Pernahkah suatu ketika kita tidak mampu bergaul dengan baik? Mudah emosional? Sering tampil sebagai orang yang sangat egoistis? Komunikasi mampet? Sampai timbul konflik? Lalu mengapa konflik tidak sebatas cuma orang perorang? Bahkan terjadi konflik sosial? Dan konflik agaknya sudah menjadi milik dunia ? Coba kita lihat, dengan derajatnya masing-masing, mulai di taman kanak-kanak sampai di tingkat perguruan tinggi ada konflik. Di tempat kerja, ruang pengadilan, keluarga, antarbangsa, bahkan di lembaga persahabatan dan keagamaan pun bisa saja muncul konflik.
Tampaknya fenomena konflik bersifat universal. Konflik sepertinya analog dengan sesuatu yang negatif, timbulnya stres, dan kekerasan fisik dan non fisik. Pokoknya konflik adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, pahit, kejam, parah, dan kotor. Jadi, apakah konflik selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif saja? Ternyata tidak demikian. Khususnya dalam suatu organisasi, konflik dapat dipandang sebagai sesuatu yang negatif dan positif (diadaptasi dari Robbins, Sthepen, 2003, Perilaku Organisasi).
Bagi yang berpandangan tradisional: (a) semua konflik adalah buruk; (b) ada kekerasan, pengrusakan, ketidakrasionalan; (c) merugikan dan harus dihindari; (d) bersifat disfungsional dimana konflik dicirikan oleh komunikasi buruk, kurangnya keterbukaan, kekurang-percayaan, dan daya tanggap pimpinan kurang. Sementara yang berpandangan positif (hubungan manusia); (a) konflik dinilai sebagai peristiwa wajar dan alami; (b) menerima adanya konflik; dan (c) konflik tidak dapat disingkirkan dan sebaliknya dapat membawa manfaat kinerja. Pandangan yang lebih ’maju’ adalah berciri interaksionis: (a) Pimpinan sengaja mendorong terjadinya konflik. Terutama pada kelompok yang tampaknya kooperatif, tenang dan damai. Tetapi ternyata statis, apatis, daya tanggap kurang terhadap perubahan dan inovasi; (b) karena itu konflik diciptakan untuk memotivasi anggota berinovasi, inisiatif, dan kreatif.; dan (c) mempertahankan tingkat minimum konflik agar kelompok dapat bertahan hidup, swakritik dan kreatif.
Baden Eunsen, dalam bukunya Conflict Management (2007), juga melihat hikmah dari konflik atau dari sisi positifnya, antara lain (adaptasi):
· Konflik dapat menghilangkan rasa tertekan dan frustruasi. Ketika konflik yang tidak diharapkan dianggap terselesaikan, mereka yang konflik kadang kala mengalami rasa lega, dapat menurunkan suasana panas hati, dan terasa lebih ringan.
· Bertambahnya informasi dan hal-hal baru yang tidak diketahui sebelum konflik terjadi. Mereka yang konflik menjadi semakin sadar tentang kekeliruannya dan berupaya saling menghargai pandangan masing-masing. Lalu empati semakin meningkat dan konflik semakin relatif lebih mudah diselesaikan.
· Perspektif baru dapat diperoleh dari kekeliruan sudut pandang masing-masing yang konflik. Pada awal konflik mereka belum sadar akan kelemahan dan ketidaktaatasasannya. Konflik telah memperkuat mereka untuk berbuat dan berpikir hal-hal baru.
· Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dapat dilakukan dengan lebih baik. Informasi dan perspektif baru diciptakan sebagai hasil dari konflik. Hal demikian menjadikan kita mampu melihat dan mengerjakan sesuatu lebih jernih dan tepat.
· Keakraban dapat meningkat. Para anggota kelompok, tim kerja, pasangan, dan organisasi akan semakin lebih dekat setelah tekanan konflik berhasil diatasi dibanding sebelumnya. Ikatan diantara mereka semakin kuat.
· Setiap perbedaan dihargai. Perbedaan-perbedaan di antara yang konflik bukanlah menjadikan konflik sebagai suatu fenomena yang tidak dapat diatasi. Mengatasi perbedaan melalui proses sinergitas itu sendiri sebenarnya merupakan kekuatan.
Pernah dimuat di blog Ronawajah, 6 Juni 2007