesolehan sosialnya. Tentunya berangkat dari kesolehan individunya sebagai dasar pembentukan kesolehan sosial. Hal demikian tercermin dari pancaran kekuatan nilai-religius dari agama yang dianutnya. Dalam Quran dikatakan, “barang siapa yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, akan dilipatgandakan bunganya berlipat-lipat”. Ayat ini seharusnya menggerakkan warlansia dari kelas social ekonomi menengah dan tinggi untuk meningkatkan gerakan filantropi atau solidaritas bantuan sosial. Ketika masa-masa tuanya tengah dilalui maka disitulah penanaman modal kesolehan untuk hidup di akhirat nanti insya Allah akan semakin meningkat.

 

          Salah satu keluhan karyawan yang sering muncul adalah adanya ketidak-stabilan keputusan tentang sesuatu yang dibuat manajernya. Dengan kata lain keputusan yang membuat ketidakpastian bagaimana karyawan harus berbuat dengan tugas-tugasnya. Hal ini berkait dengan keraguan karyawan tentang kemampuan, kekuatan, dukungan, dan suasana damai dari manajernya. Semakin lemah indikasi-indikasi tersebut semakin tinggi perasaan karyawan dalam hal ketidakstabilan kerjanya. Karena itu yang sangat dibutuhkan karyawan tentang manajernya adalah nilai-nilai utama kepribadian dan kapabilitas manajer sebagai pemimpin.

          Ketika perusahaan memrogramkan perlunya suatu perubahan (evolusi dan pertumbuhan) jangka panjang maka ketika itulah manajer harus menunjukkan kepada karyawannya tentang kestabilan dan kepercayaan. Pada tingkat dasar, karyawan butuh tentang posisi pekerjaan, kompensasi, dan jaminan keamanan status pekerjaan. Semakin tinggi kepercayaan diri karyawan tentang terpenuhinya kebutuhan tingkat dasar tersebut semakin tinggi pula peluang karyawan tersebut akan tetap bekerja di perusahaan itu. Namun sebaliknya kalau manajer tidak mampu memenuhi ketiga kebutuhan itu maka siap-siaplah menghadapi resistensi karyawan terhadap suatu perubahan apapun.

         Bentuk kestabilan lainnya adalah tentang karir karyawan. Yang dibutuhkan mereka adalah kepastian tentang penerapan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan, kesempatan sama,dan tidak diskriminasi. Untuk itu mulai dari proses penilaian dan keputusan tentang karir harus dilakukan seobyektif mungkin. Setiap keputusan tidak sebatas pernyataan normatif ketimbang hasil terukur. Semakin obyektif keputusan yang diambil semakin tinggi rasa kestabilan karyawannya. Mereka akan menerima dengan sadar tentang penundaan karirnya ketika ada karyawan lainnya lebih memiliki kinerja yang lebih baik. Dengan demikian bisa diartikan resistensi karyawan dapat ditekan menjadi nil.

         Secara keseluruhan kestabilan karyawan merupakan fungsi dari kestabilan prospek perusahaan (profitability dan ekspansi) di masa datang. Semakin tinggi kestabilan prospek perusahaan semakin meningkatnya kestabilan karyawan. Misalnya karyawan akan merasa aman tidak terkena pemutusan hubungan kerja. Begitu pula tentang prospek karir dan kesejahteraan keluarganya. Mereka merasa termotivasi dan terpanggil bekerja keras dan cerdas dalam suasana kerja yang stabil dan nyaman. Selain itu manajer membuka peluang pada karyawan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka. Dan ini juga merupakan salah satu potensi sumberdaya manusia yang dibutuhkan karyawan agar mereka memiliki kestabilan tinggi.

 

         Lebih kurang satu setengah bulan lalu saya mendaftar menjadi anggota Facebook (FB). Seperti halnya ketika blog saya diluncurkan, daftar di FB juga dilatarbelakangi adanya “provokasi”. Kali ini bahkan desakan datang gencar dari para cucu dan keponakan saya. Begitu pula beberapa teman berpromosi via email saya. Apa boleh buat, saya ikuti kemauan mereka,sambil diawali rasa penasaran apa sih FB itu. Kira-kira apakah ada manfaatnya? Benarkah ada sinyalemen FB cenderung menimbulkan proses narsisme di kalangan anggotanya?

          Ketika di awal-awal memasuki dunia maya FB, rasanya sangat asing. Pasalnya yang jadi anggota dominannya para kawula muda. Jumlahnya mungkin sekitar 80 persen yang usianya sekitar belasan sampai tiga puluh tahun-an. Selebihnya kebanyakan berusia 40tahun-an.  Keasingan saya makin menjadi-jadi karena  yang masih bersekolah SD sampai SMA tidak mau ketinggalan menjadi anggota. Dapat dibayangkan, saya sebagai anggota yang sudah kekek-kakek (66 tahun) tiba-tiba nongol di kerumunan mereka. Tidak berlebihan kalau para, cucu, keponakan dan mantu, saya disambut sebagai anggota FB yang sepuh tapi masih suka gaul. Ada yang bilang siiplah,uhui,huebaat, yahuut, dan muda lagi nih yee. Belum lagi para mantan mahasiswa dan kolega menyambut dan merasa senang saya di FB.  Karena itu hingga kini, jumlah mereka yang request untuk menjadi teman saya berjumlah 373 orang.

          Pada dasarnya bagi saya FB bisa menjadi salah satu jalur membangun pertemanan. Lewat FB saya bisa bernostalgia ketika para teman dan mantan mahasiswa yang sudah puluhan tahun tak jumpa lalu bertemu di FB. Mereka mengirim kesan-kesan selama kuliah dan bahkan mengundang reuni angkatannya. Lalu bagaimana dengan isi dari teman-teman FB lainnya? Wah unik banget. Mulai dari ungkapan doa, tidak bisa tidur, sakit perut, pusiiiing, makan enak, sedang diskusi/seminar, nguap ngantuk dan kelelahan, ungkapan kegembiraan, laporan perjalanan,  foto-foto lucu-riang gembira sampai catatan berisi aktifitas politik, profesi, kemasyarakatan, lingkungan, falsafah kehidupan dan seruan agama. Lalu mereka sesama teman berkomentar ria. Saya sendiri kerap mengirim pesan yang berkait dengan moral kebajikan, agama, dan falsafah hidup.  Siapa saja yang mengirim ungkapan dalam FB? Ya mulai dari anak-anak yang masih kecil sampai kakek-kakek seperti saya ini.  Mulai dari kalangan anak SD sampai mahasiswa, aktifis, pebisnis, ekskutif, politikus, dan ilmuwan. Saya belum tahu apakah ada status kakek seperti saya yang juga jadi anggota.          

          Lalu apakah isi FB cenderung narsisistis? Sementara ini saya tidak bisa menilai FB sedang dan bakal membangun sifat narsis. Namun dari beberapa isi pesan, terlalu jauh kalau saya memandang FB sebagai ajang pamer diri, promosi diri, merasa lebih hebat dari orang lain, dan bahkan melukai perasaan orang lain. Kultur atau budaya kita agaknya tidak sepenuhnya bersifat narsis seperti itu. Sementara ini FB lebih merupakan ajang jejaring hubungan sosial. Dari yang belum kenal menjadi akrab. Dan dari yang sudah kenal menjadi lebih lengket. Bahkan dalam situasi hiruk pikuk dan kondisi sosial ekonomi politik bangsa ini, FB bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjadi jalan keluar dari kebisingan psikologis. Jadi pokoknya semua berpulang pada diri kita masing-masing; mau bernarsistis ataukah bersosialisasi kekerabatan dan kebajikan. Namun saya yakin sebagian besar dari kita tidak menempatkan diri kita di FB untuk bernarsis ria.

 

           Suatu perusahaan atau organisasi yang baik dan bertanggungjawab serta ingin memelihara kesinambungan bisnis dalam jangka panjang, harus sudah memikirkan kepeduliannya pada saat awal pendirian perusahaan, yaitu dengan cara menetapkan visi, misi dan tujuan perusahaan. Dalam perkembangannya, budaya organisasi dan perubahan global akan mempengaruhi tiga hal tersebut: Visi merupakan suatu pernyataan ringkas tentang cita-cita organisasi yang berisikan arahan yang jelas dan apa yang akan diperbuat oleh perusahaan di masa yang akan datang. Untuk mengujudkan visi tersebut maka perusahaan melakukan pengembangan misi yang akan dijalani dalam tiap aktivitas; Misi merupakan penetapan tujuan dan sasaran perusahaan yang mencakup kegiatan jangka panjang tertentu dan jangka pendek yang akan dilakukan, dalam upaya mencapai visi yang telah ditetapkan; Tujuan perusahan adalah mencapai keuntungan maksimum.

           Pernyataan tentang visi dan misi yang jelas harus sesuai dengan budaya dan kebutuhan perusahaan dan kebutuhan pasar sehingga dapat menumbuhkan komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan memupuk semangat kerja karyawan, menumbuhkan rasa keharmonisan di dalam kehidupan kerja karyawan, dan menumbuhkan standar kerja yang prima. Rumusan visi yang jelas akan mengantarkan perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan. Namun, semua hal tersebut belum dapat berfungsi dengan baik, jika tidak diimbangi dengan strategi yang tepat dalam penerapannya. Dengan demikian, rumusan visi, misi dan tujuan perusahaan perlu ditetapkan dalam suatu strategi yang tertuang dalam kebijakan perusahaan.

           Salah satu kunci keberhasilan suatu perusahaan adalah bergantung pada kinerja sumberdaya manusia yang secara langsung atau tidak langsung memberi kontribusi pada perusahaan, yang meliputi pemangku kepentingan eksternal (stake holders) dan kepentingan internal (karyawan) yang dimiliki oleh perusahan. Untuk memperoleh kinerja optimal dari keberadaan karyawan dalam perusahaan maka perusahaan perlu menetapkan strategi yang tepat, yaitu dengan memikirkan bagaimana mengelola karyawan agar mau mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

           Strategi ini hendaknya merupakan strategi yang berorientasi pada tujuan yaitu dengan menyamakan persepsi antara tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut. Hal tersebut beralasan karena kepentingan tujuan perusahaan dan kepentingan tujuan karyawan tidak dapat dipisah-pisahkan karena berada dalam satu kesatuan kebersamaan yang utuh. Namun, acap terjadi kesenjangan (gap) antara tujuan dan harapan karyawan terhadap perusahaan, dengan realitas yang ada. Hal tersebut seringkali menimbulkan masalah-masalah SDM. Adanya masalah-masalah SDM tersebut akan mempengaruhi kinerja karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan.

 

          Ada istilah yang sering digunakan dalam pergaulan yakni low profile. Sebutan ini sering ditujukan pada seseorang yang sebenarnya potensial namun tidak mau menonjolkan diri di hadapan publik. Karena pembawaannya, orang yang low profile umumnya rendah hati. Hampir-hampir selalu menghindari berdebat keras di depan umum. Atau ekstremnya tidak banyak ngomong. Namun bukan berarti introvert. Di dunia organisasi kalau toh orang itu punya gagasan selalu disampaikan lewat atasannya. Sifat itu berkaitan dengan kultur, sifat bawaan orang bersangkutan, dan bisa berkait dengan perekayasaan yakni semacam aturan tertulis dan konvensi.

         Tidak jarang seseorang, misalnya yang memiliki kedudukan wakil direktur (wa-dir) dihadapkan pada kesulitan ketika akan menyampaikan gagasan dalam suatu rapat manajemen. Kesulitan ini berkaitan dengan semacam “tatakrama” dalam hal tutur kata dan hirarki jabatan. Ada semacam aturan tidak tertulis atau konvensi ketika atasan hadir dalam rapat tersebut sebaiknya wakilnya jangan proaktif banyak bicara. Kecuali dimintai atau diberi kesempatan berpendapat. Termasuk juga ketika ada “obrolan yang melibatkan para direksi dan wa-dir. Ada semacam konvensi, sang wa-dir sebaiknya low profile karena “khawatir” atasannya merasa tersinggung dan wibawanya turun. Belum lagi ada pertanyaan menggoda kalau wa-dir proaktif bicara dan bekerja ; lalu mana yang sebenarnya real direktur? Apakah sang direktur atau wakilnya?

         Sifat low profile seseorang sering dihadapkan pada keputusan dilematis. Hal ini kalau low profile itu diposisikan sebagai hasil suatu rekayasa aturan. Ambil contoh saja, di satu sisi sang direktur jarang bicara dan kalau pun bicara tetapi mutunya rendah. Dan cenderung tidak bersemangat menerima gagasan dari wakilnya. Sementara di sisi lain wakilnya jauh lebih cerdas. Namun karena bersifat low profile yang artifisial maka gagasannya berhenti hanya di dalam hati saja. Padahal untuk menghadapi beberapa hal yang mendesak dan strategis, keputusan cemerlang perlu segera diambil. Bisa ditebak apa akibatnya bagi pengembangan unit yang dipimpin direksi bersangkutan.

          Dalam dunia usaha yang beroperasi semakin mengglobal maka dibutuhkan terobosan-terobosan cemerlang. Terobosan itu lahir melalui proses manajemen perubahan. Di dalamnya ada kegiatan diskusi intensif di antara para manajemen dan karyawan. Dalam model manajemen kemitraan (partnership) siapapun didorong untuk mengemukakan pendapat. Begitu pula kalau perusahaan sudah menjadi organisasi pembelajaran. Perusahaan mengembangkan transparansi, akuntabilitas, dan pelatihan-pengembangan diri di kalangan karyawan (manajemen dan non-manajemen). Karena itu perilaku low profile yang direkayasa manajemen puncak sudah ketinggalan zaman. Model itu akan menghambat perkembangan inisiatif, kreatifitas, dan daya inovasi manajemen dari para subordinasi. Biarkanlah mereka secara terbuka dan khusus langsung ke atasan dan sesama mitra kerja untuk menyampaikan semua gagasannya.

         Namun di sisi lain sifat bawaan low profile yang mencerminkan kerendahan hati dan tidak menonjolkan diri sangatlah dibutuhkan perusahaan. Itu penting sebagai modal integritas pribadi karyawan dalam meningkatkan pengembangan diri sendiri. Termasuk pengembangan hubungan kerja dan sosial yang saling mengerti dengan mitra kerja dan dengan atasan. Selain itu sebagai pekerja keras dan cerdas, salah satu ciri seorang karyawan  yang baik adalah low profile. Malah konon sebagian khalayak berujar, biarkan saja seseorang itu bersifat low profile asalkan high bonafide.

 

           Konon bangsa kita butuh pemimpin bangsa yang negarawan. Yakni mereka yang memiliki karakter mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan individu, kelompok atau golongannya. Seseorang atau figur yang mampu memberi keteladanan cara berpikir dan berjuang buat bangsa dan rakyat semata. Mereka orang-orang berpendirian teguh dan bertanggung jawab yang berani mengatakan kebenaran walaupun pahit dan risikonya tinggi. Dan pastinya mampu membangun suasana nyaman dan damai jauh dari konflik kepentingan politik sesaat. Kerinduan akan adanya negarawan semakin mengemuka ketika para elit politik memerebutkan kekuasaan puncak di negeri ini. Semua para calon presiden dan wakil presiden berlomba-lomba seakan mereka negarawan. Namun coba saja kita lihat ketika tempo hari proses koalisi yang dibangun. Diawali dengan adanya proses terbentuknya koalisi besar dengan segala janji dan nafsu besar. Namun belakangan tidak tahu lagi nasibnya ketika masing-masing petinggi partai merasa merekalah yang paling layak menjadi calon presiden. Mereka begitu asyik memikirkan kepentingan parpolnya masing-masing. Bukan pada kepentingan bersama yang lebih luas. Begitu juga hal ini terjadi pada setiap proses koalisi partai manapun.

           Kalau bukan negarawan maka apakah meraka sangat pantas diberi julukan hanya sebagai parpolwan?. Ya, mereka merupakan para petinggi elit politik yang hanya mengedepankan peraihan kekuasaan demi kepentingan kehidupan parpolnya. Strategi dan taktik yang disusun dan dikembangkan ditujukan meraih kekuasaan puncak, jabatan menteri, dan anggota legislatif sebanyak-banyaknya. Untuk itu tidaklah heran agar platform parpolnya mengena di hati rakyat maka pendekatan-pendekatan populis menjadi instrumennya. Namun mengumbar janji lebih menonjol ketimbang berbuat nyata ketika mereka menduduki jabatan politik nantinya. Mereka tidak jarang lupa diri dan sangat tidak sadar bahwa rakyat selalu mengingat dan menuntut rayuan-rayuan manis ketika masa kampanye pil-leg dan presiden. Kalau melihat tingkah seperti itu apakah parpolwan tidak bisa menjadi negarawan tangguh?

           Bisa saja seorang parpolwan juga menjadi negarawan. Nothing is impossible. Kepemimpinan alm Bung Karno (Partai Nasional Indonesia), alm M. Natsir (Masyumi), dan alm Syahrir (Partai Sosialis Indonesia) merupakan dari sekian parpolwan yang pantas dikelompokan sebagai negarawan tangguh. Meski mereka aktif sebagai parpolwan namun kepentingan bangsa menjadi tujuan utama mereka berjuang. Kehidupan kesehariannya bersahaja dan tanpa pamrih. Perjuangan diplomasi mempertahankan dan merebut kembali kemerdekaan dari tangan penjajahan Belanda membuktikan hal itu. Bahkan kemudian ketika Bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan mereka tetap pantas disebut negarawan dalam memerjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa. Tidak sedikit gagasan-gagasan tentang kesejahteraan masyarakat, demokrasi, persatuan dan kesatuan bangsa, dan perdamaian dunia telah dilahirkan oleh para negarawan tersebut. Masih dalam suasana hari kebangkitan nasional (20 Mei 2009), seharusnya kita patut berbangga punya tokoh berkaliber seperti itu. Dan tentunya kita pun percaya saat ini dari sejumlah elit bangsa tercinta ini pasti ada tanda-tanda kenegarawanan pada tokoh-tokoh nasional tertentu. Insya Allah suatu ketika bakal lahir lagi negarawan-negarawan pilihan. Amiin.

Laman Berikutnya »