Maret 2009


Mungkin tanpa disadari dalam keseharian hidup kita sebenarnya berada dalam proses pembelajaran. Setiap kejadian yang menimpa kita dan orang lain merupakan pengalaman hidup. Idealnya, kalau yang memiliki daya kritis, setiap kejadian akan mendorong dirinya untuk bertanya. Antara lain dalam bentuk “apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa itu sampai terjadi? Apa akibat-akibat yang timbul pada diri sendiri dan lingkungan? Bagaimana mengatasi masalahnya?”, dst. Semua rangkaian pertanyaan dan informasi yang dihasilkan serta tindakan-tindakan yang berkait dengan itu merupakan ciri pembelajaran dari seseorang. Istilah filosofinya, ”pengalaman adalah guru terbaik…….belajarlah dari pengalaman”. Namun belum tentu semua orang berperilaku seperti itu.  Dengan kata lain tidak peduli pada apa yang telah dialaminya. Tidak ada dorongan untuk menelaahnya. Lalu apakah itu bisa juga terjadi pada suatu perusahaan?

 

Sebagai organisasi, perusahaan terdiri dari kumpulan orang yang bekerjasama secara teratur dan terencana di bawah koordinasi seorang pemimpin untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti juga individu manusia, perusahaan pun belum tentu semuanya sebagai organisasi pembelajaran (learning organization). Ada perusahaan yang aktifitasnya hanya sebatas rutin saja. Sementara perusahaan lain beraktifitas tidak sekedar berorientasi rutin tetapi juga pada pengembangan. Yakni seperti yang diungkap Peter Senge, bahwa organisasi pembelajaran merupakan ”The Bottom Line:  Any organization that has a culture and structure that promotes learning at all levels to enhance its capabilities to produce, adapt and shape its future”. Batasan itu bisa juga disetarakan sebagai prinsip dasar bagaimana suatu organisasi pembelajaran dapat dibentuk dan dikembangkan.

 

Dalam hal ini organisasi pembelajaran ditunjukan oleh adanya individu-individu yang memiliki ciri-ciri: upaya untuk memperkuat kepribadian yang obyektif, meneliti dengan cermat asumsi-asumsi dan gambaran dunia bisnis, menciptakan gambaran masa depan yang baru, menciptakan kapasitas untuk berpikir bersama dalam suatu tim, dan berpikir secara sistem sehingga terjadi interelasi antara pengetahuan dan alat pencapai tujuan. Dengan demikian dalam organisasi pembelajaran terjadi proses pemberian kesempatan kepada setiap karyawan untuk belajar secara bersinambung. Pembelajaran itu dimaksudkan untuk digunakan dalam mencapai tujuan individu dan organisasi. Karena itu ada keterkaitan antara tujuan atau kinerja individu dengan kinerja perusahaan. Semuanya diperkuat dengan adanya proses berbagi informasi dan tugas, dan kalau toh ada perbedaan-perbedaan justru dimanfaatkan untuk mengembangkan kreatifitas.

 

Bagaimana mewujudkan perusahaan sebagai organisasi pembelajaran? Langkah-langkah yang bisa diterapkan antara lain meliputi:

(1).      Tidak mungkin organisasi pembelajaran akan terbentuk kalau tidak ada dukungan manajemen puncak. Karena itu manajemen puncak harus mengembangkan budaya organisasi di kalangan manajemen dan karyawannya. Dan ini tercermin dari sosialisasi dan internalisasi tentang visi, misi, tujuan, dan strategi-kebijakan perusahaan. Pembudayaan antara lain dalam aspek-aspek budaya belajar, budaya mutu kinerja, budaya komitmen, dan budaya akuntabilitas harus sudah dimulai sejak tahap proses rekrutmen karyawan baru.

(2).     Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia berbasis kompetensi menjadi hal yang sangat pokok dalam pembentukan dan pengembangan organisasi pembelajaran. Pelatihan lebih ditekankan pada penguatan domain pengetahuan, sikap dan ketrampilan karyawan. Sementara pengembangan lebih difokuskan pada partisipasi dan otonomi dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Dengan kapabilitasnya, karyawan diharapkan selalu siap berinovasi dan beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi.

(3).     Pengembangan umpan balik di semua lini. Proses ini terjadi pada tataran horisontal sesama rekan kerja. Dan vertikal antara atasan dan subordinasi dan sebaliknya. Umpan balik ini merupakan salah satu sisi pembelajaran kontinyu yang utamanya ditujukan untuk memperkuat   daya kritis dan kreatifitas karyawan dalam memberikan masukan yang berharga bagi pengembangan organisasi. Disinilah para karyawan diajak berperanserta secara aktif dalam mengevaluasi dan merumuskan program dan indikator kinerja perusahaan berikut aspek-aspeknya.

(4).     Penyediaan dan pengembangan sistem informasi dan manajemen mulai dari subsistem pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan pelaporan, penyimpanan,  serta penyebarluasan laporan ke seluruh unit organisasi. Sistem ini sangat berguna untuk mengembangkan beragam pemikiran atau gagasan-gagasan inovasi baik bersifat lunak maupun keras dalam suatu perencanaan strategis. Dengan demikian sumberdaya perusahaan (manusia, sistem, dan fisik) dapat terus dikembangkan dalam suatu proses pembelajaran secara berkelanjutan.

 

Suatu perusahaan yang tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar organisasi pembelajaran sama saja mengabaikan berbagai pengaruh eksternal dan pentingnya suatu organisasi memperkuat dirinya.  Berarti pula perusahaan tidak mendorong terjadinya pengembangan komitmen dan kapasitas karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan. Padahal suatu organisasi pembelajaran yang  memiliki daya saing tinggi dicirikan oleh sumberdaya manusia yang unggul dan terus dikembangkan secara terencana. Dan ini ada kaitannya dengan kebutuhan perusahaan untuk mengembangkan dirinya sebagai organisasi pembelajaran karena dunia bisnis sudah semakin mengglobal yakni kompleks, dinamis, dan kompetitif.

 

Sebagaimana diketahui karyawan memiliki karakteristik yang unik ketimbang sumberdaya lainnya. Karyawan sebagai aset perusahaan memiliki akal sehat,  emosi, intuisi, dan kepribadian yang aktif. Selain itu keunikan tersebut juga dicerminkan oleh bentuk kekuatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan  tertentu dalam bekerja. Dengan asumsi setiap perusahaan memiliki manajemen strategis maka faktor utama yang dipertimbangkan ketika perencanaan bisnis dibuat adalah kekuatan karyawan dalam hal sumberdaya manusianya. Karena itu dikenal ada turunan dari manajemen strategis yakni manajemen sumberdaya manusia strategis. Yakni suatu manajemen yang berfokus pada upaya mengoptimumkan sumberdya manusia karyawan dengan mempertimbangkan faktor-faktor internal dan eksternal perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan dan karyawan.

 

Perusahaan yang maju  dicerminkan oleh kepemimpinan yang berorientasi pada kekuatan karyawan. Model gaya  kepemimpinan ini memfokuskan pada tiga hal yakni (1) menginvestasikan kekuatan karyawan dalam jangka panjang misalnya melalui memberi kesempatan karyawan untuk berkembang, (2) dekat dan dikelilingi oleh tim kerja yang efektif, misalnya memaksimumkan kekuatan timnya dan mempelajari elemen-elemen yang membangun keunggulan tim. dan (3) memanfaatkan dan memaksimumkan  kebutuhan para karyawannya (kepercayaan, perasaan simpati, stabilitas, dan harapan).

 

Untuk membuktikan seberapa jauh efektivitas dari investasi kekuatan individu terhadap outcomenya, para peneliti dari University Florida telah melakukan studi panjang 25 tahun (Tom Rath dan Barry Conchie, 2008, Strengths based Leadership). Studi evaluasi diri telah dilakukan terhadap 7.600 responden (pria da n wanita) yang usianya berkisar antara 14 dan 22 tahun yang dilakukan pada tahun 1979. Responden terus diamati selama 25 tahun dimana pada tahun 2004 dikaji tentang keberhasilan karir, status pekerjaan, pendidikan, dan kesehatannya. Penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri seseorang semakin tinggi tingkat pendapatan dan karirnya setelah kurun waktu 25 tahun. Koefisien percepatannya jauh lebih tinggi ketimbang mereka yang kepercayaan dirinya lebih rendah. Dengan kata lain jurang perbedaan keberhasilan ke dua kelompok itu dari tahun ke tahun semakin lebar.

 

Disamping ada pengaruhnya terhadap pendapatan dan karir, ternyata investasi berpengaruh pula terhadap tingkat kesehatan individu selama bekerja. Penelitian menunjukan bahwa mereka yang tergolong karyawan yang lebih rendah kepercayaan dirinya mengalami permasalahan kesehatan tiga kali lipat dibanding dengan yang punya kepercayaan diri lebih tinggi. Dapat disimpulkan semakin intensif investasi yang dilakukan semakin tinggi kualitas SDM dan kinerja seseorang.

 

Dari hasil studi diatas maka mereka yang sadar akan kekuatannya dan membangun kepercayaan diri ketika berusia muda akan menghasilkan keunggulan komulatif sepanjang hidupnya. Hasil analisis sementara yang dilakukan para peneliti Gallup dengan studi longitudinal yang sama dengan yang dilakukan peneliti Universitas Florida cenderung menunjukkan hasil yang sama. Mereka yang berusia antara 15-23  tahun dan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan kekuatannya maka ketika 25 tahun kemudian ternyata memiliki kepuasan karir dan pendapatan yang lebih tinggi.

 

Implikasi dari temuan di atas adalah betapa pentingnya seorang pemimpin dalam perusahaan menginvestasi kekuatan karyawannya. Seandainya para pemimpin mampu membantu setiap karyawan dengan pengembangan kapasitas individunya dalam jangka panjang maka diduga kuat akan meningkatkan keunggulan komulatif karyawan dan perusahaan lebih cepat. Program pemberdayaan dan partisipasi karyawan dalam konteks pengembangan SDM menjadi kunci keberhasilan proses investasi kekuatan karyawan dan kinerja organisasi jangka panjang.

 

Tepat jam 20.30 hari ini, selama satu jam, semua lampu di rumah saya dimatikan. Termasuk saya menghimbau penghuni rumah kosan yang saya kelola di beberapa tempat juga mematikan lampu. Lalu saya mencoba melihat sekeliling rumah untuk melihat apakah melakukan hal yang sama. Apa yang terjadi? Hanya beberapa gelintir saja penghuni rumah yang mematikan lampunya. Sebagian lainnya, apakah itu rumah, warung, dan restoran,  tetap saja terang benderang. Begitu pula  lampu jalan. Lalu saya kirim sms ke beberapa teman di beberapa lokasi untuk menanyakan kondisi earth hour. Kata mereka sama saja, sebagian terbesar tidak mematikan lampu. Mungkin sebagian dari mereka ada yang  tidak mengetahui, kurang memahami, dan kurang peduli terhadap himbauan.

 

Himbauan sebenarnya merupakan langkah yang diposisikan sebagai membangun kesadaran diri. Dalam konsep pengembangan diri, kesadaran diri ditempatkan sebagai suatu kecerdasan sekaligus sikap. Yakni bagaimana dengan kesadaran diri sebagai langkah pertama dan utama, seseorang mampu mengelola dirinya secara optimum. Kesadaran diri merupakan  suatu sikap positip yang kemudian diterjemahkan dalam keseharian perbuatan nyata. Kalau kesadaran diri hanya mengandalkan pada himbauan namun tidak mempan; lalu apakah perlu pilihan tindakan lain?

 

Dalam prakteknya karena bersifat himbauan maka tidak ada resiko hukuman bagi mereka yang tidak memenuhinya. Sementara paksaan lebih pada kewajiban. Kalau dilanggar maka hukum akan berbicara. Pada konteks siklus tingkat kedewasaan masyarakat maka bagi mereka yang masih belum dewasa maka instruksi atau “paksaan” menjadi alatnya. Atau demi kepentingan khalayak yang lebih luas maka paksaan juga akan menjadi alat yang lebih ampuh ketimbang hanya himbauan.

 

Masih ingat tentang Perda yang menyangkut larangan merokok  di beberapa lokasi di Jakarta? Maka mereka yang melanggarnya dikenai hukuman. Begitu juga yang terjadi di Singapura yang dikenal masyarakatnya berperilaku disiplin. Sementara suatu masyarakat yang tingkat kesadaran dalam berkehidupan sosialnya tinggi maka setiap ada kebijakan cukup hanya dengan himbauan. Kembali dengan fenomena  earth hour ini, ternyata himbauan (via koran, radio, televisi, dan internet) kurang memiliki pengaruh dalam menciptakan kepatuhan. Lain lagi kalau itu sebagai suatu paksaan. Maka  kekuatan himbauan diduga tidak sekuat dengan instruksi bahkan paksaan. Kalau seperti itu apakah bangsa kita termasuk bangsa paksaan?

 

Situ Gintung, Cirendeu Tanggerang Banten, dikenal sebagai wilayah serapan. Tempat rekreasi yang elok ceria. Disitu biasanya banyak khlayak yang memanfaatkan waktu senggang  untuk tempat piknik. Sekedar untuk melepas lelah,  mancing dan berteduh di sekitarnya. Namun Jumat subuh kemarin tiba-tiba saja sang situ yang berfungsi sebagai pengendali berubah menjadi penyebab banjir. Pasalnya karena daya tampung situ akibat hujan yang deras selama tiga hari tak tahan lagi. Lalu jebol meluluh lantahkan ratusan bangunan rumah dan hingga kini tidak kurang dari 57 nyawa hilang. Belum lagi lebih dari tiga puluhan yang hilang.

 

Fenomena bencana alam Situ Gintung bukanlah hal yang pertama kali terjadi di bumi Indonesia tercinta. Banjir badang dan longsor sudah menjadi kejadian rutin. Lingkungan yang tidak tertata tampaknya  semakin mengindikasikan merapuhnya bumi. Bumi sudah semakin terancam gara-gara eksploitasi sumberdaya alam yang semakin tak terkendali seperti perambahan liar hasil hutan, terumbu karang, dan pertambangan. Di daerah kota pun seperti Situ Gintung, tata ruang sudah tidak berlaku lagi. Yang ada cuma kekuasaan berlambang materi atau uang untuk melawan daya dukung lingkungan. Kualitas lahan, air dan udara semakin memprihatinkan karena ulah manusia yang tamak alias rakus. Padahal Allah berfirman: Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al-Hijr; 85).

 

Dari sisi politik, keseriusan  pemerintah untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berwawasan kelestarian lingkungan seharusnya semakin difokuskan. Tidak parsial. Artinya, pada  pembangunan tiap sektor seharusnya  konsep bumi sehat  dan asri menjadi bagian tak terpisahkan. Indonesia sangat berkepentingan dalam menyelamatkan bumi. Diperkirakan seluas 65 juta hektar (43%) lahan subur sejak era orde baru telah menjadi lahan kritis (Ivana A Hadar, Kompas, 22 April 2006). Kalau tidak segera dibenahi serius dapatlah dibayangkan bahwa bumi Indonesia akan semakin parah. Tidak ada lagi ruang teduh untuk bernaung. Tidak ada lagi ruang untuk bernapas segar. Tidak ada lagi  air sebagai sumber kehidupan.

Suatu ketika tidak ada lagi sisa-sisa bumi yang bersih dan lestari untuk diwariskan pada anak cucu bangsa. Lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karangan Ismail Marzuki…Indonesia yang indah permai…cuma sekedar impian; jauh dari kenyataan. Karena itu sangat dianjurkan untuk waspada terhadap bencana yang dikarenakan ulah manusia itu sendiri. Maka mereka kembali dengan ni’mat dan karunia  dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah.  Dan Allah mempunyai karunia yang besar (Ali Imran; 174).  Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga arwah korban bencana diterima di sisi Allah swt . Amiin. 

Kampanye pemilu anggota legislatif di Indonesia sedang digelar. Apalagi tujuannya kalau bukan kursi di parlemen yang akan diraih.Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan ini banyak diwarnai oleh orang-orang yang senang dengan kedudukan atau jabatan. Bahkan tidak jarang pula yang mabuk tahta. Dan sambil merayu meminta kedudukan atau jabatan. Yang lebih repot lagi dalam keadaan apa pun  dia bersikap arogan. Merasa dirinya paling pintar dan benar, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Tetapi lucu jadinya di mata orang yang mengerti. Atau orang itu memang senang melucu. Berikut kisah Nasrudin.

 

Dalam sebuah pertemuan para Sufi, Nasrudin duduk di deretan paling belakang. Setelah itu ia mulai melucu, dan segera saja orang-orang berkumpul mengelilinginya, mendengar dan tertawa. Tak seorang pun yang memperhatikan Sufi tua yang sedang mencari pelajaran. Ketika pembicara tak bisa lagi mendengar suaranya sendiri, ia pun berteriak: “Kalian semua harus diam! Tak seorang pun boleh bicara sampai ia duduk di tempat pemimpin duduk.” “Aku tidak tahu bagaimana caramu melihat hal itu,” kata Nasrudin, “tapi bagiku, jelas aku duduk di tempat pemimpin duduk.”(20 Februari 2004 Republika Online).

 

Saya teringat ada satu iklan yang mengena (beberapa tahun lalu) dengan topik artikel pendek ini yakni “kalau sudah duduk lupa berdiri”. Artinya kalau seseorang sudah memiliki posisi tertentu sering lupa akan sekelilingnya. Lupa akan janji-janjinya ketika sebelum menjadi pejabat atau anggota parlemen. Dan hebatnya mereka sangat enggan untuk berbagi kursi atau jabatan dengan orang lain. Misalnya orang tua yang punya posisi tertentu sangat tidak bersemangat untuk memberi peluang kepada yang muda. Nah karena itulah organisasi sosial politik seharusnya memiliki program kaderisasi dalam menyiapkan generasi mendatang dengan enerji spirit yang lebih maju. Dan tentunya didukung dengan pola penempatan personalia yang dinamik berbasis kompetensi.

 

 

Siang ini saya mendapat sebuah buku berjudul “Strengths Based Leadership” dari Bung Sadikin, bimbingan saya, mahasiswa program doktor manajemen bisnis IPB. Buku setebal 256 halaman terbitan Gallup Press tahun 2008 itu  ditulis oleh Tom Rath dan Barry Conchie; penulis laris. Isi tulisan merupakan hasil studi panjang dalam aspek kepemimpinan yang dilakukan oleh para ilmuwan Gallup. Tidak kurang terhadap sejuta tim kerja dilakukan studi dan kemudian wawancara secara mendalam terhadap lebih dari 20 ribu pemimpin terkenal di dunia. Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap sekitar 10 ribu anggota di seluruh dunia untuk menggali alasan mengapa mereka menilai amat penting menjadi pengikut dari pemimpin dalam kehidupannya.

 

Secara ringkas terdapat tiga temuan penting dari riset yang dilakukan yakni:

(1).      Pemimpin yang paling efektif adalah selalu menginvestasikan sisi kekuatan.

Di tempat kerja, ketika kepemimpinan organisasi gagal untuk fokus pada kekuatan individu, kesempatan karyawan untuk berkembang menjadi kecil (9%). Namun ketika kepemimpinan organisasi berfokus pada kekuatan individu maka kesempatan karyawan untuk berkembang menjadi melonjak pesat (73%). Dengan demikian ketika pemimpin semakin fokus dan investasi pada kekuatan individu akan semakin tinggi kesempatan karyawan untuk berkembang.

 

(2).   Pemimpin yang paling efektif dikelilingi orang-orang yang tepat dan memaksimumkannya.

Para pemimpin tim kerja yang unggul memiliki kekuatan-kekuatan spesifik dalam melaksanakan, memengaruhi, membangun hubungan, dan berpikir strategis. Juga bagaimana CEO memaksimumkan timnya dan mempelajari elemen-elemen yang membangun keunggulan tim.

 

(3).  Pemimpin yang paling efektif memaksimumkan kebutuhan para anggotanya.

Para karyawan mengikuti pemimpinnya karena beberapa alasan. Ada empat kebutuhan dasar karyawan sebagai pengikut yakni kepercayaan, perasaan simpati, stabilitas, dan harapan. Karena itu pemimpin harus mampu memenuhi kebutuhan karyawan semaksimum mungkin.

 

            Kalau kita menginvestasikan sumberdaya finansial dalam dunia bisnis riil atau dalam bentuk tabungan/deposito maka yang diharapkan adalah diperolehnya penghasilan atau nilai tambah. Begitu pula kalau menginvestasikan sumberdaya manusia (SDM) maka yang diharapkan adalah potensi karyawan semakin berkembang. Potensi SDM karyawan yang semakin berkembang maka semakin berkembang pula kinerjanya. Pada gilirannya kinerja perusahaan akan semakin meningkat.

           

Telaahan terhadap isi buku ini sebenarnya bisa dikembangkan kalau melihat dari sisi keragaman sektor usaha, tipe organisasi, siklus organisasi, dan sisi aliansi bisnis internasional. Selain itu juga akan lebih menarik lagi kalau dihubungkan antara lain dengan keragaman manajemen, tipe dan gaya kepemimpinan; budaya perusahaan; dan etika kerja. Dan semua dianalisis kaitannya dengan bagaimana menginvestasikan kekuatan pemimpin dan individu, memaksimumkan tim kerja, dan memahami mengapa para karyawan mau menjadi pengikut sang pemimpin.

 

Bisnis dan politik yang jelas masing-masing ranahnya berbeda. Bisnis berkiprah pada strategi dan kebijakan perusahaan dalam aktifitas ekonomi produksi dan distribusi barang dan jasa. Tujuan utamanya meraih kemampulabaan maksimum. Sementara politik bicara tentang bagaimana meraih dan mengembangkan kekuasaan. Lingkup tujuannya adalah merumuskan kebijakan publik termasuk untuk kepentingan dunia bisnis. Namun keduanya bisa berhubungan satu dengan lainnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

 

Dalam hasil studinya, tentang pemilihan anggota Kongres  Amerika Serikat tahun 2004, Lary M.Bartels, ilmuwan politik dari Princeton University mengatakan bahwa para senator dari partai Demokrat dan Republik terpilih karena didukung oleh pebisnis. Tidak kurang dukungan sektor bisnis mencapai 58.1% dari total sumbangan untuk kampanye. Selebihnya berasal dari kalangan serikat atau organisasi, pengacara, dan lainnya. Jadi tampak bahwa keberhasilan para senator duduk di kursi kongres sangat bergantung pada pendanaan dari perusahaan. Apakah itu semacam belas kasih bagi para politisi? Tidak juga, tetapi ada udang di balik batu. Secara empiris maka bakal terjadi saling bergayut antara dunia bisnis dan politik. Politikus butuh duit dari pengusaha sementara sektor bisnis butuh keputusan-keputusan politik untuk kemajuan bisnisnya. Semacam nagih jasa yang pernah diberikan ke para anggota kongres. Bagaimana di Indonesia?

 

Bisa saja hal di atas terjadi di Indonesia. Begitu banyaknya partai yang ikut bertarung, tahun 2009 ini, ternyata diikuti dengan maraknya dunia bisnis. Yang tampak kasat mata, kebutuhan atribut partai yang semakin besar untuk berkampanye telah semakin terbukanya peluang usaha dan pekerjaan yang baru. Di sisi lain walau masih proposisi, kepentingan dunia politik dan bisnis sama-sama pentingnya. Saya pernah ngobrol dengan dua mantan kepala daerah bahwa hal itu bisa terjadi. Ketika masa kampanye, misalnya mereka terbantu oleh para investor atau pebisnis. Para pebisnis semacam berlomba memberi bantuan dana kampanye kepada partai kandidat kepala daerah. Dan apa yang terjadi setelah terpilih? Ya karena telah memberi bantuan maka tidak segan-segan para pebisnis melakukan loby ke sang kepala daerah. Mereka berharap sang kepala daerah mau membantu membuatkan kebijakan-kebijakan tertentu tentang perbisnisan. Tentunya setelah diuji kelayakannya. Apakah cuma sebatas itu?

 

Ada lagi bentuk lain betapa mesranya hubungan bisnis dan politik. Misalnya, ketokohan seseorang bisa menjadi ladang bisnis. Coba saja kita perhatikan, misalnya fenomena dukung mendukung ke partai tertentu. Bisa saja sebulan lalu setelah didekati parpol tertentu kemudian sang tokoh membuat pernyataan mendukungnya. Namun tiba-tiba  ketika hari ini ada tokoh partai lain datang ke sang tokoh maka munculah dukungan baru. Yakni agar para pengikutnya memilih partai tersebut. Mengapa seperti itu? Bisa jadi karena berkait dengan teori suplai dan permintaan suara dukungan. Siapa yang paling banyak menyetor dana buat sang tokoh maka dialah yang akan menuai dukungan dari sang tokoh. Sebaliknya bagi parpol yang hanya menyetor duit pas-pasan. Kalau begitu apakah sang tokoh dapat digolongkan sebagai oportunis? Wah tanya saja pada rumput yang bergoyang.

Laman Berikutnya »