Beberapa hari lalu saya mendapat surat dari Dekan Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB bahwa saya sudah tidak bisa menerima permintaan bimbingan dari mahasiswa pascasarjana lagi khususnya sebagai ketua pembimbing. Pasalnya, angka indeks total jumlah bimbingan sudah melampaui batas standar. Menurut ketentuan yang berlaku di SPS IPB, jumlah bimbingan untuk mahasiswa S2/S3 adalah maksimum 10 orang sebagai ketua dan 15 orang sebagai anggota. Apabila diperlukan komposisi tersebut dapat diubah dengan ketentuan satu orang sebagai ketua setara dengan dua orang anggota sehingga total indeks yaitu 35.
Sementara jumlah angka indeks saya mencapai 42 atau jumlah mahasiswa dimana saya selaku ketua pembimbing 18 orang; 13 orang mahasiswa S3 dan lima orang mahasiswa S2. Sebagai anggota pembimbing mahasiswa S3 mencapai enam orang. Dengan demikian total mahasiswa pascasarjana bimbingan berjumlah 24 orang yang tersebar di enam program studi yakni Ilmu Ekonomi Pertanian, Ilmu Manajemen, Ilmu Pengelolaan Lingkungan, Ilmu Gizi Masyarakat, Ilmu Komunikasi Pembangunan, dan Manajemen Bisnis. Itu belum termasuk sebagai ketua pembimbing mahasiswa program magister manajemen bisnis yang jumlahnya sekarang delapan orang. Dan sebagai ketua pembimbing mahasiswa strata satu sebanyak 12 orang. Jadi total mahasiswa bimbingan pada semua strata sekarang ini berjumlah 44 orang.
Karena sudah memasuki masa pensiun, maka kini saya hanya diberi tugas sebagai anggota pembimbing. Sebagai contoh, enam mahasiswa program doktor manajemen bisnis yang berkonsentrasi ilmu MSDM (MSDMLanjut, Manajemen Perubahan, Hubungan Industrial) yang semula meminta saya sebagai ketua pembimbing ditolak oleh dekan SPS IPB. Saya hanya mendapat jatah seorang dan itupun hanya sebagai anggota pembimbing. Jadi bisa dibayangkan untuk 13 mahasiswa program doktor yang sedang kuliah konsentrasi MSDM yang sejak awal meminta saya sebagai pembimbingnya kemungkinan besar akan ditolak Dekan SPS. Bisa jadi tak satu pun dari mereka yang saya bimbing. Pasalnya itu tadi karena beban bimbingan saya sudah jauh melampaui indeks standar. Pertanyaannya apakah kondisi seperti ini juga terjadi pada dosen yang lain?
Penyebaran bimbingan mahasiswa oleh dosen belum tentu merata. Hal ini sangat berkait dengan rasio jumlah mahasiswa pascasarjana dengan jumlah dosen yang berhak membimbing pada program studi/mayor tertentu. Semakin banyak jumlah mahasiswa relatif terhadap jumlah dosen maka semakin besar peluang dosen memiliki bimbingan mahasiswa. Karena sebarannya tidak merata maka bisa jadi ada dosen yang tidak memiliki mahasiswa bimbingan dan yang hanya membimbing 1-2 orang mahasiswa sampai ada yang membimbing mahasiswa di atas indeks standar. Dengan kata lain para mahasiswa bertumpuk di segelintir dosen saja.
Hal demikian bisa juga karena faktor kompetensi, kapabilitas, dan kepribadian dosen dan minat mahasiswa di bidang tersebut. Semakin tinggi kompetensi seorang dosen dalam bidang keahlian tertentu plus semakin menariknya kepribadian sang dosen dan mahasiswa yang berminat cukup banyak maka semakin besar kemungkinan sang dosen tersebut diminta mahasiswa sebagai pembimbing. Di sisi lain semakin banyak jumlah mahasiswa pascasarjana pada program mayor tertentu sementara jumlah dosen tidak berubah maka akan terjadi “kelebihan” permintaan bimbingan ketimbang suplai dosennya. Hal-hal inilah yang memungkinkan beberapa dosen memiliki angka indeks bimbingan di atas standar.
Peraturan yang dikeluarkan SPS IPB jelas bermaksud agar ketimpangan sebaran jumlah mahasiswa bimbingan perdosen relatif merata. Kemudian beban dosen pembimbing secara rasional harus dibatasi. Namun tidak cukup hanya dengan itu saja. Sebaiknya setiap program studi/mayor dalam merekrut jumlah mahasiswa baru harus mempertimbangkan jumlah dosen yang tersedia. Jangan berlebihan ketimbang ketersediaan dosen yang akibat susulannya adalah ketidakpuasan mahasiswa atas proses pembimbingan. Selain itu juga sistem atau pola bimbingan yang sementara ini otonom diberikan kepada masing-masing dosen hendaknya dapat dipantau dan dievaluasi. Antara lain dalam hal lamanya penyelesaian dan mutu bimbingan. Bisa saja terjadi dosen yang membimbing mahasiswa lebih banyak menghasilkan lulusan yang relatif tepat waktu dan bermutu ketimbang dosen yang jumlah bimbingannya lebih sedikit.
Karena itu interaksi antara pembimbing dan mahasiswa seharusnya dilakukan secara intensif. Dari sisi permintaan, para mahasiswa bimbingan dikondisikan agar mereka bisa selesai pada waktunya. Para mahasiswa harus tekun dan memiliki road map dalam mengikuti proses pembelajaran di program studinya. Sementara dari sisi suplai atau dosen maka diperlukan curahan waktu, tenaga dan pikiran yang optimum. Dinilai perlu dosen harus proaktif dengan cara melakukan kontrol rutin kemajuan mahasiswanya. Memang bakal tampak melelahkan kalau seorang dosen membimbing mahasiswa yang cukup banyak. Namun ketika itu dipandang sebagai amanah dan kepercayaan yang diberikan SPS dan mahasiswa kepada pembimbing maka semua itu bakal menjadi indah ketika ditempatkan sebagai ibadah.
Juni 28, 2009 at 12:47 am
Pengalaman ketika akan menyelesaikan studi strata satu maka pertimbangan memilih pembimbing antara lain yg gampang menyediakan waktu dan bisa cepat selesai.Bahkan tidak peduli apakah dosen itu pintar atau cuma cukupan saja.Jadinya berpikir pragmatisme.
Juni 28, 2009 at 7:46 pm
mbak nur… mahasiswa seperti itu termasuk berperilaku instan….segalanya ingin cepat selesai dengan mudah…bisa-bisa mengorbankan mutu….namun di sisi lain seharusnya yg namanya pembimbing ya harus bermutu…..
Juni 28, 2009 at 12:53 am
Wah kalo gitu pak sjafri dosen favorit ya. Banyak mhs multistrata yang memilih. Sependapat kalau mahasiswa pascasarjana memilih dosen pembimbing tidak hanya pertimbangan dari kompetensi keilmuan saja tetapi juga dari kepribadian dosen yang mengayomi mahasiswa.
Juni 28, 2009 at 7:49 pm
saya tidak tahu bung rusli…kebetulan saja yg berminat pada pendalaman ttg msdm di program doktor manajemen bisnis IPB termasuk selalu tertinggi…..
Juni 28, 2009 at 1:10 am
Tulisan Prof. Syafri ini harus dibaca oleh pengelola, dosen dan mahasiswa pascasarjana. Persoalan beban bimbingan dosen yang melampaui batas kewajaran terjadi di beberapa program studi. Harapan pascasarjana adalah agar proses pembimbingan mahasiswa dapat dilakukan secara berkualitas dan agar tidak terjadi dominasi pembimbingan dengan menggunakan kekuasaan tetapi berdalih seolah-olah kompetensi, kapabilitas, kepribadian dan minat mahasiswa. Idealnya sejak mahasiswa S3 melamar sudah harus menyampaikan siapa yang ingin dijadikan sebagai dosen pembimbing sehingga pada saat diterima maka yang bersangkutan sudah mendapat pembimbing. Dengan cara seperti ini problem kelebihan beban bimbingan akan terhindarkan. Sebagai Dekan saya sudah meminta program studi yang punya masalah tingginya beban bimbingan untuk menerapkan sistem ini secara bertahap.
Terimakasih atas kritikan dan masukan Prof Syafri Mangkuprawira kepada kami, Sekolah Pascasarjana IPB.
Juni 28, 2009 at 7:50 pm
terimakasih Prof Khairil…atas tambahan masukan yg memerkaya artikel ini…semoga SPS IPB semakin berkembang…amiin….
Juni 28, 2009 at 4:50 am
Prof, mungkin dengan memperketat seleksi calon mahasiswa S3, biar ga terlalu banyak bimbingannya. 😀
Juni 28, 2009 at 7:53 pm
ya bung jupri….seleksi ketat dalam konteks mutu input (calon mahasiswa) berikut jumlahnya…..idealnya jumlah mhs doktor per angkatan/kelas tidak lebih dari 20 orang….agar proses pembelajaran lebih interaktif…..
Juni 30, 2009 at 3:52 am
Wah…. saya yakin deh prof ini bukan saja menganggap membimbing mahasiswa pasca sebagai sebuah tugas, tetapi saya yakin prof pasti merasa senang dan sangat menikmati hari-hari sebagai pembimbing mahasiswa pasca. Karena saya yakin jikalau kita melakukan pekerjaan kita dengan ‘aura’ yang gembira, senang hati, dan ikhlas, insya Allah semua akan berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan mungkin lebih dari yang diharapkan. Dan mudah2an aura kegembiraan yang ada pada diri prof dapat ‘tertular’ kepada para mahasiswanya sehingga mereka dapat lebih semangat lagi dalam menyelesaikan tesis/disertasinya……
Juli 2, 2009 at 10:06 am
ya kang yariNK…namanya juga membimbing…jadi tidak sepenuhnya karya ilmiah mahasiswa bersumber dari pembimbing…kegembiraan pembimbing kalau sang mahasiswa begitu dengan potensi akademiknya bisa berbeda pendapat dengan pembimbingnya….atau punya keyakinan ilmiah….disitulah terjadi sinergitas…ahaa,pembimbing pun banyak memeroleh sesuatu seperti isyu peneltian, teori, dan metodologi yg baru yg bisa saja belum pernah diperoleh secara mendalam oleh pembimbing…..nah disini peran pembimbing mengkritisi setiap teori dan model analisis yg dibuat mahasiswa….pokoknya saya banyak gembira ketimbang susahnya membimbing….karena itu proses bimbingan tidak hanya fokus pada aspek akademik saja tetapi juga nonakademik seperti kekeluargaan dan soft skills….
Juni 30, 2009 at 4:47 am
Tidak heran jika pak Sjafri merupakan dosen pembimbing yang favorit di pasca IPB.. Dan meskipun jumlah mahasiswa bimbingan melebihi kuota..saya yakin bapak dengan senang hati menjalankannya. Karena bapak selalu memandang segala sesuatu dari sisi ibadah pada Allah Swt.
Ada cerita…seorang dosen pembimbing tidak dipilih oleh satupun mahasiswa karena mahasiswa tersebut merasa softskill sang dosen kurang (meskipun dari sisi hardskillnya tidak usah dipertanyakan alias good banget).. Salam
Juli 2, 2009 at 10:12 am
alhamdulillah mbak emmy….saya konon dikenal sebagai pembimbing yg menanamkan kedisiplinan keras yg menekankan pada kejujuran ilmiah, orientasi mutu, dan membangun kemandirian mahasiswa…..bahkan saya suka kontrol rutin mereka yg terlambat penyelesaian tugas dgn mengirimkan sms jam 2-3 pagi…..aneh tapi nyata yg minta dibimbing tetap saja banyak….insya allah semua itu dalam konteks ibadah….
Juli 23, 2009 at 11:47 am
Ada juga kasus-kasus dimana dosen yang mendapat amanah untuk membimbing mahasiswa, namun dalam proses bimbingan karena satu dan lain hal ternyata mahasiswa dilepas begitu saja. Yang berakibat lulusan tepat waktu tapi kurang bermutu…..
Juli 23, 2009 at 2:34 pm
ya mas adi….seharusnya tidak seperti itu…pembimbing harus proaktif…dan tak ada kompromi dgn mutu akademik….