Juni 2009


 

          Bicara era pasar global berarti bicara tentang persaingan bisnis. Perusahaan tidak bisa sembunyi dari realita tersebut.  Globalisasi tidaklah untuk dihindari. Tetapi untuk diraihnya peluang dalam meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan perusahaan. Perusahaan yang berhasil memasuki era global dicirikan oleh manajemen biaya produksi yang efisien, mutu produk yang tinggi yang sesuai dengan permintaan pasar dan yang mampu mengurangi sumberdaya terbuang, fleksibilitas dalam pengembangan pangsa pasar, dan pelayanan atau pengiriman produk sesuai tepat waktu. Salah satu strategi alternatif untuk memenangkan persaingan adalah pelayanan mutu terpadu (Total Quality Service).

          Inti tujuan dari strategi pelayanan mutu terpadu (PMT) adalah pemenuhan keinginan, kebutuhan, kepentingan, dan harapan pelanggan. Dengan kata lain bagaimana perusahaan mampu menerapkan pelayanan prima. Disinilah keterlibatan kalangan manajer dan karyawan harus merupakan suatu tim yang sinergis dan efektif. Diperkuat dengan intensitas komunikasi horisontal dan vertikal diantara mereka maka strategi PMT akan sangat menentukan seberapa jauh pencapaian kepuasan maksimum dan loyalitas pelanggan tercapai. Hal demikian merupakan perubahan paradigma lama yang lebih menekankan pada inventory-driven system ke lebih yang bersifat service-driven system. Dengan kata lain keberhasilan perusahaan dalam bersaing sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur pelayanan kepada pelanggan. Permintaan pelanggan menjadi faktor pengendali persaingan; bukan oleh system persediaan.

         Lalu dimana peran strategi SDM dalam PMT? Yang jelas kualitas pelayanan suatu perusahaan merupakan fungsi dari peran dan kualitas SDM para karyawan dan manajemen. SDM karyawan berperan meningkatkan intensitas dan mutu fungsi-fungsi organisasi dan manajemen. Sementara kualitas SDM disini dilihat dari berbagai perspektif yakni (1) para pelaku bisnis memahami secara persis apa falsafah dibalik pentingnya kualitas pelayanan; (2) pelayanan mutu terpadu bukanlah tugas dan tanggung jawab dari subsistem pemasaran dan promosi saja tetapi merupakan kesatuan sistem mulai dari subsistem penyediaan input, produksi, pembiayaan, dan subsistem promosi dan pemasaran; (3) para pelaku (manajer dan karyawan) selalu mengikuti perkembangan pasar sekaligus dinamika kebutuhan, kepentingan, dan harapan pelanggan secara bersinambung; dan (4) perusahaan memiliki program pengembangan SDM berupa pelatihan-pelatihan dan kunjungan studi banding.

         Strategi SDM yang merupakan derivasi atau turunan dari strategi bisnis haruslah memiliki ciri dinamis. Setiap perkembangan eksternal pasti akan memengaruhi strategi bisnis dan sekaligus strategi SDM. Dengan demikian ketika strategi alternatif PMT akan dijabarkan maka strategi SDM harus mencerminkan adanya batasan tentang apa tujuan, harapan, pertimbangan budaya, dan perilaku pelanggan dalam kontekls kualitas pelayanan. Dalam prakteknya maka strategi alternatif PMT memerlukan kondisi-kondisi tertentu antara lain (1) diterapkannya kepemimpinan mutu yang mampu memberikan inspirasi dan partisipasi aktif di kalangan karyawan; (2) pihak manajemen harus terus menerus mengembangkan system manajemen integrative dan membangun tim kerja yang tangguh; (3) menciptakan lingkungan kinerja yang nyaman dan aman yang didukung oleh system manajemen kompensasi dan karir yang terbuka dan adil; (4) mengembangkan infrastruktur mutu pelayanan terpadu dalam suatu bangunan perencanaan strategis bisnis; dan (5) survei pasar yang bersinambung untuk mengetahui perkembangan perilaku pasar dan pelanggan yang didukung oleh sistem informasi manajemen yang andal.

 

        Beberapa hari lalu saya mendapat surat dari Dekan Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB bahwa saya sudah tidak bisa menerima permintaan bimbingan dari mahasiswa pascasarjana lagi khususnya sebagai ketua pembimbing. Pasalnya, angka indeks total jumlah bimbingan sudah melampaui batas standar. Menurut ketentuan yang berlaku di SPS IPB, jumlah bimbingan untuk mahasiswa S2/S3 adalah maksimum 10 orang sebagai ketua dan 15 orang sebagai anggota. Apabila diperlukan komposisi tersebut dapat diubah dengan ketentuan satu orang sebagai ketua setara dengan dua orang anggota sehingga total indeks yaitu 35.

       Sementara jumlah angka indeks saya mencapai 42 atau jumlah mahasiswa dimana saya selaku ketua pembimbing 18 orang; 13 orang mahasiswa S3 dan lima orang mahasiswa S2. Sebagai anggota pembimbing mahasiswa S3 mencapai enam orang. Dengan demikian total mahasiswa pascasarjana bimbingan  berjumlah 24 orang yang tersebar di enam program studi yakni Ilmu Ekonomi Pertanian, Ilmu Manajemen, Ilmu Pengelolaan Lingkungan, Ilmu Gizi Masyarakat, Ilmu Komunikasi Pembangunan, dan Manajemen Bisnis. Itu belum termasuk sebagai ketua pembimbing mahasiswa program magister manajemen bisnis yang jumlahnya sekarang delapan orang. Dan sebagai ketua pembimbing mahasiswa strata satu sebanyak 12 orang. Jadi total mahasiswa bimbingan  pada semua strata sekarang ini berjumlah 44 orang.

        Karena sudah memasuki masa pensiun, maka kini saya hanya diberi tugas sebagai anggota pembimbing. Sebagai contoh, enam mahasiswa program doktor manajemen bisnis yang berkonsentrasi ilmu MSDM (MSDMLanjut, Manajemen Perubahan, Hubungan Industrial) yang semula meminta saya sebagai ketua pembimbing ditolak oleh dekan SPS IPB. Saya hanya mendapat jatah seorang dan itupun hanya sebagai anggota pembimbing. Jadi bisa dibayangkan untuk 13 mahasiswa program doktor yang sedang kuliah konsentrasi MSDM yang sejak awal meminta saya sebagai pembimbingnya kemungkinan besar akan ditolak Dekan SPS. Bisa jadi tak satu pun dari mereka yang saya bimbing. Pasalnya itu tadi karena beban bimbingan saya sudah jauh melampaui indeks standar. Pertanyaannya apakah kondisi seperti ini juga terjadi pada dosen yang lain?

         Penyebaran bimbingan mahasiswa oleh dosen belum tentu merata. Hal ini sangat berkait dengan rasio jumlah mahasiswa pascasarjana dengan jumlah dosen yang berhak membimbing pada program studi/mayor tertentu. Semakin banyak jumlah mahasiswa relatif terhadap jumlah dosen maka semakin besar peluang dosen memiliki bimbingan mahasiswa. Karena sebarannya tidak merata maka bisa jadi ada dosen yang tidak memiliki mahasiswa bimbingan dan yang hanya membimbing 1-2 orang mahasiswa sampai ada yang membimbing mahasiswa di atas indeks standar. Dengan kata lain para mahasiswa bertumpuk di segelintir dosen saja.

         Hal demikian bisa juga karena faktor kompetensi, kapabilitas, dan kepribadian dosen dan minat mahasiswa di bidang tersebut. Semakin tinggi kompetensi seorang dosen dalam bidang keahlian tertentu plus semakin menariknya kepribadian sang dosen dan mahasiswa yang berminat cukup banyak maka semakin besar kemungkinan sang dosen tersebut diminta mahasiswa sebagai pembimbing. Di sisi lain  semakin banyak jumlah mahasiswa pascasarjana pada program mayor tertentu sementara jumlah dosen tidak berubah maka akan terjadi “kelebihan” permintaan bimbingan ketimbang suplai dosennya. Hal-hal inilah yang memungkinkan beberapa dosen memiliki angka indeks bimbingan di atas standar.

         Peraturan yang dikeluarkan SPS IPB jelas bermaksud agar ketimpangan sebaran jumlah mahasiswa bimbingan perdosen relatif merata. Kemudian beban dosen pembimbing secara rasional harus dibatasi. Namun tidak cukup hanya dengan itu saja. Sebaiknya setiap program studi/mayor dalam merekrut jumlah mahasiswa baru harus mempertimbangkan jumlah dosen yang tersedia. Jangan berlebihan ketimbang ketersediaan dosen yang akibat susulannya adalah ketidakpuasan mahasiswa atas proses pembimbingan. Selain itu juga sistem atau pola bimbingan yang sementara ini otonom diberikan kepada masing-masing dosen hendaknya dapat dipantau dan dievaluasi. Antara lain dalam hal lamanya penyelesaian dan mutu bimbingan. Bisa saja terjadi dosen yang membimbing mahasiswa lebih banyak menghasilkan lulusan yang relatif tepat waktu dan bermutu ketimbang dosen yang jumlah bimbingannya  lebih sedikit.

         Karena itu interaksi antara pembimbing dan mahasiswa seharusnya dilakukan secara intensif. Dari sisi permintaan, para mahasiswa bimbingan dikondisikan agar mereka bisa selesai pada waktunya. Para mahasiswa harus tekun dan memiliki road map dalam mengikuti proses pembelajaran di program studinya. Sementara dari sisi suplai atau dosen maka diperlukan curahan waktu, tenaga dan pikiran yang optimum. Dinilai perlu dosen harus proaktif dengan cara melakukan kontrol rutin kemajuan mahasiswanya. Memang bakal tampak melelahkan kalau seorang dosen membimbing mahasiswa yang cukup banyak. Namun ketika itu dipandang sebagai amanah dan kepercayaan yang diberikan SPS dan mahasiswa kepada pembimbing  maka semua itu bakal menjadi indah ketika ditempatkan sebagai ibadah.

 

         Perumusan masalah dalam sutau penelitian tentang manajemen sumbedaya manusia (MSDM) sangatlah krusial. Keberhasilan dalam merumuskan masalah merupakan unsur penting keberhasilan dalam penelitian. Masalah yang ditemukan perlu dianalisis. Untuk itu langkah awal perlu mendefinisikan dan mengelompokan setiap uraian masalah ke dalam karakteristik khusus. Uraian karakteristik masalah ditunjukkan oleh suatu gambaran spesifik yang terbatas. Ia memiliki identitas tertentu yang berbeda dengan hal-hal dan kondisi lainnya. Itu terjadi dalam suatu lokasi tertentu yang berbeda dari tempat lain. Terjadinya, dalam periode waktu tertentu pula. Selain itu, ia cenderung memiliki suatu besaran yang dapat dihitung.

         Karena itulah peneliti, seharusnya melakukan spesifikasi yang tepat dan komplit dan memasukkan informasi yang sudah mengandung pertanyaan antara lain, apa (identitas), dimana (lokasi), kapan (waktu), luasnya (berapa jauh, berapa banyak). Teknik lain untuk menguraikan karakteristik suatu masalah mutu SDM adalah memusatkan pada dua segi masalah yaitu, pertama pada obyek masalahnya, dan kedua pada penyimpangan.

         Berikut ini suatu contoh bagaimana menemukan suatu masalah spesifik yang dihadapi karyawan tenatng mutu sumberdaya manusia lewat pengajuan sejumlah pertanyaan, sebagai berikut:

a. Untuk mencari identitas: Apa saja penyimpangan tentang kinerja karyawan yang spesifik? Unit, barang, jasa dan kondisi intrinsik dan ekstrinsik apa saja yang terlibat? Apa kaitannya dengan mutu SDM karyawan?

b. Untuk mengetahui lokasi: Dimanakah (divisi, seksi) obyek masalah karyawan diobservasi? Apakah kejadian itu juga terdapat di lokasi kejadian yang lain? Mengapa antarlokasi terdapat masalah kinerja karyawan berbeda atau sama? Bagaimana dengan perbedaan mutu SDMnya?

c. Untuk mengetahui waktu kejadian: Kapan obyek masalah (penyimpangan) mutu SDM pertama kali diobservasi? Sejak kapan kejadian buruk tersebut terjadi dan kapan kejadian yang serupa pernah terjadi? Bagaimana kecenderungannya di masa datang?

d. Untuk mengetahui berapa luasnya: Berapa banyak unit, bagian, orang dan sebagainya yang terlibat? Adakah kecenderungan menurun, menaik atau konstan? Apakah ukuran, luas dan derajat kerugian akibat kinerja karyawan menurun? Seberapa parahkah derajad mutu SDM berpengaruh pada kinerja perusahaan? Dan mengapa?

        Jadi jika pendekatan untuk menguraikan situasi di atas sudah dilakukan dengan benar dan tepat, maka ini akan merupakan setengah usaha keberhasilan peneliti dalam pendekatan masalah. Ini berarti pula bahwa hal-hal lain di luar yang menyangkut identitas, lokasi, waktu dan luasnya masalah tidak termasuk ke dalam persoalan yang telah diuraikan di atas. Hal ini penting dalam kaitannya dengan pembatasan analisis disamping untuk menghindari kesimpangsiuran.

 

        Ketertinggalan terjadi ketika seorang karyawan tidak lagi memiliki pengetahuan atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang penuh tantangan dengan sukses. Dalam perubahan yang cepat di bidang teknis tinggi, seperti keteknikan dan komputerisasi administrasi, ketertinggalan dapat terjadi dengan cepat. Di antara para manajer, setiap perubahan dapat saja diikuti/dihadapi dengan lebih lambat dan mungkin tidak memperhatikan ketertinggalannya, seperti dalam hal sikap yang tidak tepat dan kinerja yang buruk. Ketertinggalan bisa jadi sebagai hasil dari kegagalan seseorang untuk mengadaptasikan dirinya pada teknologi baru, prosedur baru, dan perubahan-perubahan lainnya. Semakin cepat perubahan lingkungan, semakin memungkinkan hal ini menjadikan karyawan tertinggal.

         Beberapa pengusaha merasa segan untuk mengambil tindakan yang keras dan memecat karyawan yang tertinggal, utamanya terhadap karyawan yang telah lama bekerja di perusahaan. Sebagai gantinya, beberapa karyawan mungkin diberikan pekerjaan-pekerjaan tertentu dimana ketertinggalan mereka tidak menjadi permasalahan. Selain itu, keterampilan mereka bukanlah sebagai ketertinggalan. Sebagai contoh, ketika seorang eksekutif menengah/puncak tidak melakukan pekerjaan dengan memuaskan. Kemudian mereka terkadang dipromosikan sebagai wakil ketua sebuah dewan, di mana mereka memainkan sebagai penasihat atau menghadiri acara-acara seremonial, seperti pesta perjamuan untuk pensiunan karyawan. untuk para karyawan dengan tingkat yang lebih rendah. Solusinya berupa program pengembangan tambahan.

        Menghindari terjadinya ketertinggalan merupakan sebuah tantangan utama untuk departemen SDM. Dengan menilai kebutuhan dari karyawan dan memberikan mereka program untuk mengembangkan keterampilan baru, departemen SDM seharusnya menerapkan programnya dengan proaktif (sebelum ketertinggalan terjadi). Jika program dirancang secara reaktif, sesudah ketertinggalan terjadi, hal itu sangat mungkin kurang efektif dan lebih mahal.

        Ketika seorang karyawan mencapai taraf tanpa adanya kemajuan karir, ketertinggalan sangat mungkin terjadi. Taraf tanpa kemajuan karir terjadi ketika seorang karyawan melakukan pekerjaan sedemikian rupa tidak untuk diturunkan pangkatnya atau dipecat, tetapi yang bersangkutan tidak begitu cocok untuk dipromosikan. Ketika karyawan menyadari bahwa dia berada pada taraf tanpa kemajuan, motivasi untuk hanya ingin tetap pada posisinya mungkin dapat dikurangi. Banyak perusahaan menggunakan pendidikan berkelanjutan untuk kalangan manajemen menengah dan tingkat lebih atas untuk melawan ketertinggalan, misalnya melalui kegiatan pelatihan khusus setingkat perguruan tinggi, seminar, dan simposium.

 

       Konon seseorang cenderung paling mudah mengatakan dirinya sebagai yang paling. Dalam bahasa Indonesia, makna kata paling adalah menyatakan sangat atau ter-; misalnya paling besar (terbesar), paling jujur (terjujur), paling tinggi (tertinggi), dan paling benar (terbenar). Makna yang akan sedikit dibahas kali ini adalah yang menyatakan sangat; khususnya ungkapan paling segalanya. Mengapa? Karena dalam suasana kampanye pil-pres sekarang ini simbol-simbol ungkapan paling, banyak diungkapkan sekalipun dalam bentuk implisit oleh para kandidat. Kemudian alasan lain adalah ungkapan paling segalanya banyak diungkapkan oleh pimpinan organisasi termasuk pimpinan perusahaan.

      Ketika seorang calon presiden (capres) tertentu berkampanye maka tidak ayal lagi pasti disampaikan pesan-pesan manis kepada khalayak luas. Katakanlah semacam janji-janji. Di dalam pesan tersebut tidak luput dikatakan dialah calon presiden yang paling jujur, paling piawai memimpin, paling berpengalaman, dan paling benar. Pokoknya ungkapan sederetan kata paling. Pokoknya kalau khlayak memilihnya kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Bagaimana kenyataannya setelah yang bersangkutan terpilih? Bisa jadi janjinya dipenuhi tetapi bisa juga tidak sepenuhnya. Kalau tidak terpenuhi sesuai janji-janjinya maka berubahlah sebutan pada dirinya dari yang paling dipuja-puji menjadi paling dibenci.

        Bagaimana perilaku pimpinan di dunia bisnis? Bisa jadi setali tiga uang. Tidak jarang atasan selalu merasa dirinya paling segalanya. Dengan kata lain merasa paling di atas yang paling. Subordinasi tak usah banyak bicara atau tingkah. Laksanakan saja apa yang diperintahkan atasan; titik. Ketika dunia bisnis harus berhadapan dengan persaingan global maka gaya memimpin dari pimpinan seperti itu tak cocok lagi. Bisa-bisa para karyawan tidak betah. Derajad Labor turnover meningkat tajam. Tentu saja perusahaan akan rugi karena kehilangan individu yang potensial. Jelas saja produktivitas perusahaan akan anjlok. Lambat laun kepercayaan pasar juga ikut menurun. 

        Seharusnya pimpinan perusahaan jangan menempatkan dirinya sebagai seorang yang super. Dia perlu melibatkan semua individu organisasi utamanya karyawan. Merekalah sebagai aset perusahaan sekaligus unsur investasi efektif yang berdiri paling depan. Karena itulah dalam pengembangan sumberdaya manusia, mereka harus terus dilatih dan secara bertahap diberi otonomi untuk mengembangkan daya intelektualnya. Dengan demikian para individu perlu dikondisikan dalam suasana belajar yang kontinyu untuk menghasilkan gagasan-gagasan inovatif. Ujungnya kinerja perusahaan akan semakin berkembang dalam meraih posisi terunggul di persaingan global.

Debate

     Debat politik antarkandidat presiden di negara kita cenderung berbeda dengan di  negara-negara lainnya seperti Asia Selatan, Filipina, Thailand, Amerika Serikat dan Eropa. Di negara-negara tersebut debat dilakukan secara terbuka dan blak-blakan. Para kandidat mengutarakan berbagai konsep strategi dan taktik tertentu untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Kemudian ada “serangan” atas kelemahan konsep dan atau program yang ditampilkan pihak rivalnya. Dilakukan tanpa tedeng aling-aling, ragu-ragu, dan tidak plin-plan. Debat politik sudah menjadi budaya mereka. Begitu juga debat di bidang-bidang lainnya. Yang jelas bukan adegan dagelan.

     Di negara kita sendiri, contoh debat capres bertema “tatakelola yang baik dan supremasi hukum dan HAM”, Kamis malam kemarin, cenderung membuat khalayak penonton dan pemerhati terheran-heran. Disebut debat tapi tidak berdebat. Tidak seseru debat antarpara anggota tim suksesnya. Yang terjadi hanyalah tampilan manggut-manggut ketika kandidat lainnya sedang mengutarakan strategi dan taktik dalam menghadapi masalah bangsa. Tak ada saling menyerang pendapat lawannya. Dan langsung saja dinyatakan setuju oleh rival lainnya. Kalau toh ada yang tidak disetujui tetapi tidak ditunjukkan segi apa yang ditolaknya. Terkesan kental dengan toleransi untuk tidak ”menyakiti” satu sama lainnya. Dan berakhir penuh “perdamaian”. Bagaimana dengan debat di dunia bisnis?

     Dalam forum formal, debat merupakan bentuk diskusi dalam komunikasi antarpersonal atau antarkelompok untuk membahas tema tertentu yang dipimpin seorang moderator. Disitu terjadi perbantahan tentang sesuatu dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat-pendapat dari mereka yang berdebat (pendebat). Boleh setuju dan tidak setuju dengan alasan-alasan yang bisa diterima. Di dunia bisnis debat pun bisa saja terjadi. Proses, intenisitas, dan hasil debat sangat berkait dengan tema pengambilan keputusan, tingkatan organisasinya, dan manajemen kepemimpinan. Mulai dari tema produksi, misalnya jenis produk yang akan diproduksi dan dijual, berapa banyak, metode atau teknik produksi, jumlah dan mutu sumberdaya manusia yang dibutuhkan, seperti apa tim kerja, dan pemasarannya sampai pada masalah-masalah umum yang berkait dengan bisnis. Pelaksanaan debat didasarkan pada rencana strategis dan rencana bisnis yang pernah ada serta pespektif masa depan.

     Bergantung pada derajad tema atau topik masalahnya, debat bisa dilakukan di tingkat manajemen (puncak dan menengah) dan juga di tingkat unit kerja operasional. Di tingkat manajemen puncak, debat dilakukan dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis. Selain itu debat dilakukan dalam keadaan darurat yang membutuhkan keputusan manajemen segera. Sementara di tingkat manajemen menengah debat berkisar pada pengambilan keputusan kebijakan dan program operasional. Intensitasnya relative cukup tinggi karena menyangkut beragam aspek masalah yang cukup rumit. Lalu intensitas debat di tingkat unit kerja lebih ringan karena lebih berfokus pada rencana tindakan-tindakan operasional.

     Dalam prakteknya, tidak seperti debat politik, maka debat di dunia bisnis kental dengan ikatan prosedur operasi standar. Keputusan suatu debat sangat bergantung pada hirarki jabatan seseorang mulai dari tingkat manajemen puncak, direktur, manajer, sampai koordinator tim kerja. Namun bukan berarti dalam pengambilan keputusan itu tidak ada perbedaan pendapat sama sekali. Perusahaan yang semakin menerapkan manajemen kepemimpinan partisipatif dan kemitraan cenderung menunjukkan intensitas debat yang semakin demokratis ketimbang yang menerapkan manajemen sentralistik atau otoriter. Suasana atau intensitas perdebatan dalam perusahaan yang sejenis organisasi pembelajaran pun dibangun. Perdebatan dimaksudkan sebagai proses pembelajaran yang tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas tetapi bisa dalam bentuk seminar dan lolakarya. Setiap individu bebas menyatakan pendapatnya. Dengan cara ini mereka dilatih untuk berpikir kritis, analitis dan logis yang idealnya didukung data dan fakta atau informasi.

     Debat dalam dunia bisnis tidak selalu berlangsung dalam suasana rapat-rapat formal. Tidak jarang debat-debat ringan dilakukan di ruang kantin atau ketika ada kegiatan sosial keluarga perusahaan. Disitu tak ada yang memimpin debat karena berlangsung serba spontan. Walau dalam suasana rileks, debat lewat suasana informal ini sangat menguntungkan sebagai wahana loby. Tiap karyawan dan manajemen dapat menyerap setiap ide yang berkembang dalam debat itu tanpa ikatan kaku. Juga tak ada suatu kesimpulan mengikat. Yang ada hanya kebebasan setiap individu untuk menafsirkannya. Kemudian itu dijadikan bahan baru untuk memerkuat gagasan-gagasan yang sudah ada untuk disampaikan dalam debat formal.

     Pembudayaan tentang debat di masyarakat Indonesia seharusnya sudah mulai diterapkan di tingkat sistem sosial terkecil yakni di dalam keluarga. Setiap anggota keluarga diajak untuk membahas sesuatu dimulai dari tema yang paling sederhana sampai yang rumit. Karena keterbatasan wawasan dan pengetahuan maka anggota yang diajak berdebat pun akan berbeda sesuai dengan kadar tema yang diajukan. Tentunya debat yang tidak keluar dari norma-norma keluarga. Selain di keluarga, debat di sekolah dan perguruan tinggi pun seharusnya dapat dibudayakan. Misalnya pendekatan pembelajaran berpusat pada murid atau mahasiswa (student centered learning) dalam perkuliahan, praktikum, dan seminar tentang bisnis dapat dijadikan sebagai salah satu model pembudayaan debat. Lambat laun akumulasi dari pengkondisian tentang pentingnya debat di berbagai elemen masyarakat akan merupakan kesepakatan kolektif suatu masyarakat. Tetapi tentunya bukan mendidik masyarakat untuk berbudaya debat kusir dimana masing-masing pendebat selalu memertahankan pendapatnya masing-masing. Tidak peduli pendapatnya apakah memiliki alasan kuat atau lemah; logis atau ngawur. Tanpa ada yang mau mengalah demi keegoan sentris dan harga diri semata serta kepuasan sesaat.

 

           Suatu organisasi perusahaan yang modern pasti memiliki visi dan misi. Visi kerap disamakan maknanya sebagai mimpi atau cita-cita. Namun suatu mimpi yang harus diujudkan dalam kenyataan. Kalau tidak maka mimpi tinggalah mimpi. Itu bukanlah suatu visi atau sekedar angan-angan. Kemudian untuk menerjemahkan visi ke dalam bentuk realita maka perlu dirumuskan apa misinya. Misi adalah turunan atau pernyataan dari visi yang lebih rinci yakni kenyataan apa saja yang perlu diraih. Cita-cita perusahaan itu dinyatakan dalam bentuk tujuan umum yang sudah lebih terarah. Setelah itu dirumuskan bagaimana cara dan langkah-langkah perusahaan mencapai tujuan yang disebut sebagai suatu strategi.

          Untuk lebih jelasnya diberikan contoh satu perusahaan di bidang penerbitan buku ilmiah. Perusahaan itu memiliki visi “menjadi penerbit buku ilmiah yang unggul dan terpercaya utamanya di bidang X, Y, dan Z”. Impian utamanya adalah menjadi penerbit unggul dan terpercaya. Untuk itu maka mimpi yang lebih rinci ditunjukkan dalam bentuk pernyataan. Misalnya untuk menjadi penerbit unggul dan terpercaya maka mimpi terinci yang perlu diujudkan adalah: (1) berkembangnya mutu proses penerbitan dan hasil; (2) terujudnya pelayanan prima; dan (3) perluasan segmen pasar tidak saja di pasar domestik tetapi juga internasional. Ketiga mimpi itu disebut misi.

           Pertanyaannya apakah dengan demikian dalam pengembangan sumberdaya manusia juga diperlukan lagi suatu visi yang lebih spesifik lagi? Di suatu perusahaan di samping ada visi dan misi juga terdapat tujuan dan strategi untuk mencapai tujuan perusahaan. Semua itu baru akan terujud jika ada program yang layak untuk dilaksanakan. Kembali ke contoh perusahaan penerbitan di atas maka salah satu tujuannya adalah “meningkatnya jumlah buku-buku yang bermutu sesuai dengan kebutuhan IPTEK dan pasar”. Agar dapat diterjemahkan ke dalam bentuk nyata maka tujuan itu dirinci lagi secara kuantitatif dalam bentuk sasaran. Lalu untuk mencapai tujuan dan sasaran itu maka salah satunya dibutuhkan strategi dan program peningkatan mutu produk, pelayanan prima, dan efisiensi bisnis secara berkelanjutan. Semua itu dikemas dalam bentuk perencanaan seperti buku-buku apa yang akan diterbitkan, metodenya seperti apa, berapa banyak anggaran yang diperlukan, segmen pasarnya siapa, dan siapa dan apa saja sumberdaya manusia yang akan digunakan dalam mencapai tujuan itu.

          Dari contoh di atas maka tampak pengembangan sumberdaya manusia tidak perlu memiliki visi khusus. Pengembangan SDM lebih merupakan pernyataan program. Yang lebih diperlukan adalah menerjemahkan visi perusahaan dalam suatu rumusan apa saja tujuan, sasaran spesifik dan kegiatan terinci dalam pengembangan SDM karyawan. Hal ini diturunkan dari tujuan, strategi dan program umum perusahaan. Yang jelas pengembangan SDM sangat berkait dengan peningkatan mutu SDM dan kinerja karyawan. Jawaban dalam bentuk program antara lain melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan.

          Alasan lain mengapa pengembangan SDM tidak memerlukan visi dapat dilihat dari beragam sisi. Yakni tentang pernyataan yang mengandung idealisme, berorientasi pada jangka panjang, dan keterlibatan pelaku organisasi. Dari sisi idealisme, visi dipandang sebagai keinginan luhur yang dicerminkan oleh sistem nilai yang dimilikinya. Nilai-nilai itu perlu dibagi diantara para pelaku organisasi oleh pemimpin perusahaan. Misalnya sistem nilai yang perlu dikembangkan perusahaan penerbitan buku di atas yakni pelayanan prima, integritas, kerjasama, inovatif, dan reputasi. Kemudian visi itu harus ditempatkan sebagai jembatan penghubung masa sekarang dan masa depan. Jadi artinya perusahaan harus selalu siap dengan perubahan-perubahan. Perusahaan yang menolak perubahan sebenarnya perusahaan yang tidak memiliki visi jelas. Di sisi lain tidak mungkin idealisme dan jembatan penghubung itu dapat mencapai visi yang dicanangkan tanpa dukungan SDM. Dengan kata lain visi pun harus mampu menstimulasi para pelaku organisasi untuk memiliki cita-cita dan motivasi secara kolektif dalam bekerja sama.

         Dengan demikian pengembangan sumberdaya manusia selain hanya sebagai bentuk program juga sebagai langkah nyata untuk mencapai visi perusahaan. Jadi di setiap program pengembangan SDM ada kandungan inheren tentang visi perusahaan yang ingin dicapai. Juga memiliki kandungan nilai-nilai perusahaan yang disebut sebagai “visi berbagi” secara merata di kalangan karyawan dan manajemen. Karena itulah program itu pun mengandung makna bahwa untuk mencapai visi tertentu perlu ada standar-standar keunggulan yang bisa diukur. Yakni standar pencapaian mutu proses, mutu produk, pangsa pasar, kepuasan, dan loyalitas konsumen. Semua itu merupakan fungsi dari keberhasilan program pengembangan SDM karyawan.

Laman Berikutnya »