Oktober 2011


 

         Hari ini saya menghadiri orasi ilmiah tiga orang perempuan Guru Besar IPB. Salah satunya adalah mantan bimbingan saya ketika dia menempuh pendidikan S1 dan S2 sekitar dua puluh tahun lalu. Tentunya hal ini sangat membanggakan dan sekaligus rasa syukur saya. Dengan demikian sejak kini  saya dan dia sudah  sama-sama profesor. Suatu kejadian yang saya anggap langka dari sejumlah mantan bimbingan saya selama ini.

          Sampai saat ini tidak kurang dari 450 orang alumni IPB (strata 1-3) yang pernah saya bimbing. Kalau mahasiswa yang pernah saya ajar, khususnya dalam ilmu Pengantar Ekonomi, Pengantar Manajemen, Pembangunan Pertanian, Manajemen SDM, Teori Organisasi, dan Kebijakan Pertanian, diperkirakan jumlahnya ribuan. Kini mereka tersebar sebagai dosen, birokrat, anggota legislatif, peneliti, dan wirausaha. Kalau saya hitung paling tidak terdapat ratusan lulusan IPB yang sudah berhasil sebagai akademisi dan pengamat sosial ekonomi tingkat nasional bahkan internasional seperti itu.

          Diperoleh kabar tidak kurang sebanyak 40 orang yang kini sedang menduduki jabatan eselon satu di pemerintahan. Disamping ada yang sebagai menteri dan presiden, hahaha. Bahkan beberapa diantaranya sudah lebih awal menjadi guru besar dibanding saya. Tentunya salahsatu unsur keberhasilan mereka adalah hasil proses pembelajaran yang dilakukan oleh suprasistem yaitu semua dosen yang berdedikasi tinggi disamping karena kemampuan dan upaya mereka sendiri.

            Sebagai dosen, saya bangga sekali dengan keberhasilan mereka. Tiada kata lain yang meluncur kecuali ungkapan rasa syukur….. yang mensyukuri ni’mat-ni’mat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus (An-Nahl; 121). Kebanggaan itu semakin bertambah ketika mereka membawa tambahan ilmu pengetahuan untuk dikembangkan, paling tidak di kampus IPB. Para mahasiswa baru tentunya semakin terbantu dan semakin kaya ilmu. Harapannya adalah mutu lulusan IPB semakin unggul.

           Bagi saya, sebagai orang yang pernah menjadi guru mereka, sekarang tidak mau kalah untuk menimba ilmu…..lalu saya “berguru” pada mereka. Dalam kesempatan tertentu saya biasa meminta informasi buku ilmu ekonomi, organisasi dan manajemen apa saja yang mereka miliki. Dan tidak segan-segan saya minta diajari bagaimana menjelaskan dan menggunakan suatu teori dan model analisis mutahir yang belum saya ketahui. Saya butuh itu sekalipun dari seorang mantan mahasiswa saya. Nah itulah senangnya bekerja di perguruan tinggi. Tidak mengenal bentuk hirarki struktural dan fungsional. Yang ada cuma suasana kolegial. Tidak perlu ada sungkan.

 

         Pergantian jabatan di suatu instansi adalah fenomena wajar seperti halnya jabatan menteri. Bisa karena sudah waktunya diganti, bisa karena sudah memasuki masa pensiun, dan bisa jadi karena dipecat. Karena itu sebagai seorang pejabat teras pada level apapun harus sudah siap kalau tidak berstatus seperti itu lagi. Siap-siap menghadapi lingkungan baru, siap-siap kalau-kalau para anak buah melupakannya, dan harus siap pula segala fasilitas akan berkurang.

          Jabatan seseorang itu titipan Allah. Sifatnya pengabdiannya abadi karena memiliki nilai amanah. Tetapi kurun waktu pemegang jabatan itu bersifat sementara. Tidak kekal. Bisa jadi baru sebulan pun pejabat yang bersangkutan tiba-tiba dicopot. Apa yang bisa terjadi? Apapun bisa termasuk berkurangnya respek para mantan subordinasi. Kalau itu terjadi maka anak buah dari pejabat teras itu menghormati bukan pada pejabatnya (orangnya) tetapi pada jabatannya. Lalu ketika jabatan itu tidak melekat lagi pada orangnya maka sudah tidak ada lagi semacam ’hirarkis’ kehormatan pada orangnya. Sepertinya tidak ada kewajiban lagi bagi bawahan untuk menghormati mantan pimpinannya itu. Sudah habis. Gone with the wind.

         Pertanyaannya benarkah begitu hipokritnya sifat seseorang? Menghormati orang karena jabatannya? Sehingga kalau perlu menjilat atasannya? Bahkan ketika sudah tidak menjadi atasannya ada saja yang berani mengumpatnya? Apakah karena ada yang salah tentang karakter si mantan pejabat ketika masih aktif? Apakah pejabat itu sebagai sosok yang jauh dari sifat arif dan bijak, kurang dekat dan kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan para subordinasinya, jauh dari kesederhanaan dalam bertutur kata dan rakus dalam hal materi dan kekuasaan?

         Berdasar pengamatan saya, salah satu dampak kepemimpinan yang baik dicirikan oleh kerinduan mantan bawahan untuk bertemu dengan mantan atasannya. Kerinduan untuk bertemu tidak selalu diekspresikan secara fisik. Kerinduan dibarengi rasa hormat itu berupa impresi tentang sifat-sifat baik mantan pejabat bersangkutan yang pernah diterima oleh bawahannya. Selalu dingatnya. Bahkan sering menjadi buah bibir pembicaraan dengan orang lain. Kerinduan tanpa ujung.

         Kerinduan itu timbul pada sifat-sifat atasannya yang demokratis namun tegas dan tidak kompromi dalam hal disiplin dan mutu kerja, kinerjanya tinggi, konseptor, komunikatif, mendidik layaknya seorang orangtua yang bijak, mudah memaafkan bawahannya, tidak segan-segan meminta maaf pada bawahan jika tutur dan tindakannya dirasa keliru, sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan bawahannya (materi dan nonmateri termasuk karir), dan kepedulian yang besar terhadap keluarga bawahannya. Intinya mantan pejabat itu tidak sombong, penuh rasa kekeluargaan dan tawadhu, dan tidak zalim karena kekuasaannya. Bahkan setelah tidak menjadi pejabat lagi, komunikasi persaudaraan dengan mantan bawahannya tetap berlangsung. Pasti dia akan dikenang selamanya. Namun adakah pemimpin yang seperti ini? Tentunya tidak semua pejabat seperti itu.

         Beberapa hari yang lalu terjadi perombakan kabinet Indonesia Bersatu jilid 2. Yang jeas ada menteri dan wakil menteri yang diganti. Saya percaya bagi mantan pejabat dan keluarganya yang arif tidak akan pernah mendambakan para mantan anak buahnya untuk tetap bertingkah laku sama seperti ketika dia masih sebagai pejabat. Dia percaya setiap orang memiliki ciri dan bobot karakter yang berbeda. Kalau menuntut hal yang sama dan tidak terpenuhi justru akan menyusahkan hatinya saja. Akan menderita bathin. Jadi dia ikhlaskan hidup apa adanya. Sementara, bagi mantan anak buah yang arif akan bersikap wajar-wajar saja. Sama seperti ketika masih menjadi anak buahnya. Artinya ketika menjadi anak buah dia selalu berupaya tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dengan atasannya. Apalagi menjilat dan memusuhi. Setiap yang terlalu itu adalah jelek, katanya. Bahasa ilmiahnya bertingkah lakulah secara proporsional. Insya Allah tak menjadi beban.

 

          Pada dasarnya setiap karyawan ingin bersosialisasi dengan atasannya. Yang membuat itu tidak terjadi dalam prakteknya adalah karena berbagai faktor. Faktor utama yang sering dihadapati adalah rasa malu dan segan. Bahkan yang paling gawat adalah rasa rendah diri. Namun kondisi seperti itu tidak berdiri sendiri. Bisa jadi semuanya terjadi disebabkan faktor dari kepemimpinan manajernya. Misalnya sikap manajer yang kaku, otoriter, bicara seperlunya, dan ada kesan untuk tidak ingin berhubungan langsung dengan bawahannya. Kalau sudah demikian maka komunikasi antara bawahan dan atasan akan mampet tersumbat.

          Kemampetan komunikasi akan bersifat fatal ketika para karyawan ingin menyampaikan masalah-masalah yang menyangkut unit kerja, perusahaan, dan pribadinya. Begitu pula gagasan yang akan disampaikan karyawan pun tidak bakal sampai ke manajer. Dengan demikian manajer akan kehilangan momentum untuk mengetahui secara terinci apa yang dihadapi karyawannya. Di sisi lain para karyawan tidak berdaya dalam mengatasi masalah yang dihadapi unit kerja atau masalah pribadinya. Kalau itu terjadi maka lingkungan kerja akan mengalami gangguan turbulensi seperti kebisingan psikologis dan koordinasi kerja yang tidak lancar. Pada gilirannya kinerja karyawan dan unit akan mengalami penurunan.

          Kondisi demikian tidak bisa didiamkan. Seharusnya sang direktur, sebagai atasan manajer, melakukan investigasi mengapa komunikasi pada unit tertentu mengalami hambatan. Direktur bisa bertanya unsur-unsur penyebabnya kepada manajer. Kalau diketahui unsur penyebabnya berasal dari manajer maka direktur dapat menegurnya. Kemudian disusun suatu prosedur operasi standar bagaimana melakukan komunikasi termasuk apa dan bagaimana kalau karyawan ingin bertemu dengan manajernya. Misalnya apa yang harus dilakukan karyawan jika ingin menyampaikan suatu masalah dan gagasan tertentu. Apakah langsung ke manajer ataukah di dalam rapat koordinasi. Juga perlu dipertegas pada situasi apa saja karyawan bisa langsung berjumpa dengan manajer.

         Idealnya adalah pihak manajer bersedia membuka pintu lebar-lebar ruang kerjanya ketika karyawan berkeinginan untuk menghadap. Semakin terbuka lebar semakin terbuka pula para karyawan menyampaikan permasalahan dan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini manajer akan menjadi pendengar yang baik. Tidak bersikap apriori dan tidak merasa terganggu. Dengan senang hati manajer bersedia mengolah dan berdiskusi dengan karyawan dalam mengatasi setiap masalah organisasi dan individu karyawan. Kalau ini berlangsung secara bersinambung maka suasana kerja akan semakin nyaman. Komunikasi tidak saja berlangsung horizontal tetapi juga vertikal. Umpan balik terjadi secara dinamis. Otomatis setiap kemungkinan bakal terjadinya konflik sudah dapat diantisipasi. Semua itu akan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan dan unit kerjanya.

          Dalam hal ini manajer hendaknya menumbuhkan sikap karyawan yang memandang komunikasi itu sebagai kebutuhannya sekaligus sebagai kebutuhan organisasi. Dengan kata lain karyawan didorong bersikap transparan dan akuntabel. Lambat laun rasa segan dan rasa malu bahkan rasa rendah diri dari karyawan untuk bertemu wicara dengan manajernya akan semakin hilang. Tentunya komunikasi yang dikembangkan tidak kaku hanya melalui jalur formal saja. Malah untuk beberapa hal, komunikasi jalur informal sering terbukti jauh lebih efektif ketimbang jalur formal.

 

         Sudah cukup lama kita disuguhi tontonan di televisi dan bacaan di media cetak tentang kemarahan. Apakah itu terjadi pada individu ataukah masyarakat. Dari sisi individu terlihat bagaimana sang suami marah-marah dan menganiaya isterinya karena dianggap kurang perharian, cemburu, dan karena stres. Begitu pula Lihat saja ketika masalah yang berkait dengan pengangkatan rektor baru mahasiswa ada yang tidak setuju dan marah. Kalah suara dalam pemilihan mulai dari tingkat kepala desa sampai daerah dan nasional juga ada sebagian masyarakat yang marah. Kerusuhan anarkis pun merupakan ekspresi dari kemarahan. Penggusuran tempat-tempat PKL pasti disertai dengan kemarahan.

         Nah di tingkat elit politik pun demikian. Bukan saja protes sana sini tentang masalah ketidakbecusan penyelenggaraan pemilu dan pilbup/pilwalikota tetapi juga dalam hal kecurangan dan manipulasi suara. Bahkan bukan itu saja coba kita lihat dalam tontonan rapat-rapat Pansus Angket Bank Century. Teriakan-teriakan seru antaranggota dan pimpinan rapat dengan anggota sudah menjadi konsumsi politik keseharian. Belum lagi ada yang ngambek sambil ngancam untuk mundur dari koalisi sudah menjadi berita dan tontonan harian. Pasalnya marah karena tidak menyetujui kebijakan salah satu partai,dsb. Ujung-ujungnya ngancam untuk diadakannya kocok ulang cabinet.

           Marah merupakan fenomena emosi dari seseorang atau kelompok masyarakat karena ekspektasinya tidak dipenuhi oleh orang atau intansi tertentu. Kekecewaan karena tidak tercapainya ekspektasi adalah wajar. Namun ketika diikuti dengan kemarahan maka itulah yang menjadi pertanyaan besar. Bagaimana suatu bangsa bisa menjadi besar ketika ketidakdewasaan para elit politiknya dicerminkan dengan perilaku gampang mutung, ngambek, dan marah disertai mengancam. Kalau begitu apakah mutu SDM para elit politik cuma sebatas itu?. Padahal bukankah jalan keluar dari kekecewaan bisa dilalui dengan jalur introspeksi diri, mengelola diri, musyawarah dan hukum?. Saya percaya di antara kita masih banyak yang tergolong mampu menahan amarah murka.