Pada dasarnya individu sebagai mahluk sosial tidak berdaya tanpa adanya hubungan sosial dengan lingkungan. Tidak mungkin dalam kehidupan sosial terjadi perilaku independen; dalam pengertian mampu bekerja sendiri. Apalagi dalam suatu tim kerja. Disitu pasti ada interaksi sosial. Terdapat interdependensi atau saling bergantung untuk mencapai tujuan bersama. Namun dalam prakteknya yang seharusnya terjadi interaksi positif malah interaksi negatif. Konflik individu,sebagai embryio, bisa melebar menjadi konflik antarpelaku subsistem. Lalu dimana dan bagaimana peran manajer melihat kejadian seperti ini?
Manajer seharusnya memantau setiap kejadian yang cenderung bakal mengarah pada konflik. Karena itu setiap ada indikasi maka secepat itu pula manajer harus bertindak mengatasinya. Sekali suatu situasi konflik ada indikasi meluas maka akan sangat terlambat dan semakin sulit untuk mengatasi konflik. Tidak mudah untuk melakukan pemulihan seperti sediakala, paling tidak dalam hal bentuk kerjasama dan produktifitas. Tidaklah cukup hanya sekedar melongok apa yang sedang terjadi di kalangan karyawan. Tidak juga bakal cukup memperoleh suatu informasi secara rinci apakah hubungan berjalan normal atau ada gangguan .
Ketika ada masalah dalam tim kerja maka manajer harus melakukan pembicaraan dengan para karyawan yang bertanggung jawab dalam kejadian konflik. Bisa saja manajer berbicara dengan ketua tim atau bisa secara individual dengan mereka (tokoh intelektual) yang dianggap terlibat langsung dalam konflik. Diskusi dengan mereka yang terlibat sangatlah berguna untuk mengetahui hal ikhwal kejadian konflik. Disinilah peran manajer sebagai seorang pemimpin menjadi strategis dalam menawarkan penyelesaian konflik. Tentunya gagasan penyelesaian konflik bisa didasarkan pada unsur penyebabnya; apakah unsur yang sangat individual atau unsur kesalah-pahaman koordinasi kerja. Bentuk gagasannya bisa merupakan usulan rancangan membangun komunikasi multiarah antartim kerja, bekerjasama dalam membuat perencanaan antartim, dan melakukan koordinasi reguler.
Dalam jangka panjang manajer perlu menanamkan kesadaran pentingnya upaya fokus pada kebersamaan ketimbangan pada kerja individual tim. Termasuk di dalamnya dalam membangun saling pengertian. Selain itu ditanamkan prinsip bahwa loyalitas pada organisasi lebih bermakna ketimbang pada individu yang kental dengan personifikasi. Untuk itu pertemuan-pertemuan informal antartim sangatlah bermakna sebagai jalur dalam menanamkan kesadaran tersebut. Dari sisi struktural maka sangatlah penting dibuat semacam prosedur operasi standar dalam membangun kerjasama antartim dan antarindividu dalam tim.
Keharmonisan antartim akan membuahkan hasil jangka panjang yang menguntungkan. Ketika keharmonisan itu bisa dibangun sama saja terujudnya saling mengerti bahwa tidak mungkin membangun organisasi akan berhasil sistemnya tidak beroperasi utuh. Satu saja subsistem rusak atau terganggu maka akan mempengaruhi jalannya roda organisasi. Sebaliknya kalau mekanisme antarsubsistem telah berjalan optimum atau harmonis maka berarti kinerja perusahaan akan semakin berkembang. Yang menuai keuntungan dari kinerja yang maksimum itu tidak saja perusahaan tetapi juga karyawan.
September 20, 2010 at 1:57 pm
Inti dari kerjasama memang keharmonisan prof. Tanpa keharmonisan, kerjasama tidak akan berjalan dengan baik bahkan bisa jadi malah memunculkan persaingan individu yang tidak sehat dalam sebuah tim yang tentu saja akan melemahkan kinerja dari sebuah tim. Persaingan dalam sebuah tim dalam arti yang sehat dan terkontrol mungkin bisa jadi buat pemacu prestasi kerja individu, namun begitu persaingan dijaga agar yang kalah tidak merasa disisihkan atau malah membuat iri karena akan menjadi tidak sehat dalam sebuah tim. Karena bagaimanapun juga yang paling utama adalah memelihara keharmonisan individu (ataupun subsistem) di dalam sebuah sistem. Kalau mengenai konflik, memang betul sebisa mungkin dicegah dan seperti artikel prof di atas, di sinilah peran manajer untuk mengatasi konflik dan meminimalkan benturan-benturan yang terjadi di dalam sistem yang dapat menyebabkan melemahnya kinerja sebuah sistem…
September 21, 2010 at 5:33 pm
Saya berkunjung Prof mengucapkan selamat idul fitri 1431 H, maaf lahir dan batin.
Salam
September 22, 2010 at 12:04 pm
ya kang yariNK…kalau mau dikembangkan…keharmonisan kerjasama merupakan fungsi dari komitmen manajemen puncak…baik itu yg menyangkut pengembangan sdm…insentif pengembangan dan manajemen kompensasi…selain itu perlu terus dikaji tentang bagaimana menyusun tatakelola organisasi yg memungkinkan terjadinya koordinasi kerjasama yg efektif…saling membutuhkan dan kepentingan di kalangan karyawan dan atasan-karyawan…
September 22, 2010 at 12:05 pm
ya alris…maaf memaafkan,doa mendoakan…amiin
September 23, 2010 at 11:55 am
Pak Sjafri yang terhormat, izinkan saya–agak lancang, sebenarnya–menambahkan sedikit catatan kaki:
Konflik itu fitrah, dan mengelolanya merupakan sebuah amanah. Itu barangkali satu hal yang dapat saya tangkap dari uraian Bapak. Satu hal lagi, bahwa kerjasama atau sinergi itu indah.
Untuk hal pertama, saya ingat satu adegan dalam filem “Pasir Berbisik,” ketika tokoh Ibu (diperankan oleh Christine Hakim.), yang ketika fajar baru saja merekah setelah semalaman menunggu di depan rumahnya, akhirnya menjumpai puterinya (diperankan oleh Dian Sastro) yang pulang setelah menonton pertunjukan Tayub.
“Anak! Masuk!” kata sang Ibu.
Si anak yang selama ini rapuh dan amat bergantung kepada ibunya itu kini punya kejutan. Ia menjawab, “Namaku Daya, Bu. Aku juga punya nama.”
Pada dasarnya, barangkali, manusia itu egosentris: seorang manusia akan selalu memandang apa pun, siapa pun dalam relasinya dengan dirinya. Di sini mungkin sumber konflik itu. Setiap individu akan selalu dalam keadaan untuk menyatakan bahwa dirinya ada–yang terkadang berarti “harus” menafikan orang lain.
Realitaslah, kemudian, membenturkannya kepada keniscayaan untuk berkoeksistensi, seperti yang Pak Sjafri uraikan.
Yang sedikit ingin saya tambahkan adalah, barangkali konflik itu ada gunanya juga. Melalui konflik, manusia belajar untuk mengukur kapasitas diri, mengapresiasi kekuatan orang lain, berkaca, melihat dari perspektif yang berbeda, dan sadar akan kebutuhan untuk memaafkan.
Hanya saja, kata kuncinya di sini adalah “melalui.”–“Melalui” berarti bukan terjatuh ke dalam dan terperangkap di dalamnya.
Kemudian, mengnai hal yang kedua, saya kira Bapak telah mengulasnya dengan uraian yang–meskipun singkat–tetap jelas dan memikat. Eksplikasi Stephen Covey tentang “circle of influence,” “perubahan paradigma,” atau “the maturity continuum” mungkin menjadi tampak tidak begitu urgen lagi di sini. 🙂
Terima kasih. Salam.
September 23, 2010 at 7:47 pm
kang ade…terimakasih tambahan uraiannya yg sangat bermanfaat…ya ada perumpamaan lain yg hampir mirip…”seekor kuda yg digiring ke tepi sungai…tidak selalu segera akan meminum air sungai itu”…maknanya bahwa ukuran tentang motivasi jangan digunakan standar motivasi kita sendiri…orang lain belum tentu sama….begitu juga konflik…betul tak selalu buruk bergantung pada motifnya…konflik dalam bentuk perdebatan…bisa saja direkayasa ketika manfaatnya untuk membangun daya kritisi karyawan…
salam…
Agustus 19, 2011 at 7:31 am
saya setuju dengan mendapat bapak. karena keharmonian kerjasama itu merupakan fungsi dari komitmen manajemen puncak…
Agustus 21, 2011 at 4:21 am
ya benar seli