Lingkungan hidup


 

       Pembangunan berkelanjutan diilhami oleh adanya kerusakan lingkungan hidup.Isu lingkungan hidup merebak sejak tahun 1960-an. Pada tahun 1972, PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nation Conference on the Human Environment) di Stokholm. Isunya ialah kerusakan lingkungan hidup (bahan kuliah Falsafah Sains; IPB Sjafri Mangkuprawira).

       Selanjutnya dikemukakan isu pembangunan berkelanjutan semakin kuat dengan diterbitkannya laporan WCED (World Commission on Environment and  Development) sehingga berkembang menjadi isu lingkungan hidup dan pembangunan yang tecermin dalam nama Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro. Akhirnya, 30 tahun setelah Konferensi Stokholm, diadakanlah KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg.

      Lingkungan hidup bukan  isu utamanya, melainkan merupakan bagian pembangunan berkelanjutan, yang seperti disyaratkan oleh WCED: Pertama, harus meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup; Kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Dalam perkembangannya maka kini dikenal istilah green economy atau ekonomi hijau khususnya dalam dunia bisnis.

        Ekonomi Hijau (EH) merupakan proses menyeimbangkan antara peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dan kualitas lingkungan. Dengan kata lain jangan sampai mengalami trade off dengan kerusakan dan kelangkaan ekologi. Karena itu ada ciri-cirinya dimana EH merupakan paradigma baru ekonomi. Dengan EH bagaimana meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengangguran dan kemiskinan sejalan atau bersamaan dengan program pengurangan resiko lingkungan dan kelangkaan sunberdaya alam. Sekaligus pula bahwa EH memiliki aspek strategis dalam pembangunan berkelanjutan.

      Dalam konteks EH maka setiap kegiatan bisnis harus memiliki kriteria pentingnya menempatkan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap keputusan bisnisnya; proses produksi dan produk-produknya harus memiliki ciri-ciri ramah lingkungan; dan menjadikan ”hijau” menjadi salah satu kriteria kemampuan daya sang bisnis. Tentunya daya saing ini tidak hanya sebatas pada ketersediaan modal teknologi dan modal alam saja namun juga modal sumberdaya manusia.

       Modal alam yang semakin langka tidak ditempatkan lagi sebagai ukuran utama keandalan suatu bisnis. Kelangkaan ini harus diimbangi dengan keunggulan modal manusia. Banyak negara yang miskin modal alam namun karena mutu modal manusianya hebat-hebat maka bisa sejahtera. Karena itu berkait dengan berkembangnya manajemen pengetahuan maka sumberdaya manusia dalam bisnis harus ditingkatkan. Mulai dari pemahaman visi tentang EH hingga meningkatnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan sumberdaya manusia. Kompetensi sumberdaya manusia yang berwawasan ekonomi hijau harus menjadi pilihan strategis suatu perusahaan. Disinilah pentingnya setiap organisasi bisnis mengembangkan dirinya menjadi organisasi pembelajaran. Yakni suatu perusahaan yang dicirikan oleh strategi pengembangan sumberdaya manusia dengan dukungan manajemen ilmu pengetahuan.. Disitu ditanamkan perilaku yang tak pernah berhenti belajar dan melakukan perubahan-perubahan yang inovatif berwawasan lingkungan.

  Ini merupakan tulisan pertama dari Rantai Cerita-2 tentang Bogor bertopik “Surat ‘cinta’ buat walikota Bogor”. Penulis berada di Grup Hitam bertugas menuliskan hal-hal yang bukan saja  dari sisi kekurangan Bogor namun  usulan untuk kemajuan Bogor. Dalam tulisan ini penulis memfokuskan tentang kondisi lingkungan daerah aliran sungai. Penulis lainnya  dalam grup ini adalah  MT, Chandra Iman, Erfano Nalakiano, Nonadita, Dieyna, Utami Utar, Miftah, Echaimutenan dan  Httsan

       Belakangan ini begitu banyaknya kejadian bencana alam di Tanah Air. Ada banjir bandang, longsor, angin putting beliung, gempa bumi, gunung meletus, dan banjir lahar dingin. Tak sedikit harta, sawah, dan bahkan nyawa menjadi korbannya. Tentu saja saya mencoba berempati apa jadinya kalau itu menimpa kota Bogor tercinta. Sebagai warga Bogor, saya terpanggil untuk menyarankan kepada Pemerintah Daerah Kota Bogor agar melakukan antisipasi menghindari terjadinya musibah. Salahsatunya adalah kemungkinan akan terjadinya longsor di daerah aliran sungai Pakancilan Bogor. Berikut surat yang saya kirim ke Walikota Bogor.

Bogor 5 Desember 2011
Kepada Yth
Bapak Walikota Bogor
Jln. Ir. H. Djuanda Bogor

Assalamualaikum wr wb

Semoga Bapak selalu sehat dan memperoleh kesuksesan dan keridhaan dari Allah SWT dalam menjalankan tugas sehari-hari.

Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu saya pernah mengirimkan surat ke Walikota dan Ketua DPRD Kota Bogor menyangkut kekhawatiran saya tentang kondisi pemukiman penduduk di daerah aliran sungai Pakacilan seberang Jalan Paledang Kecamatan Bogor Tengah. Kondisi tanah sudah sedemikian kritisnya. Jalan setapak sudah sangat sempit dan tidak layak. Begitu pula kondisi rumah yang rawan jatuh ke jurang karena dayadukung lahan yang rendah (sempit dan tekstur-struktur kritis) dengan topografi yang sangat terjal.

Dalam surat itu pula saya mengusulkan beberapa hal berikut ini (garis besar) :

(1) Daerah di atas sekitar aliran sungai seharusnya dijadikan sebagai jalur penghijauan tanpa ada area pemukiman penduduk.

(2) Relokasi penduduk yang tinggal di bantaran sungai tersebut ke daerah baru, misalnya ke lokasi pemukiman (real estate) atau lokasi lain di sekitar Bogor. Untuk itu diperlukan penyuluhan dan subsidi dari pemerintah kota dan/atau pusat. Sangat dianjurkan terjalinnya kerja sama pemerintah kota dengan pihak real estate demi kemanusiaan.

Namun surat ini tidak ditanggapi. Padahal surat itu salah satu bentuk keterlibatan masyarakat terhadap pembangunan kota Bogor, khususnya tentang kelestarian lingkungan. Saya khawatir dengan kondisi curah hujan yang tinggi dan kemungkinan terjadinya gempa kalau tidak segera dilakukan tindakan nyata, pada gilirannya cepat atau lambat, akan menimbulkan kerawanan bencana longsor. Tidak saja akan muncul kerugian materi tetapi juga korban jiwa.

Saya percaya Bapak akan mempertimbangkan keprihatinan saya ini demi menghindari tragedi kemanusiaan dan kerusakan lingkungan. Perencanaan dan tindakan yang matang memang sangat dibutuhkan untuk menangani kondisi lingkungan yang kritis. Atas perhatian Bapak diucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum wr wb.
Sjafri Mangkuprawira
Jln. Gunung Batu 81 Bogor
Tel.
8322932, 8385488

Nah para blogor, surat ketiga ini untuk menegaskan kembali betapa pentingnya antisipasi yang perlu dilakukan Pemda Kota Bogor terhadap isyu yang saya sampaikan di atas. Kalau tidak direspon dalam bentuk tindakan nyata oleh pemda maka sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh masyarakat peduli lingkungan? Juga kalau surat “cinta” ini untuk ketiga kalinya tak gayung bersambut apakah kita lalu berdiam diri saja?

 

           “Ah bosan yang itu-itu juga”; demikian kalau seseorang sedang mengeluh akan sesuatu. Tiap orang bisa dipastikan pernah mengalami kebosanan. Apakah itu berkait dengan masalah makanan, pekerjaan, benda yang dimiliki, pemandangan ataukah tentang obrolan. Misalnya kalau toh diberi satu unit tambahan makanan atau pekerjaan baru maka yang muncul adalah semakin berkurangnya tambahan kepuasan yang bersangkutan. Akumulasi dari kebosanan atau ketidakpuasan adalah salah satu langkah menuju kejenuhan. Kalau seseorang mengalami kejenuhan dalam bekerja maka akibatnya fatal. Yang bersangkutan bakal malas, ketidaksungguhan bekerja dan mengalami penurunan kinerja. Dan kalau tidak ada upaya perubahan mereka akan keluar dari perusahaan. Tentunya mencari suasana bekerja yang baru. Pertanyaannya mengapa karyawan bisa mengalami kejenuhan kerja?

          Jenuh merupakan fenomena psikis. Ia bicara tentang suatu perasaan dan mental. Misalnya kelelahan fisik dalam bekerja bisa menimbulkan kelelahan nonfisik atau mental. Mental orang tersebut direfleksikan dalam bentuk keluhan-keluhan. Selain itu karena faktor ketidaknyamanan bekerja karena melakukan pekerjaan yang monoton atau kurang menantang. Juga bisa terjadi karena kurangnya penghargaan dari atasan; pengetahuan yang dimiliki karyawan yang tidak berubah; jenis tugas dan tanggung jawab yang statis; jenis pekerjaan yang kurang bervariasi; lingkungan kerja yang kurang nyaman; fasilitas pendukung kerja yang kurang, dan kurangnya kegiatan sosial/kekeluargaan di lingkungan perusahaan. Akumulasi dari keluhan itu akan sampai pada tingkat kejenuhan tertentu.

          Otak karyawan yang sedang mengalami kejenuhan tidak bekerja secara optimum karena tidak adanya stimulus atau rangsangan dari luar. Malah yang terjadi adalah kegelisahan emosional yang terus menerus. Lalu derajat kreatifitas dan inisiatif akan mengalami penurunan. Akhirnya produktifitas kerja ikut menurun. Kalau tidak teratasi maka bisa saja para karyawan melakukan protes kepada perusahaan. Secara lambat namun pasti hal demikian akan menurunkan kinerja perusahaan. Karena itu perusahaan harus memahami kalau ada karyawannya yang jenuh dan mencari pemecahannya.

          Menentukan upaya mengatasi kejenuhan bekerja akan sangat bergantung pada faktor penyebabnya. Kalau dia seorang karyawan maka upaya mengatasi kejenuhan bisa didekati dari dua sisi yakni sisi individu karyawan dan perusahaan. Dari sisi upaya individu karyawan bersangkutan, pendekatannya berupa; (1) peningkatan pengetahuan baru melalui pelatihan dan upaya sendiri dengan banyak membaca buku-buku praktis; (2) peningkatan kreatifitas dan kemudian menyampaikannya kepada atasan untuk dapat direalisasi oleh perusahaan; dan (3) menjaga atau memelihara kesehatan fisik dan mental dengan prima.

        Sementara dari sisi perusahaan, upaya mengurangi kejenuhan karyawan antara lain berupa; (1) pengayaan pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi, kepuasan dan kinerja karyawan. Karyawan diberi jabatan yang lebih tinggi agar mereka mengalami beberapa kondisi psikologis krusial, termasuk memperoleh pekerjaan yang bermanfaat, perasaan tanggungjawab, dan memiliki pengetahuan dari hasil aktual dari kegiatan bekerja yang lebih besar; (2) perluasan pekerjaan dengan pemberian pekerjaan tambahan kepada karyawan agar mereka mendapat pengetahuan dan pengalaman serta tanggungjawab baru. Karena jabatannya tetap sama maka beban kerja karyawan seharusnya tidak menjadi berlebihan di atas standar operasi kerja organisasi; (3) rotasi pekerjaan yakni suatu tehnik perancangan kembali suatu pekerjaan yang diperuntukkan bagi karyawan yang punya kesempatan untuk pindah dari pekerjaan yang satu ke yang lainnya untuk belajar  dan memperoleh pengalaman dari keragaman tugas. Manfaatnya, antara lain meningkatkan keterampilan karyawan dalam melakukan pekerjaan lebih dari satu tugas yang sekaligus akan mengurangi kejenuhan kerja; dan (4) meningkatkan kegiatan informal berupa pertemuan sosial atau kekeluargaan perusahaan, misalnya acara darmawisata, olahraga, dan kesenian.

 

       Tidak jarang kemampuan daya saing bisnis hanya dilihat dari sisi penguasaan teknologi keras saja. Semakin dikuasainya teknologi itu semakin tinggi daya inovasi dan produktifitas bisnisnya. Ternyata dalam prakteknya tidaklah cukup. Mengapa? Karena efektifitas teknologi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor non-teknologi. Hal inilah yang kerap terabaikan oleh para pihak manajemen. Untuk itu dibutuhkan bentuk inovasi lunak yang disebut dengan inovasi sosial. Kanter (1983) dalam bukunya The Change Masters, menyatakan:Indeed, it is a virtual truism that if technical innovation runs far ahead of complementary social and organizational innovation, its use in practice can be either dysfunctional or negligible.

       Mengapa inovasi sosial dibutuhkan? Jawabannya, karena selama ini produk inovasi teknologi sering menimbulkan degradasi lingkungan fisik, sosial dan ekonomi. Inovasi teknologi sering mengabaikan pertimbangan-pertimbangan keseimbangan lingkungan. pasalnya karena inovasi teknologi kerap tanpa memasukkan unsur-unsur kehidupan lainnya yaitu, humaniora, manajemen khususnya manajemen sumberdaya manusia, dan etika. Seharusnya inovasi sosial mendorong terjadinya inovasi teknologi bukan sebaliknya.

       Hal ini sejalan dengan pendapat Collins,(2002),  Although technical innovations, such as sticky shoe rubber [sic], contributed to climbing progress, the primary drivers were in fact social innovations. Dia menambahkan:…social inventors, designing an environment that would be the seedbed for many insanely great innovations over decades to come.To lead for innovation, then, does not mean leading the creation of innovations per se or being a towering innovative genius yourself. Rather, it means being innovative in the way you lead, manage, and build your organization.

       Dalam kaitan dengan itu maka perusahaan yang menerapkan inovasi sosial akan lebih mampu memiliki daya saing bahkan sampai tingkat pasar global. Pengakuan internasional dengan standar internasional (ISO) di bidang manajemen lingkungan misalnya, mensyaratkan tiap bisnis harus menerapkan inovasi sosial. Begitu pula dengan kebijakan corporate social responsibility maka setiap perusahaan harus membuat suatu strategi bagaimana menempatkan perusahaan tidak terlepas dari system social lingkungannya dimana perusahaan itu berada. Perusahaan haruslah menjadi bagian dari upaya langsung atau tidak langsung untuk aktif mensejahterakan lingkungan social ekonomi di sekitarnya.

 

        Akibat perubahan iklim yang sedang mengglobal tidak main-main. Banyak bahaya dari system lingkungan yang terjadi sebagai akibat perubahan iklim. Fenomena musibah angin kencang dan gelombang pasang bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa ada indikasi sebelumnya. Terjadi perbedaan kondisi wilayah. Di wilayah yang satu bisa kekurangan air namun di wilayah lainnya terjadi banjir besar. Tentu saja hal demikian akan mengganggu produksi dan distribusi pangan. Begitu pula terjadi kebakaran hutan yang tak terkendali dapat menimbulkan gelombang asap yang mengganggu kesehatan manusia.

        Pengaruh perubahan iklim juga terjadi pada kondisi produktifitas kerja masyarakat. Kesehatan masyarakat terkena imbas dari kondisi kesehatan lingkungan. Bukan itu saja namun ada pengaruhnya juga terhadap pertambahan mereka yang tergolong miskin. Masalah yang timbul adalah ketika orang-orang miskin tidak memiliki kapasitas adaptif terhadap dampak buruk perubahan iklim. Dengan kata lain mereka sangat rentan pada perubahan iklim global sehingga jatuh pada jurang kemiskinan.

        Selain itu, pengaruh perubahan iklim ini terhadap jumlah penduduk yang semakin miskin dicirikan oleh produktifitas kerja yang rendah. Hal ini berkait dengan unsur-unsur gangguan kesehatan seperti sesak nafas, asma, dan gizi yang rendah. Misalnya ketika bersentuhan dengan udara yang lebih banyak karbondioksidanya, maka beragam kandungan lingkungan bisa memicu alergi, yaitu unsur yang membuat kulit gatal-gatal. Para akhli menemukan dengan semakin banyaknya karbondioksida, rerumputan menjadi menghasilkan lebih banyak serbuk. Dan bahkan memproduksi lebih banyak serbuk pemicu alergi, sehingga alergi musim gugur akan menjadi pukulan terbesar terhadap kesehatan manusia.

        Semakin tinggi derajat pengaruh perubahan iklim semakin tinggi pula kerentanan masyarakat miskin pada produktifitas kerja. Karena itu diperlukan jalan keluar agar efek perubahan iklim bisa diperkecil. Itu adalah tindakan represif. Namun yang jauh lebih penting adalah tindakan preventif. Dalam hal ini kearifan lokal di lingkungan masyarakat tertntu sangat dibutuhkan untuk mengembangkan program-program yang berorientasi pada alam bersih. Begitu juga penerapan strategi pembangunan berkelanjutan harus menjadi fokus perhatian para pemutus kebijakan dan pelaku pembangunan secara konsisten. Pada konteks pekerjaan dan produktifitas kerja dibutuhkan terujudnya strategi yang disebut “green jobs” (lapangan pekerjaan prolingkungan). Fungsinya sebagai kunci utama dalam mensolusikan masalah-masalah ketika menghadapi ancaman pemanasan dan perubahan iklim global.

          Hampir dalam setiap ungkapan tentang perilaku pengemis kepada seseorang yang dianggap mampu bilang “tolong pak/bu,saya lapar… sudah dua hari tak makan…”. Nah di sisi lain pasti kedengarannya sangat tidak masuk akal rasa lapar kok nikmat. Apalagi ada embel-embel rasa lapar karena tidak ada yang bisa dimakan alias tidak punya duit. Ya apa salahnya? Percaya tidak, rasa lapar itu justru akan mendatangkan nilai kebaikan bagi seseorang. Di bulan ramadhan misalnya, rasa lapar sebenarnya bukanlah suatu bentuk penderitaan. Lapar lewat shaum secara alami justru sebagai bagian dari proses pemulihan dari alat pencernaan yang hampir setahun lebih bekerja. Nah ketika waktu berbuka tiba, disitulah kenikmatan diraih disertai rasa bersyukur. Lebih dari itu ia mampu menumbuhkan   empati bagaimana rasanya menjadi orang miskin.

          Ketika rasa lapar terjadi pada orang yang mampu, dia dapat belajar dari kondisi kehidupan kaum papa. Bagi yang mampu, habis rasa lapar datanglah rasa kenyang. Namun bagi si miskin habis lapar datanglah lapar berikutnya. Si kaya seharusnya merasakan bagaimana perihnya perjuangan kaum miskin untuk bisa makan. Dia membayangkan si miskin akan melakukan apapun asalkan dia bisa hidup dengan jalan halal. Rasa lapar inilah makin membangunkan rasa dan jiwa dia untuk meningkatkan iman dan takwa. Dalam bentuk apa? Ya dalam wujud simpati dan empati untuk tidak bermegah-megah di lingkungan kaum papa. Malah berbagi rasa dengan memberi bantuan sedekah kepada kaum dhuafa untuk keluar dari kenestapaan.

         Bagi yang berlatar belakang  peneliti, dia akan mempelajari proses  terjadinya rasa lapar. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya mulai dari aspek ekonomi, biologis-fisiologis sampai ke faktor perilaku atau kebiasaan makan. Si peneliti secara kuantitatif akan mampu menganalisis dan memprakirakan misalnya dampak kenaikan BBM terhadap jumlah warga yang miskin. Dampak lumpur panas Lapindo terhadap kemiskinan. Semakin banyak yang miskin semakin banyak orang yang kelaparan. Kalau dikemas secara ilmiah, hasil analisis fenomena lapar itu bisa menjadi karya ilmiah bermutu. Lalu siapa tahu pula dia memperoleh penghargaan tinggi dari karyanya itu.  Itulah  nikmatnya menyelami rasa lapar.

          Sementara bagi si miskin, rasa lapar adalah suatu cobaan. Dia senantiasa berdoa untuk keluar dari rasa lapar karena kemiskinan. Dia bertasbih ketika perut melilit pertanda rasa lapar tiba. Dia bersabar dan berdoa…..bersabar dan berdoa serta terus berupaya. Banyak contoh  orang  yang awal hidupnya sering kelaparan lalu menjadi kaya.  Mereka berpendapat beban hidup tidak untuk ditangisi. Menurutnya justru harus dipandang sebagai unsur kekuatan. Dengan cara pandang seperti itu justru dia mampu melampauinya dengan sukses. Ada yang tadinya pemulung sekarang sukses sebagai pengolah (daur ulang) sampah plastik. Sementara lainnya, yang semula kuli kasar bangunan sekarang jadi pemborong sukses. Ada pula yang malang melintang sebagai supir “tembak” (tak menentu), sekarang malah menjadi penjual barang bagian-bagian mobil rongsokan yang sukses.

         Mereka yang dahulunya miskin dan kemudian sukses itu memang hidup dengan hati kuat, cinta akan kehidupan yang membara, dan spirit tinggi. Ya mereka tidak mau terjebak ke dalam beban hidup  rasa lapar berkepanjangan. Beban hidup diolah menjadi peluang hidup. Istilah kerennya "manajemen lapar". Menurutnya lebih baik mengenyam rasa lapar fisik ketimbang  lapar rohani: perasaan, semangat dan jiwa. Subhanallah.

       Saya percaya Anda, sekalipun kaya, pernah merasa lapar. So sentuhlah, rasakanlah dan resapilah rasa lapar secara maknawi. Maka Anda juga akan mampu memberikan sentuhan kebahagiaan  buat umat yang masih tertinggal. Sekurang-kurangnya buat Anda dan keluarga sendiri. Banyak jalan kearah itu. Menegakkan  zakat, infak, dan sedekah adalah bagian dari sentuhan itu.Selamat menikmati rasa lapar.

 

        Belakangan ini sorotan mata masyarakat makin mendelik ketika ada fatwa merokok itu haram yang diputuskan Pengurus Pusat Muhamadiah. Sebelumnya Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat 23-26 Januari 2009 yang baru lalu melakukan hal sama Pasalnya merokok sebelumnya hanya dipandang sebagai kegiatan bersifat makruh namun kali ini tidak tanggung-tanggung jatuh pada fatwa haram. Intinya bahaya merokok lebih banyak mudharatnya ketimbang faedahnya.

         Siapa pun tahu bahaya merokok. Namun dalam kenyataannya terjadi paradoks. Di tiap bungkus rokok tercantum peringatan bahaya merokok. Pertanyaannya mengapa masih saja banyak yang merokok? Dan dari golongan mana? Diperkirakan kebanyakan perokok berasal dari strata miskin. Penelitian Bappenas tahun 1995 menunjukkan sebanyak sembilan persen dari pendapatan strata miskin untuk rokok (Tulus Abadi, Majalah Tarbawi Edisi 104, 17 Maret 2005). Bentuk paradoks lain tentang merokok adalah pendapatan negara dari cukai rokok yang diperkirakan per tahunnya mencapai angka 27 triliun rupiah. Sementara itu biaya kesehatan yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat jumlahnya sebanyak tiga kali lipat dari nilai cukai rokok atau 81 triliun rupiah. Belum lagi kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan.

         Sebelum fatwa MUI dan PP Muhamadiah tersebut, Pemda DKI sejak 5 Februari 2006 lalu sudah memberlakukan larangan merokok di ruang fasilitas umum. Seperti tercantum dalam pasal 13 Perda ini, seseorang dilarang merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, tempat ibadah, angkutan umum, tempat belajar, serta tempat kegiatan anak. Konsekuensinya, diperlukan fasilitas khusus untuk para perokok supaya tidak mengganggu orang lain. Larangan merokok secara efektif paling lambat dilaksanakan setahun kemudian. Kalau seseorang diketahui sedang merokok ditempat terlarang akan didenda maksimum 50 juta rupiah atau masuk bui selama maksimum enam bulan. Tetapi apa yang terjadi di lapangan? Hangat-hangat “anunya” ayam. Tindakan tegas terhadap perokok yang melanggar aturan ternyata sepi-sepi saja.

         Beragam reaksi pada fatwa itu bermunculan. Ada yang belum tahu dan ada juga yang sudah. Ada yang pro dan ada yang kontra.Yang paling menentang tentunya perokok berat. Larangan itu dianggap tidak realistis. Terlebih lagi itu mengurangi kebebasan atau hak asasi manusia. Bahkan di sela-sela yang kontra ada beberapa ulama pondok pesantren yang tidak mengamini fatwa MUI tersebut. Ketika diwawancarai pun dengan mencolok begitu santainya ulama bersangkutan sambil menghisap rokok. Katanya, larangan itu tidak jelas dasar fikihnya. Selain itu ada ulama yang bilang larangan itu sangat merugikan para pekerja pabrik dan produk rokok rumahan. Pasalnya kalau mereka menganggur pasti akan timbul pengangguran dan kemiskinan baru. Kalau kemiskinan merajalela maka itu sama saja membiarkan mereka dekat dengan kekufuran.

         Sebaliknya yang pro akan bilang kalau tidak dilarang itu tidak adil katanya. Karena merokok itu tidak sehat maka yang tidak merokok terkena akibatnya dari ulah si perokok. Mengganggu hak asasi untuk hidup sehat. Jadi perokok yang mengganggu kesehatan orang lain itu memang perlu dilarang, tambahan himbauan non-perokok. Agar efektif, yang perlu dilakukan adalah sosialisasi dan berlanjut dengan internalisasi intensif. Bukan saja tentang fatwa dan atau peraturannya, tetapi juga tentang bahaya merokok. Nah sasaran pertama sebaiknya di dalam keluarga sendiri, para pejabat dan tokoh masyarakat, di tempat kerja dan petugas ketertiban. Keteladanan orangtua, para guru dan dosen, dan pimpinan unit sangatlah penting.

(diadaptasi dari artikel Blog Rona Wajah 28 Januari 2009).

Laman Berikutnya »