Juli 2009


 

         Penggunaan bahasa tubuh dalam berkomunikasi, biasa disebut sebagai komunikasi non-ujaran (non-verbal communication). Manajer perlu mengetahui cara menggunakan bahasa tubuh sebagai cara penekanan ekspresi pesan yang akan disampaikan. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya distorsi informasi.

           Ketika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ujaran (verbal communication) orang acap menggunakan bantuan gerak-gerik anggota tubuh [seperti mata, tangan, kepala, dll). Kemampuan memanfaatkan anggota tubuh merupakan aset komunikasi dan bukan sekedar tampilan fisik. Jika digunakan secara tepat dan benar akan menimbulkan rasa tenteram (bagi diri sendiri atau pendengar), memperjelas bahasa ujaran dan sekaligus akan menghasilkan dampak positif yang mungkin tidak diduga. Sebagai contoh, cara berdiri, bergerak, menatap, dan tersenyum yang dimanipulasikan sedemikian rupa akan memberi nuansa komunikatif terhadap penampilan kata-kata.

Beberapa teknik sederhana yang dapat digunakan adalah:

(1) Lakukan   tatapan  mata  setiap  saat,  pada  individu  atau kelompok tertentu untuk memperoleh keyakinan bahwa mereka memperhatikan  konten  yang   sedang dibicarakan untuk menumbuhkan rasa percaya diri sebagai  pembicara.  Jika keberanian  untuk  melakukan hal ini belum ada, layangkan selalu  tatapan  mata kebagian pendengar di barisan belakang. Kekhawatiran itu akan terkikis  sedikit demi  sedikit selama  berbicara sehingga akhirnya  timbul  keberanian  menatap pada satu arah pendengar tertentu. Jangan lupa memberi keseimbangan  tatapan, berganti  arah. [Jangan  sekali-kali menatap  ke  bahan tertulis konten  pembicaraan/menunduk selama berbicara].

(2) Gunakan bahasa tangan untuk mengilustrasikan poin-poin ujaran yang disampai­kan. Jika tidak terbiasa menggunakan gerakan tangan sebagai aksentuasi, silang­kan  saja  dibagian punggung (jika bicara sambil berdiri) atau  di  balik  podium (jika  berdiri di mimbar). Jangan sekali-kali menggunakan gerakan  tangan  yang menunjukkan  kegelisahan  atau sebaliknya membuat gerakan yang membuat pendengar menjadi tidak tenteram (misal, memutar-mutar pulpen dengan  tangan atau mengetuk-ngetukkannya di meja selama berbicara).

(3) Bergerak santai jika bicara sambil berdiri. Tapi jangan mundar mandir dari  satu sisi  ke sisi  yang lain terlalu cepat (seperti orang sedang adu  lari)  atau  terlalu diatur (sehingga terkesan seperti pragawati).

(4) Rileks dan santai, jangan tegang. Dalam berkomunikasi dihindari ada rasa beban. Kalau tidak akan terjadi ketegangan dan ketidakteraturan berbicara. Dengan demikian interaksi komunikasi yang positif tidak terjadi.

(5) Senyum  dan  senyum.  Ini akan menimbulkan keyakinan pada  diri  sendiri  dan rasa akrab bagi pendengar. Selalu tersenyum sambil menceritakan suatu  anekdot  atau humor yang terkait dengan bahan pembicaraan akan  membuat  pende­ngar  benar-benar  menikmati  humor dan anekdot tersebut [paling tidak untuk sopan santun, mereka akan turut tertawa juga]. Dan ini penting buat pembicara.  Sebab, jika humor tidak bersambut akan mengakibatkan hilang kontrol dan  percaya diri pembicara juga akan hilang.

Akhirnya,  apa pun konten pembicaraan yang akan disampaikan maka keberhasilannya akan bergantung  pada kemampuan menggabungkan unsur isi pembicaraan, pengungkapannya dalam bahasa ujaran, dan aksentuasinya dalam bentuk non-ujaran atau bahasa tubuh. Semua ini harus bersifat sinergis.

 

         Pelaksanaan suatu pelatihan oleh perusahaan sering mengalami kegagalan. Disamping jarang dilakukan analisis kebutuhan pelatihan juga karena pola pelatihan bersifat konvensional. Dengan demikian pelatihan kurang mampu menjawab kebutuhan oraganisasi, individu karyawan, dan kebutuhan akan pekerjaannya. Hal penting dalam sebuah perusahaan adalah mensosialisasi para karyawannya ke dalam budaya perusahaan agar mereka dapat menjadi karyawan yang produktif dan efektif, segera setelah memasuki dan menjadi anggota sistem sosial pada perusahaan. Salah satu cara utama untuk melakukan hal itu adalah melalui pelatihan berbasis kompetensi. Mengapa diperlukan? Karena penempatan karyawan dalam pekerjaan secara langsung tidak menjamin mereka akan berhasil. Karyawan baru sering merasa tidak pasti tentang peranan dan tanggung jawab mereka.

         Permintaan pekerjaan dan kapabilitas karyawan haruslah seimbang melalui program orientasi dan pelatihan. Keduanya sangat dibutuhkan. Sekali para karyawan telah dilatih dan telah menguasai pekerjaannya, mereka membutuhkan pengembangan lebih jauh untuk menyiapkan tanggung jawab mereka di masa depan. Ada kecenderungan yang terus terjadi, yaitu semakin beragamnya karyawan dengan organisasi yang lebih datar menyebabkan karyawan mampu mengembangkan tugas kewajiban dan tanggung jawabnya yang lebih besar.

         Melalui pelatihan berbasis kompetensi, karyawan terbantu mengerjakan pekerjaan yang ada, dapat meningkatkan keseluruhan karir karyawan, dan membantu mengembangkan tanggung jawabnya di masa depan. Pengembangan dapat membantu karyawan agar mampu mengatasi tanggung jawabnya di masa depan, maka salah satu upaya strategis yang perlu dilakukan adalah menciptakan sebuah proses belajar berkelanjutan di seluruh lapisan karyawan melalui paket pelatihan dan pengembangan. Hal demikian tidak bisa ditunda-tunda lagi khususnya mereka yang bergerak di sektor agribisnis di Indonesia, yang persoalan utamanya adalah kualitas SDM yang kurang berkualifikasi. Padahal, di era masa depan salah satu indikator daya saing tinggi adalah penguasaan SDM bermutu.

          Satu hal lagi, seperti halnya sebuah proses pembelajaran, UNESCO dalam paradigma pendidikan yang terbaru menekankan bahwa sasaran pendidikan diarahkan pada (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; (4) learning to live together. Di masa depan dan siapa pun peserta dan penyelenggaranya, proses pembelajaran perlu diarahkan pada kegiatan “belajar untuk belajar” sehingga terbentuklah masyarakat Indonesia sebagai masyarakat belajar; tidak terkecuali di lingkungan perusahaan. Di samping itu, pembelajaran lewat pelatihan hendaknya dikemas bukanlah untuk membentuk orang yang mandiri dan terampil namun dengan kepribadian (soft skills) nol. Jadi, intinya pelatihan seharusnya memiliki beragam aspek dominan yang lengkap. Ketika perusahaan sedang dibangun untuk menjadi organisasi pembelajaran maka pelatihan berbasis kompetensi menjadai sangat strategis.

 

        Yang ingin diulas disini bukan bagaimana proses pemilihan presidennya tetapi apa saja faktor-faktor penentu sampai seorang calon presiden terpilih menjadi presiden. Asumsinya proses berlangsung sah dan terlegitimasi. Yang pertama dilihat dari faktor keorganisasian dimana sang calon berasal. Dan kedua apa saja faktor-faktor yang mendorong rakyat menjatuhkan pilihannya pada calon tertentu. Kalau dilihat dari sisi keorganisasian maka beragam aspek yang bisa menentukan keberhasilan calon presiden antara lain adalah koordinasi organisasi yang solid, koalisi dengan berbagai kekuatan yang kompak, perencanaan kampanye yang baik, dukungan dana yang cukup, dan tim kampanye/sukses yang kreatif dan inovatif.

        Semakin intensifnya konsolidasi organisasi dan ketersediaan logistik yang didukung dengan proses kampanye yang menarik, cenderung semakin memungkinkan calon presiden akan terpilih. Sebaliknya kalau terdapat unsur kerapuhan seperti penggembosan di dalam tubuh organisasi maka hasilnya bakal tidak mulus. Plus kampanye yang sangat ofensif menyerang calon lain dan membanggakan diri pribadinya maka akan menimbulkan rasa tidak simpati rakyat pada calon bersangkutan. Tempat kampanye dari capres tertentu yang mencerminkan nuansa kerakyatan dan dekat rakyat ternyata tidak mampu mendongkrak simpati rakyat untuk memilihnya.

         Bagaimana dengan preferensi para pemilih? Dalam prakteknya memang preferensi rakyat dalam memilih akan beragam sesusai dengan identitas pribadi dan akses informasi yang dimiliknya. Identitas dalam hal ini antara lain tingkat pendidikan, status dalam keluarga, tingkat pendapatan, keanggotaan partai, pengalaman berorganisasi, tingkat loyalitas pada partai, dan lapangan pekerjaan. Begitu juga diduga pemilikan asset media komunikasi akan berpengaruh. Semakin banyak akses yang dimiliki semakin mudah pemilih memelajari kapabilitas calon dan menentukan siapa yang paling pantas dipilih. Seperti halnya dalam memilih komoditi, unsur mutu dan penampilan calon pun menjadi yang utama dipertimbangkan pemilih. Unsur mutu disini meliputi tingkat wawasan politik, pembangunan khususnya perekonomian dan kesejahteraan rakyat, demokrasi, dan wawasan hubungan internasional. Selain itu sifat kenegarawanan dan tampilan postur dan bahasa tubuh serta tutur kata kandidat bagi kalangan pemilih memiliki nilai jual tersendiri.

         Gambaran faktor-faktor di atas cenderung bersifat normatif dan universal. Namun ketika dilakukan pemilahan pemilih dari beberapa sudut maka mungkin preferensinya bakal berbeda. Contohnya bagi pemilih yang sangat loyal kepada calon tertentu tidak peduli dengan ukuran normatif tersebut. Apapun derajad kapabilitas dan yang dilakukan oleh kandidatnya pasti mereka akan memilihnya. Sementara pemilih antara lain yang berasal dari pengamat, peneliti, dosen, dan pebisnis yang lebih kritis maka faktor-faktor di atas menjadi pertimbangan dalam memilih calon. Begitu pula anggota partai yang cenderung moderat sekaligus kritis tidak akan serta merta bakal memilih calon dari partainya.

 

       Apa ciri-ciri ketika sang bos sedang menunjukkan kekuasaannya? Lihat saja bahasa tubuhnya ketika berhadapan dengan subordinasi (bawahan), khususnya ketika sedang marah. Antara lain: (1) nada bicaranya banyak tekanan-tekanan dan membuat sang subordinasi seolah tanpa daya untuk meresponnya; (2) mengerutkan dahinya; (3) tangannya bertolak pinggang atau melipat tangan ke belakang; (4)tak menampakkan senyum; dan (5) duduk dengan menyilangkan kaki. Apa yang terjadi pada sang subordinasi?

       Ketika menghadapi bos dengan kekuasaannya maka subordinasi bisa saja mengalami grogi, bingung, dan tidak tenang atau biasa-biasa saja. Isyarat tubuhnya umumnya ditunjukkan dengan tatapan mata ke bawah atau kesamping, melipat tangan ke depan, dan bisa saja keluar keringat dingin. Kalau subordinasi tidak merasa bersalah ada perasaan bercampur baur antara mau marah atau mengalah. Saat itu subordinasi bisa saja merasa geram dengan raut wajah kesal dan bahkan merah padam. Ketika itulah subordniasi biasanya berdiam diri dan atau harus bersabar. Namun mereka yang berani” biasanya tidak mau mundur atau menyerah. Tentunya pada waktu yang tepat mereka punya dorongan untuk membela diri. Sebaliknya kalau memang bersalah biasanya subordinasi berdiam diri dan memberi isyarat tubuh mengiyakan (ngangguk-ngangguk) apa yang diucapkan sang bos. Dan dalam kondisi seperti itu subordinasi sebaiknya menyatakan bahwa di lain kesempatan dia akan melakukan pekerjaan dengan lebih baik lagi.

       Ketika sang bos sedang menunjukkan kekuasaannya berarti keegoannya sedang tinggi. Subordinasi dikondisikan sedemikian rupa untuk  mendengarkan apa yang dikatakannya. Bos cenderung tidak bersedia menyediakan ruang terbuka bagi subordinasi untuk berbantah-bantah. Ketika itu dia ingin dihormati dan dipuji kepemimpinannya. Untuk itu ada beberapa trik atau tip yang bisa digunakan oleh subordinasi yakni (1) jadilah pendengar yang baik dan simaklah kata-kata dan bahasa tubuh sang bos dengan cermat; (2) hindari untuk membantahnya ketika keegoan sang bos sedang taraf puncak; (3) berilah respon ketika ada tanda-tanda subordinasi diberi peluang untuk itu; (4) jangan kikir dalam memberi pujian atau penghargaan kepada sang bos secara wajar; (5) carilah waktu yang tepat untuk bisa berdialog dari hati ke hati dengan bos; dan (6) janganlah menunjukkan perilaku penjilat karena ini akan merusak karakter subordinasi bersangkutan.

        Sebagai manusia, siapapun dia, suatu ketika secara naluri berkeinginan untuk menunjukkan kekuasaan di hadapan orang lain. Mulai dari tingkat satpam, karyawan biasa, sampai manajemen puncak punya perilaku seperti itu. Dalam suatu keluarga pun sama saja; misalnya sang ayah-ibu, orangtua dan mertua, dan anak-anak tertua. Yang membedakannya hanya derajad dan frekuensinya saja. Ketika itu terjadi maka keegoan (egoistis dan egosentris) dari mereka yang menganggap dirinya “bos” menjadi lebih dominan ketimbang sisi rasionalnya. Namun tentunya cukup banyak bos dengan segala kerendahan hatinya memperlakukan subordinasi tanpa harus menunjukkan kekuasaannya secara berlebihan.

 

        Konon persuasi (ajakan) jauh lebih kuat efeknya ketimbang paksaan seperti halnya dalam mitos jurnalis ‘pena lebih tajam ketimbang pedang’. Paksaan akan mengakibatkan keputusasaan karyawan karena dianggap diperlakukan tidak ada bedanya dengan khewan (dehumanisasi), tidak dipercaya, dan tidak dihargai akan kemampuan dirinya. Perusahaan akan rugi karena paksaan hanya akan membuahkan kontra produktif.

         Sebaliknya, dengan persuasi justru para karyawan akan merasa diajak untuk memahami persoalan yang dihadapi dirinya dan organisasi, diberi peluang untuk berpikir, berkreasi dan berprakarsa. Dengan demikian mereka merasa mendapat perlakuan secara manusiawi. Hasilnya akan semakin produktif walaupun tidak jarang membutuhkan waktu yang relatif panjang dan kesabaran tinggi.

        Dalam prakteknya apakah hal di atas akan sedemikian mudahnya berhasil? Belum tentu. Pasalnya karyawan memiliki ciri-ciri unik antara lain punya emosi, intuisi, dan dinamika kepribadian masing-masing. Disitu ada yang bersifat egoistis dan egosentris, malas (teori X), pembangkang, kolaboratif, dsb. Selain itu kepatuhan karyawan kepada manajer tidak satu-satunya dipengaruhi oleh faktor ajakan. Ada unsur motivasi lainnya seperti tingkat pendidikan dan pengalaman karyawan, manajemen kinerja, peluang karir, dan besaran kompensasi, dan kapabilitas kepemimpinan manajer termasuk dalam hal derajad kesabarannya.

 

        Setiap orang, apapun statusnya, termasuk karyawan pernah kecewa. Di dalam dunia kerja kekecewaan yang dialami karyawan bisa menyangkut beban pekerjaan yang ditanganinya, kinerja, kompensasi, penghargaan akan karir, dan masalah individu. Kondisi seperti itu antara lain dapat dilihat dari gerak gerik bahasa tubuhnya. Biasanya pakaian yang dikenakan tidak rapi dan rambut acak-acakan. Kalau diajak bicara raut wajahnya kerap tampak dingin, dan tatapan mata yang kosong. Selain itu dia sering menundukkan kepala, tidak berani menatap muka lawan bicara, dan gelisah. Volume suara ketika bicara pun sangat rendah, tersendat-sendat dan datar-datar saja. Pokoknya sering sulit dimengerti.

         Kekecewaan tentang sesuatu bisa berlangsung relatif dalam jangka pendek dan bisa panjang. Kalau pendek maka cenderung bisa cepat diselesaikan. Hal ini karena faktor penyebabnya pun relatif sederhana. Sebaliknya kalau faktor timbulnya kekecewaan semakin kompleks maka bakal berubah menjadi berlarut-larut. Dengan demikian pendekatan yang diterapkan manajer dalam memerkecil kekecewaan karyawan sangat bergantung pada jenis dan bobot masalah yang dihadapi karyawan. Begitu pula sangat bergantung pada keterkaitan sisi kekecewaan dengan lingkup pekerjaan dan kinerja perusahaan. Artinya semakin kompleks kekecewaan karyawan semakin holistik dan komprehensif pendekatan yang diambil.

         Apa yang terjadi manakala kemungkinan besar kekecewaan bisa berubah menjadi stres?. Misalnya ketika sang karyawan sudah tahu akan menjalani pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena pekerjaannya merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga maka kekecewaan berat pun tidak bisa dihindari. Gangguan kejiwaan tidak saja terjadi pada sang karyawan tetapi juga pada anggota keluarganya. Lalu apa yang sebaiknya manajer lakukan terhadap karyawan tersebut yang datang kepadanya? Dalam hal ini beberapa hal yang bisa dilakukan manajer adalah:

  1. Memberikan penjelasan secara rinci dan logis kepada karyawan ybs tentang latar belakang terjadinya PHK. Penjelasan lebih ditekankan pada pertimbangan kondisi kesehatan organisasi yang sedang menurun. Dan karena itu diperlukan upaya efisiensi perusahaan dengan cara pengurangan jumlah karyawan.
  2. Menunjukkan empati kepada karyawan bersangkutan dengan mendengarkan keluhan-keluhannya. Dengan empati berarti manajer sudah menunjukkan rasa penderitaan dari karyawan ybs. Hindari mengungkapkan alasan PHK karena pertimbangan kinerja karyawan ybs tetapi lebih pada kesehatan organisasi. Seolah sebagai psikolog, manajer sebaiknya lebih banyak mendengarkan keluhan ketimbang memberi komentar aktif. Biarkan karyawan sendiri yang memutuskan pilihan-pilihan jalan keluar mengatasi kekecewaannya.
  3. Boleh memberikan komentar dan motivasi dalam konteks membangun semangat “juang” untuk bekerja. Sejauh mungkin diberikan dorongan positif bahwa masih terbuka lebar peluang kerja di luar. Namun jangan menjanjikan sama sekali bahwa karyawan ybs akan diterima kembali kalau kondisi kesehatan organisasi sudah pulih. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kekecewaan baru kalau harapannya ternyata kosong.

      Rasa kecewa merupakan fenomena kejiwaan seseorang. Kalau tidak diatasi yang bersangkutan akan mengalami gangguan kejiwaan yang semakin parah berupa stres dan depresi. Karena itu perusahaan sebaiknya berupaya memerkecil kekecewaan yang bakal dialami karyawan. Untuk itu secara dini, khususnya ketika menerima karyawan baru, perusahaan harus memberi penjelasan rinci tentang kebijakan organisasi yang menyangkut semua dimensi pekerjaan. Apakah itu yang menyangkut kebijakan kompensasi, karir dan PHK. Dengan demikian karyawan pun sudah siap-siap kalau terjadi kebijakan perusahaan yang baru. Di sisi lain perusahaan harus secepatnya memberi penjelasan kepada semua karyawan khususnya mereka yang terkena kebijakan baru tersebut. Dengan demikian diharapkan karyawan akan mengerti dan bisa menekan rasa kecewa yang berlebihan.

 

         Mengapa sering terjadi keluhan dari para pelanggan tentang mutu produk dan pelayanannya. Hal ini wajar terjadi sejalan dengan semakin tinggi dinamika preferensi dan kritisnya para pelanggan tentang mutu. Karena itu dibutuhkan peran utama manajemen (seorang manajer) yakni melaksanakan fungsi-fungsi manajemen untuk memperoleh hasil yang ditargetkan perusahaan atau yang diinginkan oleh pelanggan. Sementara peran pemimpin dengan kepemimpinan mutunya adalah mengembangkan dan memperbaiki sistem agar program pengembangan mutu SDM berhasil sesuai harapan. Dalam prakteknya, seorang manajer di samping melaksanakan fungsi-fungsi manajemen juga harus mampu menjalankan kepemimpinan mutu SDM dengan efektif secara bersinambung.

        Dalam manajemen mutu sumberdaya manusia (MMSDM), pemimpin adalah seseorang yang melaksanakan beberapa hal yang benar atau sering disebut “people who do the right thing”. Sementara manajer adalah seseorang yang harus melaksanakan sesuatu secara benar atau disebut “people who do things right”. Dalam konteks MMSDM maka seseorang yang bertanggung jawab dalam hal mutu SDM membutuhkan ketrampilan kepemimpinan dan manajemen. Dengan kata lain dibutuhkan adanya kepemimpinan dan manajer sebagai suatu kesatuan dalam organisasi. Dalam hal ini komitmen manajemen dalam melaksanakan MMSDM adalah penting tetapi tidaklah cukup. Jadi dibutuhkan suatu elemen manajemen mutu SDM yang disebut dengan kepemimpinan mutu yang dibuktikan nyata dalam pelaksanaan program.

        Dengan mengadopsi model Deming PDSA (1986), perbaikan mutu SDM harus dimulai dari perencanaan strategik perusahaan. Kemudian diturunkan menjadi perencanaan strategis MSDM kemudian diturunkan kembali menjadi rencana strategis MMSDM atau Plan (P). Di dalam perencanaan itu antara lain diuraikan tujuan MMSDM yang ingin dicapai. Dari rencana strategis itu kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk tahapan berikutnya yaitu dilakukannya perubahan-perubahan sistem perbaikan mutu SDM. Agar efektif dan efisien maka MMSDM membutuhkan manajemen perubahan yang merupakan elemen Do (D). Melalui elemen ini terjadi perbaikan mutu SDM bersinambung yang pada gilirannya akan tercipta suatu budaya perusahaan tentang mutu SDM. Dengan kata lain menempatkan perbaikan mutu SDM menjadi salah satu tujuan utama dalam mencapai mutu produk perusahaan. Disinilah perbaikan mutu SDM berhubungan dengan elemen Study (S). Untuk itu, perbaikan mutu SDM dalam perusahaan membutuhkan kepemimpinan mutu SDM yang dikelompokkan menjadi elemen Act (A).

        Beberapa peran pemimpin mutu SDM meliputi pembentukan suatu tim penjaminan mutu, penyusun strategi dan kebijakan mutu, penerapan dan penyebarluasan tujuan dan sasaran mutu, pengadaan dan pengalokasian sumberdaya, pengembangan pendidikan dan pelatihan, penetapan tim perbaikan mutu, pengkondisian perbaikan mutu secara bersinambung dan pemberian penghargaan atau pengakuan kepada karyawan yang bermutu atau kinerja sesuai dengan standar perusahaan. Studi perilaku pasar secara bersinambung juga akan berfaedah sekali dalam kerangka menyusun program peningkatan kepuasan pelanggan.

Laman Berikutnya »