Hukum


 

       Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.

     Tuntutan pelayanan publik meningkat semakin meningkatnya pembangunan sosial ekonomi. Kuantitas dan kualitas serta posisi dan peran aparatur sangat strategis Namun dalam prakteknya masih ditemukan beragam permasalahan. Rendahnya kualitas pelayanan publik akibat dari pemahaman aparatur ttg kebijakan,pedoman,ketentuan, dan rendahnya moral aparatur. Korupsi terjadi di segala lini dan mewabah.Pelayanan publik akan membentuk citra tentang kinerja birokrasi. Kesalahan-kesalahan pelayanan publik yg mengarah tindakan korupsi.

         Selain itu ada kecenderungan belum optimalnya pelayanan publik yang dicirikan dengan sikap para pelayan publik. Misalnya sikap apatis dan dingin, menolak berurusan, memandang rendah publik, bekerja secara mekanis, ketat pada prosedur, senang bermain “pingpong”. Hal-hal demikian tidak bisa dibiarkan. Karena itu kualitas pelayanan publik perlu ditingkatkan. Fenomena korupsi di kalangan aparatur birokrasi harus diperangi.

       Untuk itu kepekaan etika para aparatur yang tinggi sangat dibutuhkan dalam rangka pelayanan prima kepada masyarakat . Aparatur sudah menerima imbalan maka wajib melayani publik dengan prima. Ini sesuai landasan normatif yg tercantum dalam UU Pokok Kepegawaian bahwa aparatur negara adalah abdi masyarakat. Diharapkan keberhasilan pelaksanaan pelayanan pada publik merupakan fungsi dari moral-etika,sikap dan tindakan aparatur yg profesional.

 

      Faktor penyebab yang sangat utama mewabahnya korupsi adalah perilaku manusianya. Sementara dua faktor ekonomi dan hukum hanyalah sebagai unsur pendorong. Perilaku individu sangat terkait dengan proses dan output pendidikan.

       Sistem pendidikan informal dalam keluarga dan masyarakat, dan pendidikan formal dalam ruang kelas selama ini sangat kurang menciptakan individu manusia yang memiliki kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial yang tinggi seperti jiwa beriman dan takut pada adzab Tuhan yang pedih, bersih, jujur, berinisiatif, kerja keras dan cerdas, kebersamaan, dan tanggungjawab

         Selama ini institusi pendidikan begitu mendambakan dan asyik berwacana dalam membentuk lulusan yang cerdas intelektual. Padahal tidak sedikit korupsi dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Dengan kata lain hubungan negatif antara faktor faktor pendidikan dengan perilaku korupsi tidaklah selalu mutlak terjadi. Berati ada faktor keteladanan dari para pemimpin atau pejabat yang sangat kurang.

        Selain itu peran pemimpin masyarakat cenderung tidak signifikan dalam memberikan keteladanan berperilaku yang baik. Bahkan sering sebaliknya, yakni membangun konsumerisme. Untuk itu perlu  dilakukan sosialisasi, internalisasi, dan tindakan memerangi korupsi dengan nyata. Utamanya agar muncul sifat anti korupsi dan perilaku hemat dan sederhana sebagai suatu gerakan.

 

         Para ahli ilmu sosial menggunakan istilah pendidikan politik untuk menunjukkan cara bagaimana anak-anak sebagai generasi muda diperkenalkan pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, serta bagaimana mereka mempelajari peranan-peranan yang akan dilakukan di masa mendatang jika kelak sudah dewasa (Sukemi, 2004). Selanjutnya pendidikan politik di Indonesia adalah pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan kesadaran politik yang tinggi bagi warganegara, sehingga mereka sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kesadaran untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu mata pelajaran Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kelompok mata pelajaran yang memiliki misi seperti itu.

         Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa pendidikan politik di Indonesia menjadi sangat penting. Yang pertama perlunya pengembangan partisipasi politik dan yang kedua adalah maraknya konflik sosial dengan kekerasan. Menurut Budiardjo (2003), Huntington dan Nelson (2001) dalam Sukemi (2004), pengertian partisipasi politik mencakup: (a) kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tindakan politik, (b) dilakukan oleh warganegara biasa dan bukan oleh pejabat pemerintah, (c) dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, (d) semua kegiatan untuk mempengaruhi pemerintah terlepas tindakan itu efektif atau tidak, dan berhasil atau gagal, (e) dilakukan secara langsung oleh pelakunya sendiri maupun secara tidak langsung melalui perantara.

        Milbrarth dan Goel (1997) dalam Sukemi (2004) membedakan partisipasi politik menjadi empat kategori, yaitu (a) apatis, artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik, (b) spektator, artinya orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum, (c) gladiator, yakni mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, seperti aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat, dan (d) pengritik, yaitu partisipasi dalam bentuk non-konvensional. Di Indonesia partisipasi politik seperti dalam pemilihan umum relatif cukup tinggi. Memang ada yang apatis yang menamakan dirinya golongan putih atau golput. Golongan ini jumlahnya bervariasi antara satu pemilihan umum ke pemipihan umum lainnya. Selain itu partisipasi politik diujudkan dalam proses mengkritisi kebijakan pemerintah, dialog politik, dan membuat artikel-artikel tentang politik arti luas.

          Alasan lain pentingnya pendidikan politik adalah karena maraknya konflik sosial dengan kekerasan. Tindakan-tindakan anarkis berupa anarkis lembek (kekerasan nonfisik) dan keras (kekerasan fisik) merupakan sinyal berbahaya dalam kehidupan sosial, politik dan keamanan bahkan keutuhan bangsa. Kekerasan yang paling berbahaya ketika konflik memang direkayasa demi pencapaian tujuan dan kepentingan politik tertentu. Kondisi demikian seolah didukung oleh system social dan politik yang mendapat legitimasi dari sistem nilai dan ideologi tertentu. Misalnya konflik dengan kekerasan yang memang dirancang oleh pihak penguasa otoriter. Para korbannya adalah kaum minoritas dan pihak oposisi.

        Konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat merupakan fungsi dari faktor pemahaman tentang hak-haknya dalam pengambilan keputusan politik. Rendahnya tingkat pendidikan khususnya pendidikan politik dan etika politik dapat memicu munculnya perilaku kekerasan. Apalagi karena komunikasi politik mengalami hambatan. Mereka gampang sekali diajak untuk terlibat dalam konflik padahal mereka tidak tahu persis duduk persoalan yang sebenarnya. Mereka juga mudah diprovokasi untuk melawan setiap golongan yang dianggap musuhnya. Karena itu setiap warganegara seharusnya memeroleh pendidikan politik termasuk etika politik khususnya etika sebagai warganegara yang taat hukum.

        Apter (1985), Almond (1991), Rush dan Althof (1998), Surbakti (1999), dalam Sukemi (2004), berpendapat, pendidikan politik yang dapat membentuk sikap dan perilaku politik warganegara dapat dilaksanakan melalui lembaga-lembaga berikut : (1) keluarga, (2) lembaga pendidikan, (3) teman sebaya/sepergaulan/sepermainan/seprofesi (peergroup), (4) media massa, dan (5) organisasi politik.

. Daftar Pustaka

.
Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Huntington, Samuel P. dan Nelson, John. 2001. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rineka Cipta.

Sukemi, BM. 2004. Sikap dan Perilaku Politik Anggota badan Legislatif Daerah ditinjau dari Sosialisasi Politik. Disertasi. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana UGM

Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

        Maraknya konflik sosial dengan tindakan-tindakan anarkis berupa anarkis lembek (kekerasan nonfisik) dan keras (kekerasan fisik) merupakan sinyal berbahaya dalam kehidupan sosial, politik dan keamanan bahkan keutuhan bangsa. Kekerasan yang paling berbahaya ketika konflik memang direkayasa demi pencapaian tujuan dan kepentingan politik tertentu. Kondisi demikian seolah didukung oleh sistem sosial dan politik yang mendapat legitimasi dari sistem nilai dan ideologi tertentu. Misalnya konflik dengan kekerasan yang memang dirancang oleh pihak penguasa otoriter. Para korbannya adalah kaum minoritas dan pihak oposisi.

        Konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat merupakan fungsi dari faktor pemahaman tentang hak-haknya dalam pengambilan keputusan politik. Rendahnya tingkat pendidikan khususnya pendidikan politik dan etika politik dapat memicu munculnya perilaku kekerasan. Apalagi karena komunikasi politik mengalami hambatan.

        Mereka gampang sekali diajak untuk terlibat dalam konflik padahal mereka tidak tahu persis duduk persoalan yang sebenarnya. Mereka juga mudah diprovokasi untuk melawan setiap golongan yang dianggap musuhnya. Karena itu setiap warganegara seharusnya memeroleh pendidikan politik termasuk etika politik khususnya etika sebagai warganegara yang taat hukum.

          Pendidikan dan etika politik termasuk pemahaman tentang hak asasi manusia yang dapat membentuk sikap dan perilaku politik warganegara dapat dilaksanakan melalui lembaga-lembaga berikut : (1) keluarga sebagai ujung tombak pendidikan di tingkat arus bawah, (2) lembaga pendidikan yang mengembangkan pengetahuan, dan sikap berpolitik secara santun, (3) teman sebaya/sepergaulan/sepermainan/seprofesi (peergroup), (4) media massa dengan misi pendidikannya, dan (5) organisasi politik dalam memabngun kesadaran berpolitik tanpa harus menimbulkan konflik sesame warga bangsa sendiri.

 

         Adakah beda antara kemiskinan absolut dan kemiskinan nurani? Beda dua bentuk kemiskinan itu sangat signifikan. Kemiskinan absolut disebabkan minimnya, bahkan nol, akses sumberdaya fisik dan non-fisik yang dimiliki seseorang untuk berusaha. Yang dimiliki tinggal tenaganya saja. Akibatnya kebutuhan hidup walau minimum tidak terpenuhi secara cukup. Sementara kemiskinan nurani tidak selalu sejalan dengan kemiskinan absolut. Artinya bisa jadi secara fisik seseorang kaya harta atau berstatus sosial relatif tinggi tetapi ternyata miskin nurani. Lebih tegasnya kemiskinan nurani ditunjukkan dengan kurangnya kepekaan dalam bentuk kepeduliaan dari seseorang atau sekelompok orang akan keadaan lingkungan masyarakat yang tertinggal.

          Sebaliknya mereka yang tergolong miskin harta bisa jadi kaya akan nurani. Saya sering meneteskan air mata ketika melihat acara serial khusus di salah satu saluran televisi dimana ada seseorang yang termasuk golongan tidak kaya, hidup pas-pasan, ternyata secara ikhlas mau menolong mereka yang membutuhkan bantuannya. Ada yang membantu dalam bentuk uang seadanya, pakaian, makanan, tenaga dan bahkan ada yang mendonorkan darahnya untuk membantu seseorang yang akan dioperasi. Ternyata di dalam nuraninya tersimpan mutiara hati kepedulian untuk merasakan penderitaan orang lain. Itulah suatu miniatur sosial si miskin harta tapi kaya nurani. Namun yang jelas ada juga seseorang yang kaya harta dan sekaligus kaya nurani. Subhanallah.

         Ketika beberapa hari lalu tersiar berita ada anggota DPR yang jadi tersangka lagi karena kasus suap untuk suatu proyek tertentu, saya hanya mengurut dada. Betapa begitu galaunya hati ketika kemiskinan masih merajalela namun di sudut sana ada individu yang miskin nurani. Mudahnya keputusan untuk berbuat moral hazard seakan tak ada lagi kisi-kisi norma etika berkehidupan sosial. Solidaritas sosial dikorbankan demi kepentingan individu.

         Bandingkan dengan fenomena ini yakni kalau DPR sedang membahas adanya berbagai fasilitas mewah DPR. Pasti mereka tersenyum simpul dan mengiakan. Mengapa mereka begitu teganya menutup mata-telinga dan hati ditengah-tengah penderitaan rakyat? Dimanakah kekayaan nurani mereka yang mengaku dirinya wakil rakyat? Kemana bersembunyinya hati nurani mereka yang tergolong lantang sering mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini?

 

       Politik di tempat kerja? Apakah artinya ada kegiatan partai politik? Bukan itu yang dimaksud. Bukan bicara urusan sistem pemerintahan dan kenegaraan yang ada pengaruhnya terhadap perusahaan. Dan juga bukan bicara sistem kekuasaan parlemen. Politik disini (tempat kerja) lebih pada bagaimana kekuasaan bisa diraih oleh individu tertentu lewat penanaman pengaruh di kalangan kolega atau karyawan. Kekuasaan dimaksud seperti dalam hal memiliki dan mempertahankan posisi tertentu, mengatur suatu kebijakan normatif dan operasional, dan kekuasaan untuk melakukan hubungan vertikal dengan bos.

        Mereka yang terlibat dalam kancah ”politik” tersebut sering dikelompokkan sebagai orang yang dalam bekerjanya mengandalkan pada kekuatan kekuasaan (politik). Namun ketika kekuasaannya bisa diraih maka belum tentu mau berhubungan dengan para pendukungnya. Dengan kata lain lupa dan melupakan. Orang seperti ini bersifat plin-plan, oportunis, mengerjakan sesuatu yang menguntungkan dirinya, dan kurang mempertimbangkan kepentingan lingkungan kerja, teman-teman sejawat, karyawan, dan juga perusahaan. Lalu apa bedanya dengan orang yang bukan ”politikus” yakni yang lebih tekun pada proses produksi?

       Menurut John C.Maxwell (The 360 degree Leader; 2005), orang-orang yang mengandalkan pada pertumbuhan produksi dicirikan oleh kebergantungan pada bagaimana mereka berkembang; fokus pada apa yang mereka kerjakan; senang menjadi karyawan yang berkinerja dengan lebih baik ketimbang pada tampilan; mengerjakan hal-hal yang pokok; bekerja untuk pengabdian; berkembang secara bertahap; dan keputusan berbasis prinsip-prinsip tertentu. Sementara, mereka yang tergolong orang-orang ”politikus” dicirikan oleh; kebergantungan pada siapa yang mereka tahu tentang dirinya; fokus pada apa yang mereka katakan; tampilan dinilai lebih hebat ketimbang kinerja; mengerjakan sesuatu untuk meraih popularitas; berharap untuk diberikan posisi yang lebih tinggi secara instan dan di luar kompetensinya; dan keputusan yang diambil berbasis pada opini.

       Dalam prakteknya ada orang-orang tertentu yang begitu bergantung pada sang atasan. Biasanya mereka tergolong pada posisi lingkaran dalam. Semacam klik orang-orang dekat dengan atasan. Setiap individu dalam lingkungan ini cenderung berkarakter penjilat. Bahkan siap untuk membela mati-matian kebijakan sang atasan. Kalau perlu jadi ”tukang pukul”. Tentunya karena sifatnya yang oportunis, mereka berharap mendapat imbalan posisi tertentu. Kalau dipenuhi atasan mereka tentunya semakin gembira dan dekat dengan sifat angkuh. Tetapi dalam prakteknya bisa jadi muncul fenomena yang berlawanan. Mereka akan dendam kesumat ketika mereka tidak mendapat posisi yang dikehendaki. Padahal selama itu mereka sudah berupaya selalu dekat dengan atasan. Nah, ketika itulah yang dilakukan sebagian dari mereka yang bernasib ”runyam” akan menjelek-jelekan atasan mereka. Bertebaranlah gosip kemana-mana untuk menunjukan kejengkelan pada sang bos. Lalu apa yang perlu dilakukan agar lingkungan kerja yang nyaman tidak terganggu?

        Politik di perusahaan tidak mungkin dihilangkan. Sejauh tiap manusia memiliki ambisi pada kekuasaan maka disitu nempel sifat untuk mecari dukungan pengaruh. Karena itu yang bisa dilakukan adalah meminimumkan pengaruh politik terhadap lingkungan kerja. Pemimpin perusahaan, dalam hal ini manajemen puncak harus terus melakukan sosialisasi dan internalisasi tentang budaya korporat dimana didalamnya antara lain ada sistim nilai kerjasama, integritas kepribadian, efisiensi, kegigihan, akuntabilitas, dan keterbukaan.

 

         Sudah cukup lama kita disuguhi tontonan di televisi dan bacaan di media cetak tentang kemarahan. Apakah itu terjadi pada individu ataukah masyarakat. Dari sisi individu terlihat bagaimana sang suami marah-marah dan menganiaya isterinya karena dianggap kurang perharian, cemburu, dan karena stres. Begitu pula Lihat saja ketika masalah yang berkait dengan pengangkatan rektor baru mahasiswa ada yang tidak setuju dan marah. Kalah suara dalam pemilihan mulai dari tingkat kepala desa sampai daerah dan nasional juga ada sebagian masyarakat yang marah. Kerusuhan anarkis pun merupakan ekspresi dari kemarahan. Penggusuran tempat-tempat PKL pasti disertai dengan kemarahan.

         Nah di tingkat elit politik pun demikian. Bukan saja protes sana sini tentang masalah ketidakbecusan penyelenggaraan pemilu dan pilbup/pilwalikota tetapi juga dalam hal kecurangan dan manipulasi suara. Bahkan bukan itu saja coba kita lihat dalam tontonan rapat-rapat Pansus Angket Bank Century. Teriakan-teriakan seru antaranggota dan pimpinan rapat dengan anggota sudah menjadi konsumsi politik keseharian. Belum lagi ada yang ngambek sambil ngancam untuk mundur dari koalisi sudah menjadi berita dan tontonan harian. Pasalnya marah karena tidak menyetujui kebijakan salah satu partai,dsb. Ujung-ujungnya ngancam untuk diadakannya kocok ulang cabinet.

           Marah merupakan fenomena emosi dari seseorang atau kelompok masyarakat karena ekspektasinya tidak dipenuhi oleh orang atau intansi tertentu. Kekecewaan karena tidak tercapainya ekspektasi adalah wajar. Namun ketika diikuti dengan kemarahan maka itulah yang menjadi pertanyaan besar. Bagaimana suatu bangsa bisa menjadi besar ketika ketidakdewasaan para elit politiknya dicerminkan dengan perilaku gampang mutung, ngambek, dan marah disertai mengancam. Kalau begitu apakah mutu SDM para elit politik cuma sebatas itu?. Padahal bukankah jalan keluar dari kekecewaan bisa dilalui dengan jalur introspeksi diri, mengelola diri, musyawarah dan hukum?. Saya percaya di antara kita masih banyak yang tergolong mampu menahan amarah murka.

Laman Berikutnya »