Kampanye pemilu anggota legislatif di Indonesia sedang digelar. Apalagi tujuannya kalau bukan kursi di parlemen yang akan diraih.Tidak dapat dipungkiri, dalam kehidupan ini banyak diwarnai oleh orang-orang yang senang dengan kedudukan atau jabatan. Bahkan tidak jarang pula yang mabuk tahta. Dan sambil merayu meminta kedudukan atau jabatan. Yang lebih repot lagi dalam keadaan apa pun dia bersikap arogan. Merasa dirinya paling pintar dan benar, padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Tetapi lucu jadinya di mata orang yang mengerti. Atau orang itu memang senang melucu. Berikut kisah Nasrudin.
Dalam sebuah pertemuan para Sufi, Nasrudin duduk di deretan paling belakang. Setelah itu ia mulai melucu, dan segera saja orang-orang berkumpul mengelilinginya, mendengar dan tertawa. Tak seorang pun yang memperhatikan Sufi tua yang sedang mencari pelajaran. Ketika pembicara tak bisa lagi mendengar suaranya sendiri, ia pun berteriak: “Kalian semua harus diam! Tak seorang pun boleh bicara sampai ia duduk di tempat pemimpin duduk.” “Aku tidak tahu bagaimana caramu melihat hal itu,” kata Nasrudin, “tapi bagiku, jelas aku duduk di tempat pemimpin duduk.”(20 Februari 2004 Republika Online).
Saya teringat ada satu iklan yang mengena (beberapa tahun lalu) dengan topik artikel pendek ini yakni “kalau sudah duduk lupa berdiri”. Artinya kalau seseorang sudah memiliki posisi tertentu sering lupa akan sekelilingnya. Lupa akan janji-janjinya ketika sebelum menjadi pejabat atau anggota parlemen. Dan hebatnya mereka sangat enggan untuk berbagi kursi atau jabatan dengan orang lain. Misalnya orang tua yang punya posisi tertentu sangat tidak bersemangat untuk memberi peluang kepada yang muda. Nah karena itulah organisasi sosial politik seharusnya memiliki program kaderisasi dalam menyiapkan generasi mendatang dengan enerji spirit yang lebih maju. Dan tentunya didukung dengan pola penempatan personalia yang dinamik berbasis kompetensi.
Maret 25, 2009 at 11:44 pm
Tetapi memperoleh kedudukan tidak harus dengan cara mencontoh “perilaku” Nasrudin.Tidak santun dan etis.Sebaiknya elegan.Betul sekali dibutuhkan kelegowoan para senior yang sudah bercokol lama (lupa berdiri) untuk memberi peluang kepada yang muda-muda.
Maret 26, 2009 at 4:30 am
Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa penghianatan dan intrik-intrik selalu dominan dilakukan pada setiap regenerasi kepemimpinan. Mulai jaman Ken Arok yang menggulingkan Tunggul Ametung hingga tujuh turunan sesuai kutukan Empu Gandring…….. nuansa tersebut oleh sebagian kalangan dianggap masih terasa hingga sekarang, sehingga “balas dendam” politik lebih kentara dibanding “berbalas budi” meskipun hanya nampak sebagai “berbalas pantun”.
Ken Arok yang dipercaya memangku tanggung jawab bidang politik dan keamanan pada waktu secara diam-diam menyusun rencana untuk mengganti penguasa yang justru memberikan kepercayaan dan mandat penuh kepadanya. Sejarah tersebut merupakan salah satu bagian dari riwayat berdiri dan terkuburnya kerajaan Majapahit.
Maret 26, 2009 at 9:38 am
Kursi dan perilaku yang duduk dalam kursi memiliki korelasi. Semakin empuk kursi semakin sulit orang tersebut untuk pindah.Sebaliknya semakin butut kursi semakin tinggi keinginan seseorang yang mendudukinya untuk melempar kursi jauh-jauh. Bagaimana dengan kursi panas? Pasti ybs akan terus kepanasan penuh dengan permasalahan.Namun orang yang bijak dan memiliki kemampuan beradaptasi dia akan mudah duduk,berdiri, dan pindah dari kursi itu sekalipun memang dia harus lengser.
Maret 27, 2009 at 4:08 am
Lumrah saja prof….. kalau kursi tersebut empuk masih enggan orang beranjak dari kursi tersebut. Tetapi kalau kursi tersebut, kakinya sudah patah atau minimal sudah banyak kutu busuknya pasti orang tersebut bukan saja berdiri tapi bahkan berlari dan meninggalkan kursi tersebut. Pepatahnya kira2 sama dengan “ada gula ada semut”.
Nah… sekarang pertanyaannya adalah bagaimana cara membuat orang agar ia tidak lupa berdiri pada saat ia masih berada di kursi empuk. Apakah ia harus diberi kursi empuk lainnya?? Bagaimanakah caranya agar terjadi solusi yang adil?? Sebab dari segi kemanusiaan, tentu kurang bijaksana jika pepatah “habis manis sepah dibuang” berlaku dalam kasus ini, sebaliknya pepatah “kacang lupa akan kulitnya” (bagi yang menduduki kursi empuk) juga bukan merupakan hal yang baik pula……..
Maret 27, 2009 at 7:37 am
yth bapak Syafri
Ada juga lelucon yang senada dengan tulisan bapak ….Ada berita akan terjadi mutasi seorang pejabat yang kurang tawakal …. berdo’a agar pindahnya di tempat yang basah … ternyata Allah yang maha kaya mengabulkan doanya, dia dipindahkan di tempat yang benar benar basah karena kantor dan rumah nya tiap hujan kebanjiran di kawasan pinggiran Jakarta ha ha ha….. BTW jabatan dan kedudukan biasanya yang sangat mempengaruhi adalah lingkungannya jika lingkungannya orang baik beliau akan sadar akan amanah yang diembannya, jika lingkungannya orang jelek hatinya maka beliau akan terus mempertahankan kedudukannya dengan dukungan dari lingkungan terdekatnya yang sudah ikut menikmati nikmatnya kursi kekuasaan. jawabanya sederhana yaitu ketika menjabat ingat mati, ingat akherat karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas jabatan yang diembannya… dan yang akan menjawab seluruh anggota badannya : hati, mata, telinga, kaki, tangan, dan semuanya akan bersaksi dihadapan sang Khaliq…..Maaf sesuai kuliah bapak mk “Falsafah Sains” tiap jum’at kita harus berkhotbah ha ha ha
Maret 27, 2009 at 8:58 pm
mbak avita….kalau sudah yang namanya rakus….pilihan untuk menduduki kursi bisa beragam cara….termasuk yang bermoral hazard…..legowo?….nah itu seumpama barang yang langka…..jiwa besar telah berubah menjadi besar kepala…..
Maret 27, 2009 at 9:02 pm
ya mas bodong…semoga bangsa indonesia tidak seperti gambaran riwayat sejarah tempo doeloe yang penuh intrik,culas, hipokrit, dan kemunafikan….menikam terang-terangan…atau menikam dari belakang……karena gejolak sahwat meraih tahta kedudukan…..
Maret 27, 2009 at 9:05 pm
ya bung rusli….banyak yang memperebutkan kursi empuk….coba tanyakan pada diri siapapun….maukah duduk di kursi reot?…ya tidak, karena bakal jatuh jumpalitan…..legowo? no way….yang ada bertahan habis-habisan walau dengan cara apapun….tamak…..
Maret 27, 2009 at 9:11 pm
ya mas yariNK…itulah masalahnya….pasalnya semua yang termasuk soal perkursian sangat bergantung pada karakter sang empunya kursi…..dan juga regulasinya…..semakin tinggi kepribadian atau kelegowoan yang duduk di kursi maka makin mudahlah dia mengalihkannya kepada orang lain….juga semakin transparan dan akuntabilitasnya pelaksanaan regulasi…maka proses regenerasi perkursian baik lewat alami maupun terencana semakin lancar…..
Maret 27, 2009 at 9:20 pm
ya mas cahyono…..kursi bagi saya yang sudah pesiun sangatlah penting….tapi dalam artian fisik yakni kursi goyang sambil mangku cucu…..nah kalau kita berdoa jangan sampai meminta kepada allah tetapi ketika dikabulkan tidak siap menghadapinya…..itu tidak amanah…btw saya menilai unsur lingkungan seharusnya bukan menjadi penentu utama dalam membangun karakter seseorang….melainkan pembangunan karakter yang diawali oleh dirinya sendiri….berangkatlah dari diri sendiri….dengan sendirinya karena sudah tangguh….. dia akan siap untuk menghindari unsur-unsur lingkungan yang bisa mengganggunya….lewat selalu mengingat bahwa jabatan itu titipan dan amanah dari yang empu-NYA……dan perlu dioptimumkan dan dipelihara hanya untuk memperoleh ridha-NYA….amiiin
Maret 28, 2009 at 3:23 pm
Andaikata semua para perebut kursi itu mampir ke blog Pak Sjafri….mungkin mereka akan mendapatkan pencerahan pak…..
Maret 29, 2009 at 2:05 pm
wah mbak emmy….mereka sudah dipastikan tidak sempat buka blog….takut kehilangan momen kampanye….