Februari 2011


 

       Setiap orang, apapun kedudukannya pasti punya otoritas atau wewenang. Misalnya kepala keluarga memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan anak-anaknya. Seorang dosen memiliki otoritas ilmiah untuk mengajar, meneliti, dan menulis karya ilmiah. Seorang manajer memiliki wewenang untuk mengkoordinasi para karyawannya dalam mengerjakan tugas perusahaan. Dan wewenang untuk mengusulkan kepada atasan agar karyawannya diberi penghargaan. Lalu sang atasan punya otoritas memutuskan dan memberi penghargaan. Bahkan sekalipun seseorang sebagai mandor bangunan dia punya wewenang untuk memberi instruksi dan melakukan supervisi kepada karyawannya.

        Di suatu perusahaan, otoritas seseorang melekat pada jabatan, misalnya sebagai pemimpin atau manajer. Sejauh mana otoritas seorang manajer dikatakan efektif dicirikan seberapa jauh kepatuhan karyawan untuk mentaati perintahnya. Selain itu otoritas sangat melekat pada sisi kepribadian manajer dalam bentuk sikap. Semakin tinggi mutu kepribadian semakin tinggi komitmen subordinasinya. Namun dalam prakteknya ada beberapa gaya mengembangkan otoritas yang dilakukan manajer. Apakah gaya yang dicirikan dengan kehati-hatian dan bahkan seperti ragu dalam menggunakan wewenang; terlalu percaya diri dan berlebihan dalam memanfaatkan wewenang; dan dengan cara-cara wajar sesuai dengan kebutuhan.

(1). Kehati-hatian atau ragu dalam menggunakan otoritas biasanya terjadi pada manajer baru. Dia akan melakukan orientasi lebih dahulu sebelum setiap keputusan diambil sesuai wewenangnya. Bisa juga terjadi karena tingkat pengetahuan sang manajer tidak sepenuhnya dikuasai manakala dia menghadapi permasalahan tertentu. Karena itu tidak segan-segan dia melakukan konsultasi sesama manajer dan atau ke karyawan yang senior. Tujuannya untuk mencari cara terbaik bagaimana suatu keputusan dapat diambil. Jadi sepertinya walau punya wewenang tipe manajer namun masih mengandalkan kekuatan dari luar dirinya. Gaya seperti ini kalau sering dilakukan bakal kurang efektif karena bertele-tele. Padahal suatu unit kerja membutuhkan keputusan yang sifatnya segera. Karena itu selain harus memiliki kekuatan visioner seorang manajer harus memiliki kepribadian teguh dalam menangani suatu persoalan.

(2). Dalam menggunakan otoritasnya, seorang manajer bisa bertingkah berlebihan. Istilah popnya arogan. Percaya diri yang kebablasan. Kurang melibatkan subordinasi untuk bersamanya membuat suatu keputusan. Pendekatan partisipasi sangat langka diterapkan. Bahkan cenderung wewenang yang digunakan dengan cara-cara otoriter. Dalam kondisi seperti ini para subordinasi tidak dapat berbuat banyak karena semua itu memang wewenang manajer. Dalam jangka panjang model penerapan otoritas seperti ini tidak sehat. Semacam model one man show yang memiliki kekuatan sentralistik. Dan terdapat tekanan-tekanan manajer kepada karyawannya hingga dirasakan muncul otoritas berlebihan.

(3). Ada yang ragu dan ada yang berlebihan. Manajer yang ideal dengan jabatannya adalah mereka yang menggunakan otoritasnya secara wajar. Walau terkesan tegas dan keras namun dalam penerapan otoritasnya tidak dibarengi dengan kesombongan. Manajer tipe ini mampu mengendalikan kekuatan kepribadian dan otoritasnya untuk mampu membuat lingkungan kerja menjadi nyaman. Keberanian dan kepiawaian dalam menggunakan kekuatan otoritasnya sebagai manajer dilakukan tanpa harus mengakibatkan tekanan psikologis di kalangan karyawan. Karena itu manajer bertipe ini tidak mabuk kekuasaan; malahan kerap melibatkan karyawannya berpartisipasi aktif untuk menyampaikan gagasan-gagasan.

        Otoritas adalah unsur sangat penting dalam pengembangan kepemimpinan seorang manajer. Unsur itu digunakan dalam melakukan koordinasi dan pencapaian kinerja individual manajer dan unit kerjanya. Namun dalam penerapannya harus dilakukan sedemikian rupa tanpa harus terjadinya konflik internal. Dengan kata lain diperlukan penggunaan otoritas yang cerdas dan bijak dari seorang manajer.

 

        Perusahaan umumnya memahami bahwa tiap karyawan memiliki talenta (pembawaan) berbeda. Namun perusahaan juga seharusnya mampu memanfaatkan perbedaan talenta menjadi unsur potensial perusahaan. Ketika akan melakukan investasi, suatu perusahaan perlu melakukan peringatan dini tentang baik buruknya talenta. Kemudian mengamati perbedaan derajat talenta positif, memposisikan, mengembangkan,dan mentransformasikannya menjadi kekuatan bonafid. Hal ini penting agar talenta tidak menjadi mubazir atau bahkan sebagai ”musuh” perusahaan.

        Ketika ego karyawan muncul,ada empat tanda-tanda peringatan dini yang dapat mengindikasikan kehilangan nilai; (1) perilaku membanding-banding, (2) defensif, (3) sok memamerkan keunggulan, dan (4) mencari legitimasi. Semakin besar intensitas atau frekuensi tanda-tanda peringatan dini,semakin curam penurunan nilai dari keegoan. Pertanyaannya bagaimana semestinya perusahaan mampu mengelola keegoan karyawan tersebut secara efektif. Mana yang menentukan timbulnya resiko dan mana yang menguntungkan. Dengan kata lain mana ego yang paling bernilai dan mana yang paling menimbulkan biaya besar.

        Untuk mengukur rasio tersebut, pertanyaan logis yang perlu dijawab adalah seberapa sering para karyawan dan perusahaan mengamati kekuatan ego individu dan nilai organisasi bagi kemajuan perusahaan. Menurut David Marcum dan Steven Smith (Egonomics, 2008), 63 persen dari kalangan pebisnis bilang bahwa ego negatif mempengaruhi kinerja setiap jam perharinya, sementara sisanya, sebanyak 31 persen, terjadi setiap minggu. Ketika karyawan terbaik dan unggul (intelektual) telah terrekrut dan ditempatkan, tidak menjamin bahwa kinerjanya sesuai standar perusahaan. Hal ini karena ada pembawaan negatif yang tidak terdeteksi secara teliti ketika proses rekrutmen dilakukan.

 

      Mengetahui hubungan pilihan dengan konsekuensi berarti mengetahui tentang suatu resiko yang bakal dihadapinya. Suatu resiko berfokus pada peluang dimana suatu kegiatan akan mengarahkan pada reaksi tertentu. Dengan kata lain mengelola resiko baru akan berhasil jika karyawan memiliki pemahaman yang mendalam tentang kaitan pilihan dan konsekeuensi. Karyawan yang efektif adalah mereka yang memiliki kemudahan dan pengetahuan tentang resiko. Lalu apa hubungannya dengan koreksi yang seharusnya dilakukan terhadap suatu pilihan?

       Karyawan, sebagai pembelajar, seharusnya mampu melakukan penilaian dan penyesuaian pada pilihan dan konsekuensi yang mereka alami. Mereka secara konsisten membutuhkan kegiatan yang sudah dikoreksi untuk memasuki siklus penentuan pilihan berikutnya. Dengan kata lain butuh proses umpan-balik. Mereka ingin mengetahui bagaimana pekerjaan mereka dapat dipahami dan mempengaruhi rekan kerjanya. Mereka bertanya pada diri sendiri apa yang telah dikerjakan dan apa yang tidak sehingga mereka bisa menyesuaikan diri dan memperbaiki pekerjaannya.

       Jalurnya bisa formal dan informal. Kalau formal berarti umpan-balik dilakukan lewat suatu penilaian terstruktur atau survey. Sementara kalau jalur informal berarti umpan balik dilakukan dengan cara melihat bagaimana reaksi rekan kerja terhadap pekerjaan mereka. Kedua jalur umpan balik itu memiliki tujuan yang sama yakni karyawan tidak ingin membuat kesalahan serupa di masa datang. Mereka ingin berbuat yang lebih baik. Dengan kata lain, mereka tidak ingin berpuas diri pada kondisi status-quo.

      Sebagai organisasi pembelajaran, setiap perusahaan seharusnya memiliki program pengembangan sumberdaya manusia lewat proses belajar di kalangan karyawannya secara berkelanjutan. Dengan semakin tingginya turbulensi yang dihadapi perusahaan, para karyawan dikondisikan sedemikian rupa untuk mampu memutuskan mana dari ragam pilihan yang memiliki prospek terbaik.

       Untuk itu mereka perlu dilatih mulai dari pengembangan pengetahuan tentang bagaimana menganalisis dan membuat pendekatan masalah sampai bagaimana mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari suatu pilihan yang diambilnya. Dengan demikian resiko atau konsekuensi dari setiap pilihan dapat ditekan seminimum mungkin secara dini. Pada gilirannya tidak saja para karyawan akan berkinerja efektif tetapi juga perusahaan secara komulatif akan mampu meningkatkan kinerjanya.

 

      Rapat di tiap unit kerja adalah forum untuk mengambil keputusan tertentu. Setiap keputusan yang ingin dibuat tentunya yang terbaik. Hal itu berkait dengan kepentingan unit, individu karyawan, dan perusahaan. Dalam prakteknya proses penyelenggaraan dan hasil rapat mungkin kurang memuaskan. Dalam arti bahwa ketika rapat berlangsung sering tidak memiliki agenda dan arah yang jelas, pembicaraan ngalor-ngidul, waktu bicara sulit diatur, pimpinan rapat tidak mampu memimpin rapat dsb. Akibatnya hasil rapat tidak optimum.

      Rapat adalah salah satu bentuk komunikasi. Di dalamnya ada interaksi antarpeserta rapat dan antara pimpinan rapat dengan peserta. Interaksi itu berupa tukar pikiran, diskusi, dan debat. Dari interaksi itu maka dihasilkan keputusan rapat. Seberapa jauh rapat berjalan dan dengan hasil efektif antara lain akan sangat dipengaruhi oleh persiapan rapat, peran pimpinan rapat, partisipasi aktif peserta, dan penerapa metode rapatnya serta fasilitas pendukung. Dalam hal ini manajer suatu unit kerja harus sudah memersiapkan beberapa hal yaitu:

  1. agenda yang akan dibahas; harus focus dan jelas butir-butir bahasan yang akan didiskusikan apakah bersifat umum atau spesifik, dan apa yang ingin diputuskan;
  2. siapa saja yang akan diundang rapat; akan sangat bergantung pada jenis rapat, lingkup bahasan, dan tujuan rapat; apakah juga melibatkan mereka yang di luar unit kerja
  3. bagaimana tatakerja rapat diselenggarakan; termasuk di dalamnya tatacara berdiskusi dan pengambilan keputusan rapat; misalnya tentang pembagian giliran bicara, bagaimana kalau terjadi deadlock, dan apakah setiap keputusan melalui musyawarah atau pemunggutan suara;
  4. siapa yang memimpin rapat; siapapun yang memimpin rapat bukan sekedra pengatur waktu giliran bicara namun harus memahami apa isi agenda, piawai memimpin rapat, komunikatif, bijaksana dalam mengatur waktu dan giliran bicara, mampu meredakan konflik, dan mampu menyimpulkan hasil rapat yang bisa diterima semua peserta rapat;
  5. siapa yang menjadi sekertaris; yaitu dia yang memahami isi agenda, membuat catatan pembicaraan, dan membuat konsep keputusan rapat;
  6. siapa yang menjadi notulis; yaitu bisa berjumlah 1-2 orang yang bertugas untuk mencatat keseluruhan isi pembicaraan setiap peserta rapat; dan membuat catatan rapat untuk diberikan kepada sekertaris sebagai bahan perumusan keputusan rapat;
  7. kapan dan dimana diadakan; lamanya rapat akan bergantung pada jenis, lingkup rapat, dan keputusan yang diambil; bisa beberapa jam bisa sampai 1-2 hari; dan diadakan di tempat yang nyaman (cukup luas, tidak panas atau lembab, cahaya yang terang, meja dan kursi yang cukup, dan fentilasi yang baik);
  8. alat-alat yang perlu disediakan, seperti computer, pengeras suara, LCD, alat tulis menulis;
  9. penyampaian undangan rapat berserta bahan-bahan rapat; idealnya undangan rapat telah sampai seminggu ke peserta sebelum waktu rapat dimulai; maksudnya agar semua peserta sudah memrioritaskan untuk hadir dan sudah sudah dapat memersiapkan diri dengan gagasan-gagasan,

      Dengan asumsi rapat sudah dipersiapkan dengan matang maka keberhasilan prose dan keputusan rapat sangat bergantung pada dua “pemain” utama yakni pimpinan dan peserta rapat. Karena itu pimpinan rapat harus melakukan beberapa hal berikut :

1. sebaiknya hadir lebih awal ketimbang peserta rapat untuk menunjukkan kesungguhan dalam memimpin rapat;

2. sebelum rapat, pimpinan dan peserta rapat di lokasi rapat melakukan obrolan-obrolan rileks dalam rangka membangun suasana hangat;

3. membuka rapat kalau jumlah yang hadir sudah dianggap memenuhi persyaratan rapat; dan meguraikan tentang tatacara dan tatatertib rapat;

4. menjelaskan latarbelakang, maksud dan tujuan rapat; kemudian diikuti dengan penjelasan butir-butir bahasan yang akan didiskusikan; dan lalu diperlukan kesepakatan kolektif;

5. memberikan kesempatan kepada siapapun untuk berbicara; bisa secara langsung atau berdasarkan tiap sesi (maksimum 4 orang persesi);

6. mengatur proses diskusi misalnya melakukan kontrol agar pembicaraan fokus pada inti bahasan atau tidak bertele-tele, menghindari konflik antarpeserta dengan cara arif (tidak memihak) menjelaskan perbedaan-perbedaan yang ada diarahkan pada inti dan tujuan rapat; kalau terjadi kemacetan maka bisa dilakukan skors untuk waktu tertentu;

7. merumuskan konsep keputusan rapat dan kemudian disampaikan kepada forum untuk memeroleh tanggapan dan persetujuan;

      Sementara itu agar proses dan hasil rapat berlangsung efektif maka peran peserta sangat penting. Mereka diharapkan sudah memersiapkan diri dengan isyu dan gagasan, ikut aktif memelihara jalannya rapat seperti tidak mendominasi pembicaraan, bertoleransi dengan setiap perbedaan, tidak menyinggung masalah-masalah pribadi dan SARA, tidak hanya mengritik pembicaraan orang lain tetapi juga memberikan gagasan, dan hadir dengan tertib. Dan lebih dari itu mereka harus sudah siap menerima setiap keputusan yang sudah disepakati. Tentu saja merealisasikannya dalam bentuk kerja nyata.

Artikel ini pernah dimuat di blog ini 15.10.2009

 

         Mohon maaf biasanya diucapkan seseorang yang merasa punya kesalahan kepada orang lain. Sudah sangat lazim. Biasanya lalu dijawab oleh orang itu dengan kata ‘sama-sama’. Puncak panen mohon maaf di kalangan umat Islam sering mengemuka pada saat sebelum dan sehabis bulan suci ramadhan. Ungkapan memohon dan memberi maaf merupakan kewajiban ketika ada yang merasa dirinya bersalah. Namun mohon maaf tidak selalu bermotif ada kesalahan. Bisa saja itu diucapkan seseorang kepada orang lain karena ingin menghormatinya. Bisa juga terjadi  kalau-kalau orang itu dirasa akan terganggu dengan ucapan atau tindakannya. Misalnya ketika akan berjalan dihadapan orang yang sudah tua sambil berucap ‘mohon maaf pak numpang lewat’.Atau ‘mohon maaf, apakah bapak tahu rumah pak Dulo di sekitar ini? Atau dalam suatu rapat ‘mohon maaf pak ketua,  pukul berapa rapat ini selesai?’. 
         Nah mohon maaf yang berikut ini termasuk sulit diidentifikasi motifnya. Saya dan diperkirakan juga dosen lain cukup sering mendapat pesan pendek (sms) dalam ponsel berupa mohon maaf dari mahasiswa bimbingan. Contohnya, ‘mohon maaf pak, kapan saya bisa berkonsultasi dengan bapak?…..terimakasih’. Bentuk lainnya berisi pesan: ‘mohon maaf, mengganggu….apakah bapak bisa menerima kedatangan saya siang hari ini untuk menyerahkan proposal penelitian?…terimakasih’. ‘Mohon maaf pak, apakah draf  tesis saya sudah dapat saya ambil? …terimakasih’. ‘ Maaf pak, mengganggu.. apakah saya bisa ujian tesis  minggu depan ?…terimakasih’. Wah yang ini lain  lagi  yaitu ‘mohon maaf pak  apakah kiriman kenang-kenangan saya dari bali sudah diterima? Semoga bapak berkenan…terimakasih’ ..blablablabla.          
         Saya menilai  ‘mohon maaf’ dari mahasiswa bimbingan diucapkan dalam konteks rasa menghormati dosennya. Atau bisa jadi karena dalam isi pernyataannya terdapat unsur permintaan yang bisa saja mengganggu ‘perasaan’ atau merepotkan waktu sang dosen. Jadi makna lain dari ‘mohon maaf’ dapat berujud ungkapan ‘jika tidak keberatan’ atau ‘jika berkenan’. Setiap pernyataan atau pertanyaan selalu diawali dengan ungkapan  mohon maaf.  Tampaknya itu cenderung banyak terjadi di kalangan yang merasa posisinya subordinasi dalam hubungan sosial vertikal. Dalam situasi seperti itu kata maaf tidak jarang diungkap secara tidak kontekstual.Harapan kita tentunya sang mahasiswa tidak akan berlebihan ‘mohon maaf’ sementara sang dosen tidak mania ‘hormat’. Dalam segala pernyataan selalu ada mohon maaf.  Dengan kata lain proporsionallah dalam berucap “mohon maaf” kepada siapa pun.  Dan kontekstual. Di sisi lain tak ada salahnya dosen pun berucap kepada mahasiswa ‘mohon maaf Yudi, saya tidak bisa bertemu dengan anda karena tiba-tiba saya harus menghadiri rapat; nanti anda saya kontak lagi’. Atau ‘mohon maaf saya terlambat datang memberi kuliah karena jalan macet’.

        Tetapi mengapa ada juga anak manusia yang sudah jelas punya kesalahan pada seseorang namun dia tidak mau mohon maaf. Merasa dirinyalah yang paling benar. Sebaliknya ada seseorang  yang minta maaf pada orang tertentu tetapi tidak dimaafkan. Padahal akan  betapa indahnya jika di planet bumi ini semua  permohonan maaf diungkapkan dengan ikhlas. Tanpa batas rasa malu, harga diri dan hirarki sosial. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah (asy-Syura;40). Kalau itu terjadi betapa suatu maaf (meminta dan memberi) bisa menciptakan rasa damai di hati. Rasulullah bersabda: Memaafkan tidaklah menambah sesuatu kepada seorang hamba, kecuali kemuliaan. Oleh sebab itu perbanyaklah kalian memaafkan, niscaya Allah akan memuliakan kalian (HR Ibnu Abiddunya).

 

        Konon seseorang cenderung paling mudah mengatakan dirinya sebagai yang paling. Dalam bahasa Indonesia, makna kata paling adalah menyatakan sangat atau ter-; misalnya paling besar (terbesar), paling jujur (terjujur), paling tinggi (tertinggi), dan paling benar (terbenar). Makna yang akan sedikit dibahas kali ini adalah yang menyatakan sangat; khususnya ungkapan paling segalanya. Mengapa? Karena dalam suasana bekerja bisa jadi simbol-simbol ungkapan paling, banyak diungkapkan sekalipun dalam bentuk implisit oleh para karyawan. Kemudian alasan lain adalah ungkapan paling segalanya banyak diungkapkan oleh pimpinan organisasi termasuk pimpinan perusahaan dan manajer.

        Bagaimana perilaku pimpinan khususnya manajer di dunia bisnis?. Tidak jarang atasan selalu merasa dirinya paling segalanya. Dengan kata lain merasa paling di atas yang paling. Subordinasi tak usah banyak bicara atau tingkah. Laksanakan saja apa yang diperintahkan atasan; titik. Ketika dunia bisnis harus berhadapan dengan persaingan global maka gaya memimpin dari pimpinan seperti itu tak cocok lagi. Bisa-bisa tingkat para karyawan tidak betah. Labor turnover meningkat tajam. Tentu saja perusahaan akan rugi karena kehilangan individu yang potensial. Jelas saja produktivitas perusahaan akan anjlok. Lambat laun kepercayaan pasar juga ikut menurun.

       Seharusnya pimpinan perusahaan jangan menempatkan dirinya sebagai seorang yang super. Dia perlu melibatkan semua individu organisasi utamanya karyawan. Merekalah sebagai aset perusahaan sekaligus unsur investasi efektif yang berdiri paling depan. Karena itulah dalam pengembangan sumberdaya manusia, mereka harus terus dilatih dan secara bertahap diberi otonomi untuk mengembangkan daya intelektualnya. Dengan demikian para individu perlu dikondisikan dalam suasana belajar yang kontinyu untuk menghasilkan gagasan-gagasan inovatif. Ujungnya kinerja perusahaan akan semakin berkembang dalam meraih posisi terunggul di persaingan global.

 

        Dari berbagai rujukan, batasan psikopath adalah suatu perilaku immoral yang kronis dan antisosial dari seseorang. Semacam penyimpangan personaliti atau penyimpangan dissosiatif. Ada yang menyebutkan sebagai penyimpangan personaliti yang narsistic. Wujudnya bisa berupa tindakan kriminal, seksual, pembunuhan sadis, dan impuls agresif. Dan umumnya juga dicirikan oleh ketidak-mampuannya untuk belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Pada tahun 80’an konon di Inggeris, diperkirakan sebanyak satu persen dari total penduduk mengidap psikopath. Mereka merupakan korban dari sistem penjara, politik, lembaga atau hamba hukum, hukum perusahaan, dan media. Dari definisi di atas apakah psikopath bisa juga tejadi di dunia bisnis?

        Pernahkah kita jumpai atau paling tidak kita dengar banyak pebisnis mati bergelimpangan karena terjadinya kanibalisasi di antara mereka?. Berapa banyak usaha kecil mikro tergilas oleh perusahaan raksasa dibidang retail sampai ke pelosok desa perkotaan? Perusahaan besar tersebut begitu rakusnya untuk berekspansi ke wilayah-wilayah pasar tradisional. Walaupun ada kebijakan sampai radius tertentu dari lokasi pasar tradisional tidak diijinkan berbisnis bagi perusahaan konglomerat namun tetap saja tidak dihiraukan. Termasuk penegakkan hukum mengalami kelumpuhan total.

        Contoh lain adalah pertarungan di antara perusahaan besar. Misalnya dalam bentuk monopoli, pembajakan para akhli-manajer unggul, dan penguasaan teknologi. Disamping itu melakukan penipuan mutu produk yang merugikan pelanggan-konsumen, penyuap pejabat, dan kejahatan krag putih yang tidak bedanya dengan pelaku kejahatan di jalanan. Perusahaan-perusahaan yang mengidap psikopath dalam berbisnis itu tepat disebut sebagai perusahaan perampok dan pembunuh. Mengapa demikian? Karena umumnya pebisnis yang sekaligus pengidap psikopath umumnya berperilaku kuatnya kepentingan diri sendiri, manipulatif, asosial, memperkaya diri di atas penderitaan orang lain, dan sangat tidak bertanggung jawab sebagai individu sosial.

        Fenomena psikopath di dunia bisnis tidak lepas dari sistem pemerintahan dan unsur kebijakan perekonomian. Semakin liberalnya suatu pemerintahan cenderung semakin longgarnya sistem perekonomian. Banyak pengamat mengatakan gara-gara kapitalisme modern yang tak terkendali maka munculah mesin-mesin pembunuh terhadap perusahaan yang bermodal pas-pasan; termasuk koperasi. Perusahaan-perusahaan khususnya yang besar sangat rakus meraih keuntungan maksimum dengan cara menggenjot mesin produksi tanpa harus memperhatikan dan menjaga lingkungan. Begitu banyaknya fenomena bencana alam seperti banjir dan tanah longsor merupakan bukti kuat terdapatnya perilaku asosial dan manipulatif terhadap lingkungan. Etika bisnis yang di dalamnya penuh ajaran moral sepertinya tidak digubris. Menurutnya etika adalah urusan pribadi bukan perusahaan.

        Karena itulah pemerintah sebaiknya secara serius mempersiapkan dan menerapkan kebijakan tentang “tanggung jawab sosial korporat” (coorporate social responsibility-CSR). Undang-Undang No. 40 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan perseroan yang bidang usahanya di bidang atau terkait dengan bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Undang-Undang tersebut juga mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab tersebut di Laporan Tahunan. Adanya pelaporan tersebut adalah merupakan pencerminan dari perlunya akuntabilitas perseroan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sehingga para pemangku kepentingan seperti pemerintah (pusat dan daerah), pemilik modal, dan masyarakat dapat menilai pelaksanaan kegiatan tersebut. Selain itu hukum harus ditegakkan secara tegas kepada siapapun yang terbukti mengganggu jalannya aktifitas bisnis dan pelestarian lingkungan.

Laman Berikutnya »