Situ Gintung, Cirendeu Tanggerang Banten, dikenal sebagai wilayah serapan. Tempat rekreasi yang elok ceria. Disitu biasanya banyak khlayak yang memanfaatkan waktu senggang untuk tempat piknik. Sekedar untuk melepas lelah, mancing dan berteduh di sekitarnya. Namun Jumat subuh kemarin tiba-tiba saja sang situ yang berfungsi sebagai pengendali berubah menjadi penyebab banjir. Pasalnya karena daya tampung situ akibat hujan yang deras selama tiga hari tak tahan lagi. Lalu jebol meluluh lantahkan ratusan bangunan rumah dan hingga kini tidak kurang dari 57 nyawa hilang. Belum lagi lebih dari tiga puluhan yang hilang.
Fenomena bencana alam Situ Gintung bukanlah hal yang pertama kali terjadi di bumi Indonesia tercinta. Banjir badang dan longsor sudah menjadi kejadian rutin. Lingkungan yang tidak tertata tampaknya semakin mengindikasikan merapuhnya bumi. Bumi sudah semakin terancam gara-gara eksploitasi sumberdaya alam yang semakin tak terkendali seperti perambahan liar hasil hutan, terumbu karang, dan pertambangan. Di daerah kota pun seperti Situ Gintung, tata ruang sudah tidak berlaku lagi. Yang ada cuma kekuasaan berlambang materi atau uang untuk melawan daya dukung lingkungan. Kualitas lahan, air dan udara semakin memprihatinkan karena ulah manusia yang tamak alias rakus. Padahal Allah berfirman: Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar (al-Hijr; 85).
Dari sisi politik, keseriusan pemerintah untuk melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berwawasan kelestarian lingkungan seharusnya semakin difokuskan. Tidak parsial. Artinya, pada pembangunan tiap sektor seharusnya konsep bumi sehat dan asri menjadi bagian tak terpisahkan. Indonesia sangat berkepentingan dalam menyelamatkan bumi. Diperkirakan seluas 65 juta hektar (43%) lahan subur sejak era orde baru telah menjadi lahan kritis (Ivana A Hadar, Kompas, 22 April 2006). Kalau tidak segera dibenahi serius dapatlah dibayangkan bahwa bumi Indonesia akan semakin parah. Tidak ada lagi ruang teduh untuk bernaung. Tidak ada lagi ruang untuk bernapas segar. Tidak ada lagi air sebagai sumber kehidupan.
Suatu ketika tidak ada lagi sisa-sisa bumi yang bersih dan lestari untuk diwariskan pada anak cucu bangsa. Lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karangan Ismail Marzuki…Indonesia yang indah permai…cuma sekedar impian; jauh dari kenyataan. Karena itu sangat dianjurkan untuk waspada terhadap bencana yang dikarenakan ulah manusia itu sendiri. Maka mereka kembali dengan ni’mat dan karunia dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (Ali Imran; 174). Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga arwah korban bencana diterima di sisi Allah swt . Amiin.
Maret 28, 2009 at 1:19 am
Bangsa kita sepertinya tidak banyak belajar dari pengalaman pahit.Cenderung selalu hal yang negatif berulang lagi seperti fenomena bencana alam.Daya dukung lahan terhadap air dan pemukiman yang menggila yang terjadi di situ gintung menunjukkan tata guna lahan dan tata ruang sangat diabaikan.Suatu perencanaan dan pengendalian yang tak terkendali dengan efektif.
Maret 28, 2009 at 8:43 am
Semoga bencana situ gintung merupakan yang terakhir dan jangan dijadikan ajang tebar pesona untuk mencari dukungan menjelang pemilu.
Maret 28, 2009 at 10:14 am
Alam murka.Situ Gintung hanya satu saja dari sekian banyak bencana alam.Semua penyebab adalah perilaku manusia.Selain itu perencanaan dan pelaksanaan konservasi yang tidak fokus.Ketika bencana itu terjadi barulah repot sana repot sini.Saling menyalahkan.Tolong para pejabat,jangan terlalu asyiik dengan kampanye.
Maret 28, 2009 at 12:15 pm
baru sekarang tahu kalau tanggulnya udah 76 tahun
Maret 28, 2009 at 3:10 pm
Pak Sjafri…saya amat teramat sangat prihatin atas musibah yang menimpa saudara-saudara kita di situ gintung….Dan lebih prihatin lagi melihat musibah tersebut dijadikan momentum parpol untuk menarik simpati..bahkan ada salah satu capres dari suatu partai (yang sudah tidak muncul lagi di iklan2- baik di televisi maupun poster2nya yg gede…) yang menggunakan musibah ini untuk menjatuhkan lawan politiknya..sungguh tidak memiliki hati nurani…Bukan saatnya menyalahkan orang lain untuk menyatakan diri sendiri lebih benar dan lebih bisa mengatasi keadaaan…
Maret 29, 2009 at 7:50 am
Tragedi situ gintung merupakan cobaan dari allah swt yg diberikan kepada penduduk disana mungkin penduduk disana sudah melakukan kesalahan yang amat buruk sehingga allah memberikan cobaan itu.tapi setiap cobaan pasti ada solusinya dan mudah mudahan saudara kita yang terkena musibah dapat bersabar karna sesungguhnya allah swt besama dengan orang2 yang besabar.
Maret 29, 2009 at 12:17 pm
Situ merupakan salah satu tipe ekologis yang dianggap rawan terhadap tekanan manusia. Kerusakan ditandai dengan adanya pendangkalan, pengurugan, dan alih fungsi situ. Sebagian kerusakan situ terjadi karena terdesak oleh kawasan permukiman, lahan pertanian, serta fasilitas umum. Kerusakan sumber daya situ bersifat tidak dapat pulih, sehingga akan mengganggu fungsi sebagai kawasan resapan air.
Situ adalah salah satu komponen dalam tata air yang merupakan kawasan dilindungi. Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatannya mengacu peraturan perundangan, seperti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Perlu pendekatan pengelolaan yang komprehensif serta koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jangan saling lempar tanggung jawab.
Maret 29, 2009 at 1:11 pm
ya bung johan…ada korelasi faktor pengabaian pemeliharaan sumberdaya alam dengan terjadinya bencana…..karena yang mengabaikan manusia maka kesalahan utama adalah ada pada manusia itu sendiri….jangan salahkan hujan deras…tetapi salahkan manusia yang tidak mampu menahan banjir karena tidak menerapkan kearifan lokal….
Maret 29, 2009 at 1:13 pm
ya mas budi….memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan….namun tak ada tindak lanjutnya yang nyata…..empati yang hanya sesaat….
Maret 29, 2009 at 1:16 pm
mbak kur…celakanya walau suatu perencanaan yang sudah baik ternyata bisa berubah….karena dibeli oleh yang namanya penguasa uang…..sehingga terjadi penyimpangan hebat….belum lagi fungsi pengendalian yang begitu kendor…..akhirnya unsur manusialah sebagai sumber dari semua masalah bencana…..
Maret 29, 2009 at 1:18 pm
ya bung nusa…namun walau sudah tua tidak harus menjadikan alasan terjadinya kebobolan….kalau saja pemeliharaan atau pencegahan bisa dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana……
Maret 29, 2009 at 1:21 pm
betul mbak emmy…mendingan sodorkan konsep apa yang bisa diperbuat dalam jangka pendek dan panjang untuk mencegah terjadinya feniomena serupa di masa datang….sebaran simpati dan empati yang sifatnya sangat pendek dan berbau politis….tanpa ada tindak lanjutnya sama sekali….sama saja dengan membohongi rakyat…..
Maret 29, 2009 at 1:29 pm
ya bung alfarabi….jangan terbenam dalam kesedihan panjang akibat terkena bencana….begitu pula jangan resah dengan suatu musibah…. dalam suatu hadist….”Sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum maka Dia akan mendatangkan cobaan kepada mereka.Dan barang siapa rela denga ujian itu maka dia akan memperoleh kerelaan-Nya. Dan barang siapa membencinya maka dia akan memperoleh kebencian-Nya”…..”bersama kesulitan ada kemudahan”…..
Maret 29, 2009 at 1:33 pm
ya bung partomo….yang tidak masuk akal masyarakat dan pemerintah sama-sama tahu apa akibat yang mungkin terjadi kalau berpikir dan bertindak di luar aturan….artinya mereka hanya sebatas tahu tetapi belum menjadi kesadaran tindakan…dan juga terlalu menggampangkan persoalan….dengan jalur cincai saja semuanya bisa dibeli….jadilah bencana tak terhindarkan….
April 3, 2009 at 6:54 am
Situ Gintung itu buah dari “bad governance”. Itu bukan yang pertama, dan tidak akan menjadi yang terakhir. Sungguh tidak masuk akal jika bencana seperti itu tidak berdatangan.
Tapi saya yakin. Masih banyak orang baik. Berdoa dan berbuat. Karena itu, bencana itu akan sedikit teredam.
April 3, 2009 at 12:30 pm
ya bung tadjudin…..bangsa kita sering alpa belajar dari masa lalu yang kelam….saya khawatir fenomena situ gintung yang murung itu….bukan bencana alam…tapi bencana tatakelola yang buruk seperti yang anda maksudkan…..
April 6, 2009 at 4:44 pm
manajemen yang dipakai masih manajement by accident, klo lagi ada bencana seperti kebakaran jenggot
April 7, 2009 at 9:46 pm
ya bung unlastnoel……sama artinya dengan berpikir dan bertindak seketika…lalu bingung dan bengong…..