Sebagai dosen


 

          Tantangan yang dihadapi bangsa selama ini begitu bervariasi sepertilemahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan, pendapatan dan pemerataan yang timpang, pengangguran, ketertinggalan teknologi, infrastruktur, kerusakan lingkungan, tingginya volume impor bahan pangan, dan persaingan komoditi ekspor . Itu semua mengindikasikan terjadinya tragedi dalam hal kemanusiaan, liberalisasi pasar, rendahnya penguasaanteknologi dan kerusakan lingkungan.

         Tantangan tersebut tidak lepas kaitannya dengan karakteristik globalisasi gelombang ketiga atau tidak terkendalinya globalisasi neo-liberal yang semakin mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat. Tanpa disadari gelombang tersebut telah banyak menguras sumberdaya alam, penguatan para pemilik modal, terjadinya ketimpangan pendapatan, dan timbulnya kesalahan alokasi sumberdaya termasuk berkembangannya pola konsumsi yang cenderung sangat materialistik dan sekularisme.

          Pada tahap sekarang dimana terjadi transisi demokrasi maka hal itu akan lebih bermakna bagi rakyat bila terjadi transformasi ekonomi. Hal demikian sangat diperlukan mengingat selama ini arus ekonomi yang terjadi di dunia berpihak kepada negara maju. Liberalisasi perdagangan, lalu lintas modal raksaksa dan rekayasa sektor keuangan bisa mengancam perekonomian nasional Indonesia. Dalam hal inilah IPB hendaknya mampu berperan sebagai pengoreksi dan pencetus gagasan-gagasan maju setiap kebijakan pembangunan nasional khususnya pembangunan pertanian.

       Tantangan Pembangunan Pertanian yang dihadapi bangsa Indonesia antara lain:1) belum maksimumnya produktivitas dan nilai tambah produk pertanian di beberapa sentra produksi disamping terjadinya konversi lahan di p Jawa yang sulit dikendalikan; 2) kurangnya perbaikan dan pembangunan infrastruktur lahan dan air serta perbenihan dan perbibitan; 4) masih kurangnya akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendah bagi petani/peternak dan nelayan kecil; 5) belum tercapainya Millenium Development Goals (MDG’s) yang mencakup angka kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan; 5) kurangnya kebijakan yang proporsional untuk produk-produk pertanian khusus; 6) lemahnya persaingan global dalam berbagai dimensi produk, mutu, teknologi, sumberdaya manusia, dan efisiensi; 7) menurunnya citra petani dan pertanian serta pentingnya diciptakan suatu keadaan agar kembali diminati generasi muda: 8) masih lemahnya kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan; 9) pentingnya sistem penyuluhan pertanian yang inovatif; dan 10) bagaimana kebijakan insentif yang tepat agar sektor pertanian menjadi bidang usaha yang menarik dan menjanjikan.

         Pemikiran besar perguruan tinggi pertanian seperti IPB bisa dalam bentuk gagasan sistem pembelajaran, riset dan pengembangan berbasis pada kebutuhan pertanian arti luas, proteksi kepada petani untuk komoditi tertentu, tata niaga yang berpihak kepada rakyat, penguatan di sektor riil, perluasan lapangan kerja dan usaha yang berbasis kepada UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), pembangunan modal manusia di sektor pendidikan, kesehatan dan keagamaan, serta perhatian terhadap sistem nilai tukar dan rejim devisa.

        Pengembangan tridarma perguruan tinggi khususnya IPB masih menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Salah satunya yang utama adalah keterbatasan dana/anggaran untuk pendidikan, riset dan pengembangan, dan peningkatan kualitas dosen (studi lanjutan) dan tenaga kependidikan. Karena itu pengembangan jejaring kerjasama dengan industri dan bisnis multinasional dianggap sangat penting utamanya di bidang riset dan pengembangan.

 

        Budaya akademik yang berkarakter baru bisa berkembang kalau IPB mampu memfasilitasi dalam bentuk program dan kegiatan akademik yang bersinambung. Setiap insan dosen terbuka peluangnya untuk mengembangkan potensi dirinya tanpa ketat dikungkung aturan birokrasi dan bahkan oleh ketidakadilan dan kekurangan-perhatian dari “seniornya”. Budaya akademik harus memiliki karakter bahwa mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu adalah manifestasi dari ibadah seseorang. Disitu kental ciri budaya akademik yang berkarakter ibadah bahwa “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

        Di sisi lain maka dibutuhkan keteladanan sebagai karakter sejati para senior utamanya para guru besar dalam berbudaya akademik. Kegiatan mengajar, membimbing dan meneliti serta menulis jurnal dan buku ajar seharusnya menjadi perhatian yang tinggi ketimbang mencari jabatan-jabatan teknis. Para guru besar seharusnya mampu menjadi panutan dalam bidang kehidupan spiritual, memiliki wawasan keilmuan yang luas, berbudi pekerti luhur, dan profesional di bidangnya. Dengan demikian penerapan budaya akdemik seperti ini secara otomatis dan alami akan diikuti oleh para “yunior” dan mahasiswanya. Jangan sampai ada kesan seorang dosen baru rajin menulis karya ilmiah hanyalah ketika sibuk untuk meraih KUM jabatan akademik saja.

         Bentuk budaya akademik yang sangat substansi adalah datang dari setiap insan akademik utamanya dosen. Budaya menelaah bahan ajar, diskusi keilmuan, tinjauan teori-teori yang ada, penelitian, menulis buku dan jurnal ilmiah seharusnya menjadi aktifitas keseharian. Ada baiknya dikembangkan perilaku atau ekspresi ilmiah,seperti penelitian, yang diawali dari perenungan, perencanaan, penelitian, rekonstruksi/kontemplasi, penulisan, dan publikasi serta diseminasi karya ilmiah dalam bentuk seminar, penulisan dan publikasi ilmiah.

         Dalam konteks kehidupan modern maka IPB hendaknya mengembangkan jejaring lintas budaya akademik antarbangsa. Interaksi antarbudaya menjadi semakin penting dalam kerangka akulturisasi budaya tanpa menghilangkan budaya akademik berkarakter yang ada. Intinya adalah bagaimana dengan komunikasi budaya tersebut IPB memeroleh manfaat untuk mengambil sisi nilai baiknya suatu budaya akademik dari luar.

 

         Hari ini saya menghadiri orasi ilmiah tiga orang perempuan Guru Besar IPB. Salah satunya adalah mantan bimbingan saya ketika dia menempuh pendidikan S1 dan S2 sekitar dua puluh tahun lalu. Tentunya hal ini sangat membanggakan dan sekaligus rasa syukur saya. Dengan demikian sejak kini  saya dan dia sudah  sama-sama profesor. Suatu kejadian yang saya anggap langka dari sejumlah mantan bimbingan saya selama ini.

          Sampai saat ini tidak kurang dari 450 orang alumni IPB (strata 1-3) yang pernah saya bimbing. Kalau mahasiswa yang pernah saya ajar, khususnya dalam ilmu Pengantar Ekonomi, Pengantar Manajemen, Pembangunan Pertanian, Manajemen SDM, Teori Organisasi, dan Kebijakan Pertanian, diperkirakan jumlahnya ribuan. Kini mereka tersebar sebagai dosen, birokrat, anggota legislatif, peneliti, dan wirausaha. Kalau saya hitung paling tidak terdapat ratusan lulusan IPB yang sudah berhasil sebagai akademisi dan pengamat sosial ekonomi tingkat nasional bahkan internasional seperti itu.

          Diperoleh kabar tidak kurang sebanyak 40 orang yang kini sedang menduduki jabatan eselon satu di pemerintahan. Disamping ada yang sebagai menteri dan presiden, hahaha. Bahkan beberapa diantaranya sudah lebih awal menjadi guru besar dibanding saya. Tentunya salahsatu unsur keberhasilan mereka adalah hasil proses pembelajaran yang dilakukan oleh suprasistem yaitu semua dosen yang berdedikasi tinggi disamping karena kemampuan dan upaya mereka sendiri.

            Sebagai dosen, saya bangga sekali dengan keberhasilan mereka. Tiada kata lain yang meluncur kecuali ungkapan rasa syukur….. yang mensyukuri ni’mat-ni’mat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus (An-Nahl; 121). Kebanggaan itu semakin bertambah ketika mereka membawa tambahan ilmu pengetahuan untuk dikembangkan, paling tidak di kampus IPB. Para mahasiswa baru tentunya semakin terbantu dan semakin kaya ilmu. Harapannya adalah mutu lulusan IPB semakin unggul.

           Bagi saya, sebagai orang yang pernah menjadi guru mereka, sekarang tidak mau kalah untuk menimba ilmu…..lalu saya “berguru” pada mereka. Dalam kesempatan tertentu saya biasa meminta informasi buku ilmu ekonomi, organisasi dan manajemen apa saja yang mereka miliki. Dan tidak segan-segan saya minta diajari bagaimana menjelaskan dan menggunakan suatu teori dan model analisis mutahir yang belum saya ketahui. Saya butuh itu sekalipun dari seorang mantan mahasiswa saya. Nah itulah senangnya bekerja di perguruan tinggi. Tidak mengenal bentuk hirarki struktural dan fungsional. Yang ada cuma suasana kolegial. Tidak perlu ada sungkan.

 

           Sebenarnya pensiun adalah fenomena alami ketika seseorang yang usianya dianggap sudah lanjut harus sudah tidak berstatus pegawai tetap lagi. Begitu pula yang bersangkutan tidak bisa mengelak ketika peraturan menyebutkan pada usia tertentu harus sudah siap pensiun. Dengan kata lain yang bersangkutan harus ikhlas. Namun kata pensiun tidak jarang diasosiasikan dengan gambaran “menakutkan”. Hal itu biasanya muncul setelah masa tiga bulan-enam bulan pertama masa pensiun dilewati. Ketika itu terjadi maka diperkirakan ada beragam fenomena psikologis yang muncul. Pertama, merasa bingung apa yang harus diperbuat akibat sudah tidak punya kegiatan lagi. Kedua merasa kesepian dibanding ketika masih aktif sebagai pegawai. Ketiga, merasa biasa-biasa saja. Kemudian bisa jadi karena sang pensiunan belum mempersiapkan rencana kegiatan sesudah pensiun secara matang. Hal demikian, bisa juga karena yang bersangkutan merasa tidak memiliki sumberdaya khususnya dana dan pengalaman serta jejaring bisnis.misalnya untuk berwirausaha. Sementara yang ketiga biasanya sang pensiunan sudah memiliki rencana kegiatan pasti yang telah dirintis sebelum pensiun.

          Sudah banyak rujukan bagi para pensiunan bagaimana mengisi kekosongan waktu. Umumnya isi rujukan berkisar pada bagaimana mencari peluang berwirausaha. Disitu diberi contoh berbagai peluang bisnis melalui investasi mulai dari modal relatif “kecil-kecilan” sampai modal “besar”. Diberi informasi pula bagaimana langkah-langkah yang perlu dilakukan. Sementara di bidang non-wirausaha seperti dalam kegiatan mengajar, memberi ceramah atau materi seminar dan menulis buku hampir-hampir tidak ada rujukannya. Padahal itu juga merupakan kegiatan mengisi masa pensiun yang produktif. Di sisi lain ada juga pensiunan yang tidak melakukan kegiatan yang bersifat “mencari nafkah”. Yang dilakukan para pensiun seperti ini adalah dalam bentuk kegiatan sosial. Mulai dari kegiatan di organisasi kemasyarakatan berskala tingkat rukun warga dan kelurahan sampai tingkat nasional bahkan tingkat internasional. Contoh untuk pensiunan seperti ini adalah yang dilakukan seorang jenius sekaligus pebisnis raksasa; Bill Gates. Dia memutuskan untuk pensiun pada 27 Juni 2008 dari Microsoft setelah lebih dari 33 tahun mengembangkan bisnisnya dengan penuh kontroversi dan keberhasilan puncak di dunia. Sekarang Bill Gates akan menghabiskan waktunya pada sebuah yayasan yang didirikan bersama istri dan keluarganya yakni Bill & Melinda Gates. Bagaimana masa pensiun diisi oleh seorang guru besar?.

          Sebagai seorang guru besar emeritus, saya sudah menjalani masa pensiun selama tiga tahun lebih. Alhamdulillah masih masih mendapat kepercayaan dari IPB untuk terus mengajar dan membimbing mahasiswa. Di tahun 2011 kegiatan mengajar dengan lima mata kuliah bagi mahasiswa semua dan di semua semester. Saya pun masih bertugas membimbing mahasiswa semua strata sebanyak 26 orang. Diperkirakan kalau jumlah mahasiswa bimbingan tidak bertambah maka berarti saya baru akan menyelesaikan bimbingan dua sampai tiga tahun ke depan. Terutama untuk membimbing 21 kandidat doktor. Kegiatan membina para dosen muda pun terus dilakukan.

           Di samping mengajar dan membimbing saya akan terus menulis buku ilmiah seperti yang selama ini saya lakukan. Insya allah tahun ini diharapkan sudah diterbitkan sebuah buku berjudul Manajemen Etika Binis yang ditulis bersama isteri saya. Penelitian dan menjadi konsultan pun masih akan terus dilakoni.Nah pilihan yang lain adalah ingin menjadi seorang blogger sejati. Berblog ria adalah pekerjaan yang begitu mengasyikan sejak empat tahun lebih. Karena blog-lah saya semakin terdorong untuk selalu membaca beragam rujukan ilmiah dan non-ilmiah. Saya harus taatasas sesesuai dengan motto blog saya: “Syiarkanlah kebajikan walau cuma satu kata semata-mata untuk memperoleh ridha Allah”.

          Bagi saya, pensiun adalah bukan sesuatu yang harus membuat sang pensiunan khawatir atau takut. Banyak yang bisa dikerjakan. Pilihan begitu banyak. Tidak kecuali mengasuh cucu di rumah; asalkan itu adalah pilihannya yang terbaik. Begitu pula dengan pilihan-pilihan lainnya. Pasti seorang pensiunan sekali memilih kegiatan tertentu dia sudah mempertimbangkan manfaat dan konsekuensinya. Jadi yang terpenting isilah waktu-waktu ke depan dengan kegiatan apapun. Insya Allah stres dan bahkan depresi tak bakal muncul. Demikian pula dengan seorang guru besar. Pilihan habitat akademik yang diambilnya mungkin menjadi dunianya yang paling membahagiakan.

 

         Dalam prakteknya, seperti layaknya seorang manusia biasa, dosen pembimbing pun mengalami kegembiraan dan kesedihan dalam proses membimbing mahasiswanya. Dan ini sangat berkait dengan mutu mahasiswa bimbingan. Semakin tinggi mutu akademik dan kedisiplinannya semakin cepat sang mahasiswa bimbingan bisa lulus. Semakin rendah mutu akademiknya, semakin ketat atau intensif proses bimbingan yang berlangsung. Belum lagi ditambah faktor kelambanan dan kemalasan mahasiswa. Tidak aneh ada yang sampai enam bulan bahkan lebih tidak nongol dan berjumpa dengan saya. Melapor pun tidak sama sekali. Padahal sudah berulang kali saya kirim SMS. Dan sedihnya diantara mereka ada yang termasuk sebagai dosen di perguruan tingginya. Terkadang disertai urut-urut dada ketika menghadapi mahasiswa bimbingan yang begitu lambannya dalam menguasai permasalahan dan kerangka berpikir ilmiahnya. Ketika itulah dibutuhkan suatu kesabaran tinggi.

         Bentuk kesedihan lainnya adalah kalau sang mahasiswa bimbingan saya tidak lulus. Sejauh ini mahasiswa strata satu lulus semua. Sementara mahasiswa strata dua ada empat orang yang tidak lulus. Faktor penyebabnya adalah ada yang tidak memiliki etika akademik, dan ada yang gagal lagi dalam kesempatan ujian ulangan. Sejauh ini, pada strata tiga, semua mahasiswa tidak ada yang gagal. Namun bukan berarti tidak ada masalah. Kalau ada di antara mereka yang tidak lulus ujian kwalifikasi doktor (prelimenary examination), saya juga sangat sedih. Dalam situasi itulah sisi non-akademik tidak luput menjadi perhatian saya ketika menjalankan proses bimbingan. Antara lain lewat pertemuan berkala (acara santai) dengan semua mahasiswa bimbingan, pertemuan kelompok, dan pertemuan individual. Dalam kesempatan itu saya memberikan semacam soft skills kepada mereka.

         Tak kurang dari 500 mahasiswa multistrata yang telah saya bimbing. Hingga kini pun masih ada 21 orang mahasiswa pascasarjana yang masih dibimbing. Secara keseluruhan, dari proses bimbingan yang saya dapatkan relatif lebih banyak bernuansa rasa gembira ketimbang rasa sedih. Bisa dibayangkan betapa gembira campur rasa harunya sang mahasiswa bimbingan ketika dinyatakan lulus. Tidak ayal lagi saya pun akan larut dalam rasa syukur kebahagiaan. Kalau toh ada mahasiswa yang lambat studinya maka tak perlu larut dalam kesedihan. itu adalah hal yang biasa dari suatu proses belajar. Namun yang harus dilakukan adalah membantu mereka agar bisa cepat selesai. Semakin cepat semakin besar kegembiraan yang diperoleh tidak saja oleh mahasiswa namun juga pembimbing.

         Keberhasilan mahasiswa bimbingan tampaknya sangat berkait dengan mutu proses bimbingan. Untuk itu proses interaksi dalam bimbingan tidak saja sebatas aspek akademik tetapi juga non-akademik atau kekeluargaan. Seiring dengan itu tiap dosen harus tetap berpegang pada koridor prinsip-prinsip utama dalam menerapkan jaminan mutu akademik yang tinggi. Dengan kata lain jangan terbawa bias masalah pribadi. Saya percaya itulah yang selama ini dipupuk oleh para dosen IPB dalam meraih keberhasilan proses membimbing mahasiswa yang bermutu.

 

        Dunia politik dan dimensi teladan belakangan ini sedang mendapat perhatian serius. Fenomena politik bisa dengan bebas memertanyakan keteladanan sang maestro kampus. Dan dengan terang benderang yang bersangkutan diduga ada indikasi sebagai biang kerok terjadinya kebijakan pemerintah yang salah-keliru. Dari sana sini sang teladan gencar diobok-obok. Sang teladan berdiam diri dan pasrah. Kalau sudah begitu yang semula putih polos mulai ada goretannya. Dimensi tuntutan dunia politik sudah semakin melirik, menggoda dan bahkan mengancam sang teladan. Tentu saja semakin dilihat semakin prihatin menambah goretannya sehingga akhirnya tak jelas lagi warna putih, kelabu, atau hitam.

        Dalam kondisi seperti inilah, seteladan apa pun seseorang jika keimanan dan ketaqwaan tidak kuat, tidak paham lika-liku birokrasi dan politik yang banyak tikungan dan jebakan maka akhirnya akan jatuh ke jurang yang dalam. Goretan sudah menjadi luka terinfeksi (busuk) yang meluas ke seluruh jasmani dan rohaninya. Saking parahnya, yang bersangkutan harus mundur dari arena kekuasaan karena tuntutan politik dan bisa jadi tuntutan hukum. Ketika itu terjadi, tidak ayal lagi fenomena bungkuk-bungkuk dari bawahan pun hilang berubah menjadi tegak kembali sambil mengumpat, upeti berhenti seketika dan bahkan orang pun enggan menyapa. Aneh tetapi nyata malah mereka semakin menjauh.Tetapi bisa jadi muncul simpati dan kesedihan di raut muka para kolega dan subordinasinya.

        Lalu siapa yang salah dan apanya yang keliru?. Secara sistem, jika satu orang berbuat salah maka lingkungannya, khususnya lingkaran dalam, juga seharusnya ikut keliru karena telah berdiam diri atau tidak mengingatkan superordinatnya. Namun sistem yang ada membuat siapa pun tidak berani menegur sang bos selaku penguasa. Kalau sudah begini orang sering menyalahkan bahwa persoalan ini “seperti benang kusut” atau  “seperti lingkaran setan”. Padahal setan ngga salah .

        Bahkan konon ada yang bilang, sambil bergurau, setan pun sudah sulit melaksanakan TUPOKSI (Tugas, Pokok dan Fungsi)nya sebagai penggoda manusia. Dan pernah terbersit di hatinya untuk “minta pensiun” dini karena yang digoda (manusia) sudah lebih canggih memilih dan melakukan dosa (yang dulu mereka hindari). Lalu siapa yang layak disalahkan?, Jadi lebih baik kalau ada yang salah atau keliru jangan salahkan lingkaran setan tetapi lebih tepat disebut “lingkaran manusia saja”. Yang alpa diri akan kelemahan dan ketidakberdayaannya………

 

        Menjadi seorang kader partai politik tidaklah sulit asalkan yang bersangkutan aktif dalam setiap kegiatan partai dan mengikuti kaderisasi berjenjang. Pada gilirannya jadilah dia seorang politisi yang setia kepada partainya. Apalagi kalau dia memiliki aset banyak dalam bentuk materi walaupun yang bersangkutan hanya memiliki kadar intelektual seadanya. Di sisi lain  menjadi seorang guru besar tidaklah mudah. Sebelumnya dia harus melewati seleksi kinerja akademik (pengajaran, penelitian, karya ilmiah, pemberdayaan pada masyarakat) dan tentunya kepribadian. Prosesnya cukup ketat. Tidak sembarang orang bisa menjadi guru besar. Karena itulah keputusannya berada ditangan seorang presiden setelah mendapat rekomendasi menteri pendidikan nasional.

        Ada yang mengatakan seorang guru besar adalah orang yang maha ahli di bidangnya. Jadi apapun kalau orang lain bertanya tentang aspek yang terkait dengan keahliannya datanglah ke guru besar tersebut. Pasti akan dijawab tuntas. Benarkah seperti itu? Tidak juga. Seorang guru besar adalah manusia biasa yang tidak lepas dari kelemahan dalam bentuk ketidaktahuan. Dia bukan superintelektual-serba tahu. Ilmu itu begitu luas dan selalu berkembang. Namun dalam kenyataannya bukan berarti tak ada guru besar yang merasa dirinya serba tahu. Istilahnya sebagai guru besar gado-gado atau cap-cay.

         Sementara itu seorang guru besar sering ditampilkan sebagai pribadi yang bijak, arif, kharismatik dan menjadi panutan mahasiswa, teman sejawat dan masyarakat. Benarkah seperti itu? Ya harapannya demikian. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Tiap orang memiliki kekuatan dan juga kelemahan. Sebagaimana warga lainnya, dengan potensi emosi personalitasnya, guru besar pun bisa arogan, egois, dan pemarah. Coba saja dilihat dalam rapat-rapat pansus kasus bank Century, misalnya ada guru bsar meladeni pancingan salah seorang anggota pansus yang nyeleneh dibalas dengan wajah galak dan suara keras. Juga di dunia politik ada guru besar yang sombong dan tak malu-malu merendahkan status orang lain dengan cara memaki-maki. Dalam keadaan seperti itu dia memperoleh julukan sebagai Guru Besar-Kepala.

        Guru Besar seharusnya bersikap kritis yang obyektif. Tetapi ketika dia berada dalam lingkungan politik sekaligus sebagai kader partai politik, mereka sering terperangkap sikap bias. Etika keilmuan rasanya terlupakan atau malah dilupakan. Yang ada lebih pada pemikiran dan tindakan demi kepentingan partai dan golongannya atau subyektif ketimbang buat rakyat. Sindir menyindir antarsesama dalam dunia politik telah menjadi tontonan sendiri di kalangan masyarakat. Bual membual tidak jarang terjadi. Tidak ubahnya sebagai lawakan srimulat. Berdebat kusir tak ada ujung pangkalnya tanpa mau mengakui kelemahan-kelemahannya. Apakah ini pantas dijadikan contoh sebagai pembelajaran politik yang diharapkan masyarakat? Ataukah sebaliknya sebagai pembodohan masyarakat?

         Ketika seorang guru besar sudah berada dalam lingkungan politik praktis maka cenderung pola pikirnya terbelah dua; apakah sebagai politisi atau ilmuwan. Celakanya mereka yang sudah memasuki ranah politik dan semakin lama semakin asyiik saja ternyata semakin jauh dari kegiatan-kegiatan akademik. Dan hebatnya tanpa sekalipun merasa risi tetap saja yang bersangkutan menggunakan “titel” profesor padahal itu adalah jabatan akademik. Hal yang sama pun terjadi, walau dia sudah pensiun sebagai PNS dan sekarang memilih profesi dan karir sebagai aktifis partai.

         Idealnya sosok seorang guru besar memang dia yang tekun mengajar, meneliti, menghasilkan karya ilmiah (buku, karya tulis dan temuan), mampu membangun jejaring kerjasama ilmiah dengan institusi ilmiah dan industri nasional dan internasional, arif dan bijaksana. Selain itu seorang guru besar yang berkiprah sekalipun di dunia politik seharusnya mampu bersikap ilmiah dan tidak bias kepentingan partai politik sempit. Mereka seharusnya mampu melakukan internalisasi di lingkungan mitra anggota parpol dan parlemen bagaimana bermain politik dengan cantik dan santun. Dan mampu mengetengahkan sikap yang elegan yang bisa dicontoh oleh rakyat.

Laman Berikutnya »