Six Sigma merupakan suatu metode yang dirumuskan oleh Bill Smith pada perusahaan Motorola di tahun 1986. Metode ini berfokus pada perbaikan mutu produk. Lahir terinspirasi dari metode kendali mutu, manajemen pengendali mutu, dan derajad kerusakan produk nol. Six sigma sebagai suatu metode menonjolkan pada upaya-upaya: (1) kegiatan berkelanjutan untuk mengurangi keragamam output, (2) proses manufaktur dan bisnis dapat diukur, dianalisis, diperbaiki, dan dikendalikan; dan (3) keberhasilan perbaikan mutu perlu dukungan semua komponen perusahaan terutama dari manajemen puncak.
Six Sigma sebagai pendekatan pemecahan masalah telah biasa digunakan dalam bidang-bidang bisnis, keteknikan, dan proses produksi. Dan terbukti berhasil. Pertanyaannya apakah metode itu tepat digunakan dalam hal perbaikan mutu interaksi manusia? Sehubungan dengan itu John H.Fleming, Charles Patry, dan Joseph Moore (Harvard Business Review on The Performance Organization, 2006) mengatakan six sigma tidak cocok digunakan. Mereka kemudian memperkenalkan metode human sigma. Metode ini digunakan untuk menilai mutu interaksi karyawan dan para pelanggan serta aspek pengelolaan dan perbaikan hubungan keduanya.
Beberapa prinsip pokok penggunaan metode human sigma antara lain dalam penilaian terhadap interaksi antara karyawan dan pelanggan sangat berbeda dengan penilaian terhadap produk manufaktur. Human sigma bicara tentang emosi dan perilaku manusia. Sifatnya tidak universal.Sementara six sigma sebagai metode pengelolaan dan penilaian terhadap sesuatu yang sifatnya fisik. Karena itu penilaian dan pengelolaannya pun harus spesifik lokal Mengapa? Karena setiap kelompok kerja dan di tingkat individu dalam satu perusahaan atau bahkan dengan perusahaan lain memiliki karakteristik yang khusus. Dan untuk memperbaiki mutu hubungan karyawan dengan pelanggan, perusahaan perlu melaksanakan dua hal yakni intervensi transaksional jangka pendek dan proses transformasional jangka panjang.
Hubungan karyawan dengan pelanggan perlu dipelihara sedemikian rupa karena ada pengaruhnya terhadap kinerja finansial. Kesehatan hubungan karyawan dan pelanggan jangka panjang menjadi sangat penting. Karena itu perlu didekati secara holistik. Pendekatan mutu SDM di setiap kelompok yang terkait dengan strategi bisnis dalam bentuk pelatihan terpadu, review kinerja, kegiatan pembelajaran terprogram, dan bimbingan individual menjadi sangat strategis untuk dilakukan perusahaan.
September 27, 2010 at 5:47 am
Topik yang menarik, Pak.
Saya awam dalam bidang ini. Komentar saya ini didasarkan kepada pengetahuan saya yang serba sepintas dari apa yang pernah saya baca. Mohon koreksi saya bila saya keliru.
Barangkali kelemahan Six Sigma dalam satu hal justru adalah kekuatannya dalam hal lain. Saya merujuk kepada model metodologisnya yang rigorous dengan mengesampingkan kerumitan aspek emosional dari subjek yang berperan di dalam projek yang menjadi kajian. Ini barangkali yang membuat metodologi DMAIC/DMADV-(DFSS) menjadi kerangka kerja yang logis, terfokus, terukur, terkendali, dan terevaluasi. Keberhasilan empiris Six Sigma dalam meningkatkan kinerja organisasi–yang konon bukan saja untuk proses manufaktur, tetapi juga jasa–seperti yang kabarnya terjadi pada kasus GE yang membukukan keuntungan (dari efisiensi) senilai $ 10 juta dalam lima tahun pertama masa implementasi metodologi Six Sigma ini, barangkali menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu penyederhanaan ini memang berterima. Prasyaratnya barangkali adalah–seperti yang juga dimunculkan dalam metodologi ini–adanya infrastruktur personal yang memang handal (“Greenbelts,” “Blackbelts,” dst.) dan, lebih dari itu, barangkali, infrastruk tur personal itu (sampai derajat tertentu) harus bersifat “impersonal.” Infrastruktur tersebut harus menjadi semacam entitas yang memiliki karakter sebagai komponen sistem, dengan disiplin, konsistensi dan keterukuran yang mendukung model.
Dalam prakteknya, sepertinya itu hanya menjadi asumsi. Di sinilah, barangkali, Human Sigma menjadi semacam pengisi kekosongan itu. Ide-idenya yang masuk akal seperti “Feelings Are Facts,” “Think Globally, Measure and Act Locally,” dan seperti apa yang telah Bapak uraikan, sepertinya memang menawarkan solusi yang menjanjikan. Apalagi kalau memang benar (saya tidak tahu lebih jauh teknisnya) interaksi karyawan-pelanggan (yang di-drive untuk meningkatkan kinerja finansial itu) dapat dikuantifikasikan ke dalam “satu metrik kinerja tunggal.”
Pada akhirnya, saya kira saya setuju dengan apa yang Bapak kemukakan tentang pendekatan holistik. Menurut hemat saya, metodologi apa pun–per se, dilepas dari konteks dan kaitannya dengan karakter sosok organisasi yang menerapkannya–tidak dapat menjadi penentu keberhasilan. Etos, soliditas, dan budaya korporasi yang mendukung serta praktek-praktek good-corporate-governance yang dijalankan dengan teguh dan konsisten sepertinya tidak dapat tergantikan.
Terima kasih. Salam.
Oktober 3, 2010 at 1:01 am
ade…saya sulit mengoemntarinya…karena yg anda uraikan itu…sangat menarik dan bermanfaat…begitulah tidak sederhananya menerapkan six sigma pada kajian manusia…ukuran personality seseorang dan orang lain saja bisa berbeda…begitu juga karakter manusia tentang pribadinya tak pernah pasti…selalu berubah…terimakasih bhanyak atas masukannya kang ade…salam
Oktober 8, 2010 at 4:21 pm
saya sangat setuu dengan metode six sigma karena setiap perusahaan kadang hanya menginginkan hasil tanpa memperhatikan pekerjanya, dalam hal ini pekerja sangat didorong untuk dihargai dan akhirnya akan menghasilkan output pada perusahaan itu dengan baik…
Oktober 10, 2010 at 9:54 pm
ya yudi…dalam ukuran lain pun dikenal adanya The Human Resource Scorecard…jadi unsur-unsur yng menyangkut perilaku manusia sudah cukup banyak alatnya…
Agustus 19, 2011 at 7:20 am
terimakasih ats infonya.
semoga bermanfaat untuk saya nanti.
Agustus 21, 2011 at 4:21 am
sama-sama seli