Mudik bareng berbagai kelompok masyarakat dari Jakarta semakin marak saja. Kalau sebelumnya diketahui ada kelompok penjual jamu gendong yang disponsori oleh perusahaan jamu terkenal (gratis), kini sudah melebar ke kelompok profesi lainnya. Sekarang ada kelompok penjual mie rebus dan mie tek-tek dan kuli bangunan. Ada juga yang berasal dari daerah yang sama. Mereka semua menggunakan bis sewaan. Bergembira ria menuju kampung halaman.
Kemudian ada kelompok pengendara motor yang menggunakan jalur utara dan selatan yang dikawal oleh polisi sampai batas kota. Dalam satu motor ada yang ditumpangi sampai empat orang (anak dan isteri). Bahaya memang. Secara pribadi, saya sangat tidak menganjurkan. Tetapi apa boleh buat. Sepertinya tidak banyak pilihan.Terpenting semua dalam suasana gembira. Yang pokok selamat sampai di kampung halaman. Tujuannya cuma satu; mudik lebaran untuk bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat tercinta.
Terkadang saya suka ngiri melihat mereka. Ingin rasanya naik bis dan kereta berdesak-desakan. Atau naik mobil macet berkilo-kilo meter. Sepertinya nikmat, lupa akan kelelahan. Saya yang dibesarkan di Jakarta sejak usia empat tahun memang pernah mudik. Kalau tidak ke Kuningan (tempat kelahiran ema) ya ke Cilegon (tempat kelahiran abah) buat silaturahim dengan kakek-nenek,uwa dan mamang serta sanak saudara lainnya.
Rasanya berkesan sekali naik kereta atau bis berdesakan. Tetapi sudah lebih dari lima dekade tidak pernah mudik lebaran karena orangtua tinggal di Jakarta. Sementara sanak saudara di daerah sudah banyak yang bermukim di Jakarta. Tampaknya mudik sudah menjadi tradisi kuat dan ritual sosial. Subhanallah…betapa nikmat dan indahnya ikatan batin mereka. Itulah harta mulia.
Hati-hati di jalan ya Mas dan Mbak. Jangan lupa berdoa dan hindari kebut-kebutan. Semoga sekeluarga tiba selamat di tempat tujuan. Bertemu keluarga-kerabat tercinta. Amiiin.
September 4, 2010 at 6:55 pm
Assalamualaikum, Pak Sjafri. Saya malah baru hilir-mudik pengin nulis soal mudik, he3x.
September 5, 2010 at 2:09 am
ya bung bahtiar…mulai saja menulis apa adanya…jangan ragu tentang mutu…buat saja…salam
September 5, 2010 at 9:47 am
“Ingin rasanya naik bis dan kereta berdesak-desakan. Atau naik mobil macet berkilo-kilo meter. Sepertinya…” ah yang bener pak prof? hehehehe…
September 5, 2010 at 11:29 am
…betul mas wong…itulah romantika mudik…serba ikhlas…sebab yg pasti terpikir adalah bakal silaturahim dgn keluarga di kampung…
September 12, 2010 at 12:27 pm
katanya, mudik berasal dari kata pergi ke udik (ke selatan), dengan patokan jakarta.
kalo pakai patokan ini, yang pulang kampung (pulang kota) ke priangan timur, jawa tengah, dst, tidak dianggap sebagai mudik 🙂
dan bisa jadi, buruh pengguna komuter jabotabek (seperti saya dkk yang sehari-hari naik krl), mudik setiap hari 🙂
September 12, 2010 at 7:01 pm
luthfi…udik itu artinya kampung/desa…patokannya arus penduduk dari kota-kota besar…ke kampung… dan sifatnya sementara serta frekuensinya tak sering…kalau anda ya hilir mudik namanya karena hampir setiap hari…