Pergantian atau lengser dari jabatan tertentu di suatu instansi adalah fenomena wajar. Bisa karena sang pejabat sudah waktunya diganti, bisa karena sudah memasuki masa pensiun, dan bisa jadi karena dipecat. Karena itu sebagai seorang pejabat teras pada level apapun harus sudah siap kalau tidak berstatus seperti itu lagi. Siap-siap menghadapi lingkungan baru, siap-siap kalau-kalau para anak buah melupakannya, dan harus siap pula segala fasilitas akan berkurang.
Jabatan seseorang itu titipan Allah. Sifatnya pengabdiannya abadi karena memiliki nilai amanah. Tetapi kurun waktu pemegang jabatan itu bersifat sementara. Tidak kekal. Bisa jadi baru sebulan pun pejabat yang bersangkutan tiba-tiba dicopot. Apa yang bisa terjadi? Apapun bisa termasuk berkurangnya respek para mantan subordinasi. Kalau itu terjadi maka anak buah dari pejabat teras itu menghormati bukan pada pejabatnya (orangnya) tetapi pada jabatannya. Lalu ketika jabatan itu tidak melekat lagi pada orangnya maka sudah tidak ada lagi semacam ’hirarkis’ kehormatan pada orangnya. Sepertinya tidak ada kewajiban lagi bagi bawahan untuk menghormati mantan pimpinannya itu. Sudah habis. Gone with the wind.
Pertanyaannya benarkah begitu hipokritnya sifat seseorang? Menghormati orang karena jabatannya? Sehingga kalau perlu menjilat atasannya? Bahkan ketika sudah tidak menjadi atasannya ada saja yang berani mengumpatnya? Apakah karena ada yang salah tentang karakter si mantan pejabat ketika masih aktif? Apakah pejabat itu sebagai sosok yang jauh dari sifat arif dan bijak, kurang dekat dan kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan para subordinasinya, jauh dari kesederhanaan dalam bertutur kata dan rakus dalam hal materi dan kekuasaan?
Berdasar pengamatan saya, salah satu dampak kepemimpinan yang baik dicirikan oleh kerinduan mantan bawahan untuk bertemu dengan mantan atasannya. Kerinduan untuk bertemu tidak selalu diekspresikan secara fisik. Kerinduan dibarengi rasa hormat itu berupa impresi tentang sifat-sifat baik mantan pejabat bersangkutan yang pernah diterima oleh bawahannya. Selalu dingatnya. Bahkan sering menjadi buah bibir pembicaraan dengan orang lain. Kerinduan tanpa ujung.
Kerinduan itu timbul pada sifat-sifat atasannya yang demokratis namun tegas dan tidak kompromi dalam hal disiplin dan mutu kerja, kinerjanya tinggi, konseptor, komunikatif, mendidik layaknya seorang orangtua yang bijak, mudah memaafkan bawahannya, tidak segan-segan meminta maaf pada bawahan jika tutur dan tindakannya dirasa keliru, sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan bawahannya (materi dan nonmateri termasuk karir), dan kepedulian yang besar terhadap keluarga bawahannya. Intinya mantan pejabat itu tidak sombong, penuh rasa kekeluargaan dan tawadhu, dan tidak zalim karena kekuasaannya. Bahkan setelah tidak menjadi pejabat lagi, komunikasi persaudaraan dengan mantan bawahannya tetap berlangsung. Pasti dia akan dikenang selamanya. Namun adakah pemimpin yang seperti ini? Tentunya tidak semua pejabat seperti itu.
Saya percaya bagi mantan pejabat dan keluarganya yang arif tidak akan pernah mendambakan para mantan anak buahnya untuk tetap bertingkah laku sama seperti ketika dia masih sebagai pejabat. Dia percaya setiap orang memiliki ciri dan bobot karakter yang berbeda. Kalau menuntut hal yang sama dan tidak terpenuhi justru akan menyusahkan hatinya saja. Akan menderita bathin. Jadi dia ikhlaskan hidup apa adanya. Sementara, bagi mantan anak buah yang arif akan bersikap wajar-wajar saja. Sama seperti ketika masih menjadi anak buahnya. Artinya ketika menjadi anak buah dia selalu berupaya tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dengan atasannya. Apalagi menjilat dan memusuhi. Setiap yang terlalu itu adalah jelek, katanya. Bahasa ilmiahnya bertingkah lakulah secara proporsional. Insya Allah tak menjadi beban.
Januari 29, 2009 at 7:06 pm
Agar para mantan pejabat tidak merasa power post syndrome seharusnya sudah menyadari ketika memegang jabatan itu dia harus amanah dan mampu menjaga hubungan baik dengan para bawahannya.Kemudian jangan gila hormat.Lengser dalam keadaan ikhlas.
Januari 29, 2009 at 7:57 pm
Sifat manusia yang lemah adalah haus dengan kekuasaan.Ketika seseorang memperoleh kepercayaan untuk menjabat posisi tertentu sering mengabaikan kaidah-kaidah persaudaraan sesama.Dengan kata lain ada semacam “hirarki sosial” yang dikembangkan.Seharusnya hirarki hanyalah sebatas pada pembagian otoritas,sementara hubungan sosial jangan kaku dan seharusnya dapat dibangun suasana kemitraan.
Januari 30, 2009 at 3:31 am
Dbentuk perilaku yang perlu diperhatikan ketika seseorang menjadi pejabat, yang akan berdampak pada respon karyawan, respek atau non respek menurut saya adalah:
1. do the things right
2. do the right things
Yang pertama lebih cenderung pada perilaku yang didasarkan atas adanya aturan struktur atau administrasi, sehingga terkadang mengesampingkan perasaan orang lain.
Nah… yang kedua ini seharusnya yang dikedepankan oleh pejabat, yaitu melakukan sesuatu yang benar-benar baik. Sehingga hubungan dengan subordinasi dan rekan lainnya menjadi baik.
Januari 30, 2009 at 2:23 pm
iya pak Sjafri
tidak mudah jadi mantan pimpinan yang tetap dicintai mantan bawahannya
karena keprofesionalan sekaligus kepribadiannya yang memang layak diteladani
kadang saat kita jadi pemimpin kita diharapkan bisa memposisikan diri – berpikir, bertindak, berkata-kata, dll. sesuai konteks dan sasaran….
kita perlu mengenal permasalahan secara menyeluruh, mendalam bahkan mendetail….
kita perlu mengenal karakter, kebiasaan, latar belakang budaya dan hal2 personal lain dari tim kerja kita
menjalin hubungan dengan pihak2 terkait dalam pekerjaan kita jadi tantangan berat, bahkan sering lebih berat dari tantangan memecahkan masalah teknis pekerjaan
di saat itu kita merasa kita perlu bertindak logis untuk menentukan jalan tengah terbaik, walau tetap menggunakan nurani dalam memutuskan sesuatu
dan sering kita merasa tidak mampu jadi pemimpin yang baik
saat keputusan logis dan obyektif kita ternyata ‘melukai’ hati staff yang telah mensupport kita
dan akhirnya kita memilih mundur dari jabatan demi pertemanan
dari sini saya belajar bahwa
memang berat tantangan menjadi pemimpin
pendekatan ‘hati’ yang dilakukan
bukan berarti melulu mengedepankan sisi ‘kepekaan sosial’ kita
tapi lebih pada mencoba obyektif melihat konteks masalah,
terbuka tapi tetap mengacu pada proses penyelesaian masalah yang menyeluruh dan integral, tidak partial dan memihak
dan komunikasi intensif adalah kunci untuk menetralisir
mencapai pengertian, pemahaman
saat keputusan kita tidak sepenuhnya diterima tim kerja kita
Januari 31, 2009 at 8:56 pm
mbak yolanda……sependapat dengan anda…….intinya bagaimana menjadi seorang pemimpin yang berkarakter kuat….tidak saja dalam berkemampuan manajerial skills tetapi juga human relationship skills dan soft skills……ulasan anda telah memerkaya artikel ini….trims…..
Januari 30, 2009 at 3:44 pm
Ceuk sepuh: “Kudu bisa jeung sing rajin nyaba ka poe isuk”.
Sok sanajan teu gampil nalungtik kahuripan poe kamari, tangtos leuwih hese deui upami urang nalungtik poe kiwari, lantaran keur mah dilampahan keneh, oge bari jeung canpuguh ka rengsekeun nepi ka seepna poe.
Tangtos anu pang hesena mah nyaba ka poe isuk. Lain wungkul hese, malih mah pimoaleun!
Oh, rupina maksad sepuh teh sangkan urang rajeun ngenteung tun nyukcruk tapak saha bae anu langkung ti payun yuswa jeung kahuripanna batan ti urang.
“Kalde moal ngajeblos kana liang anu sami”, kitu kinten2 dawuhan Kangjeng Rasululloh saw.
Wilujeng, Prof.
Insya Alloh abdi nyakseni kana kasaean tur aman soleh Prof. Mangku.
Elmu anu mangpaat, pangabdian, tur amal soleh mah da moal ka wengku boh ku rohangan atanapi waktos.
Januari 30, 2009 at 3:47 pm
Ceuk sepuh: “Kudu bisa jeung sing rajeun nyaba ka poe isuk”.
Sok sanajan teu gampil nalungtik kahuripan poe kamari, tangtos leuwih hese deui upami urang nalungtik poe kiwari, lantaran keur mah dilampahan keneh, oge bari jeung canpuguh ka rengsekeun nepi ka seepna poe.
Tangtos anu pang hesena mah nyaba ka poe isuk. Lain wungkul hese, malih mah pimoaleun!
Oh, rupina maksad sepuh teh sangkan urang rajeun ngeunteung tur nyukcruk tapak saha bae anu langkung ti payun yuswa jeung kahuripanna batan ti urang.
“Kalde moal ngajeblos kana liang anu sami”, kitu kinten2 dawuhan Kangjeng Rasululloh saw.
Wilujeng, Prof.
Insya Alloh abdi nyakseni kana kasaean tur amal soleh Prof. Mangku.
Elmu anu mangpaat, pangabdian, tur amal soleh mah da moal ka wengku boh ku rohangan atanapi waktos.
Januari 31, 2009 at 4:52 am
Prof…. biasanya orang yang lengser yang cepat terlupakan karena sudah tidak menjabat suatu jabatan lagi, biasanya iapun dulunya begitu, melihat orang hanya dari jabatannya saja. Insya Allah, saya percaya jikalau kita tidak melihat orang dari jabatannya alias memandang orang tersebut apa adanya, kitapun nanti akan tetap diingat oleh banyak orang manakala kita lengser.
Yang penting pada saat kita di bawah, rajin2lah kita belajar dan janganlah kita hanya mengandalkan ‘cari muka’ saja. Dan ketika kita berada di atas (selain masih rajin2 kita belajar) kita juga rajin2 membagi ilmu dan memperhatikan orang di bawah kita. Insya Allah jika kita lengser nanti orang akan terus ingat kepada kita dan juga kita meninggalkan orang2 yang sama bermutunya atau bahkan lebih dari kita mutunya pada jabatan yang kita tinggalkan……..
Januari 31, 2009 at 7:45 pm
betul mbak nur….yang terjadi tidak jarang atasan atau pejabat lupa diri…..bahwa jabatan itu adalah amanah……termasuk amanah dalam membangun kekerabatan di antara karyawan dan atasan…..
Januari 31, 2009 at 7:48 pm
sependapat bung johan…..karena itulah ketika seseorang mulai menduduki jabatannya…seharusnya dia melakukan pengenalan diri….lalu orientasi pekerjaan dan hubungan dengan karyawannya…..dari situ sang pejabat sudah menunjukkan keinginan untuk membangun suasana keakraban di lingkungan kerjanya……
Januari 31, 2009 at 7:52 pm
ya mas adi…..butir satu mencerminkan bagaimana sang atasan mampu melakukan sesuatu dengan efisien….sementara butir dua melakukan sesuatu dengan efektif…….idealnya ketika kedua pendekatan itu dilakukan….sang atasan tetap menjaga hubungan kemitraan dengan karyawannya……dia harus menghormati karyawan sebagai mitra yang kontribusinya pada organisasi tidak diragukan…….kalau kondisi seperti itu bisa terbentuk maka saling respek pun akan terjadi……
Januari 31, 2009 at 7:59 pm
……betul kang sunmanjaya….intinya hari ini perilaku dan kinerja kehidupan kita harus lebih baik ketimbang hari kemarin…..dan hari esok harus lebih bermutu dibanding hari ini……karena itu kita harus menyiapkan diri agar tidak terantuk pada kesalahan yang sama…..nah disini manajemen mutu sdm menjadi strategis……termasuk di dalamnya selalu membangun suasana persaudaraan di lingkungan apapun….dan tentunya mendekatkan diri kepada sang khalik…allah swt……hanya untuk mencari ridha allah semata……amiiin….nuhun tos dongkap ka blog ieu…..doa mendoakan ….amiiin…
Januari 31, 2009 at 8:07 pm
betul mas yariNK……sebaiknya ketika seseorang sebelum jadi pejabat….dia melihat siapapun dari sisi karakter kepribadiannya,bukan hanya status otoritasnya……kalau tidak maka kelak kesan pada sang pejabat juga akan sementra lalu hilang tak berkesan…….betul persaudaraan yang dibangun oleh atasan tidaklah semata-mata dalam bentuk pertemuan-pertemuan formal dan informal saja…..proses pembelajaran dalam berbagi ilmu adalah penting……bukan saja ilmu yang sifatnya hardskill….tetapi juga soft skill dan life skill……itulah aset yang diberikan pada karyawannya…..saya percaya karyawan akan berkesan pada sang atasannya……sampai sang atasan lengser pun selalu dikenang…………
Februari 1, 2009 at 7:47 am
[…] Tulisan asli dari artikel ini dan berbagai tulisan menarik lainnya tentang MSDM dan Personal Development dapat juga di akses melalui: BAGAIMANA MENYIAPKAN DIRI PASCALENGSER JABATAN […]
Februari 3, 2009 at 2:22 am
Prof, jangan lupa juga tolong disampaikan ke teman-teman yang selama ini telah mengabdi di almamater, dan bahkan sebagian ada yang hampir putus asa karena “lelah” mengajar dengan kompensasi segitu-gitu saja di tengah tuntutan kebutuhan hidup, rengekan anak dan istri, dan sebagainya untuk tidak “kaget” pada saat tiba-tiba diangkat menjadi pejabat.
Masyarakat akan semakin menghormati pejabat ybs jika dengan pengangkatannya sebagai pejabat tidak “mengubah” gaya kesederhanaannya seperti saat sebagai pengajar dulunya.Post power syndrome adalah hal biasa, tetapi syndrom of power adalah berbahaya!
Februari 3, 2009 at 10:21 pm
betul mas bodong….yang paling sulit adalah mempertahankan ketaatasasan sikap perilaku sebelum dan sesudah menjadi pejabat….itupun bisa terjadi di kalangan perguruan tinggi….bisa jadi para dosen-guru besar yang sudah lama menjadi pejabat negara apakah eselon satu dan menteri….kalau kembali ke kampus sebagai habitatnya tampak grogi…..dan terasa asing….bahkan sudah banyak meninggalkan perkembangan iptek…..jadilah mereka segan mengajar dan meneliti…..bahkan seharusnya pengalaman mereka selama di pemerintahan bisa dibagi atau dialihkan ke para mahasiswa dan institusinya…….saya sendiri pernah mengalami sebagai staf ahli menteri koperasi dan ukm di tahun 1998….namun saya tidak merasa cocok di habitat baru itu….so cuma setahun lalu saya mengundurkan diri…..dan kembali ke kehidupan kampus yang lebih nyaman……. padat dengan otonomi pengembangan keilmuan…..
April 11, 2009 at 2:59 pm
PRof…. Sebenarnya lengser dari suatru jabtana adalah suatru hal yang biasa dalam dunia militer… Tour of duty dan tour of area … Ada sisi positif atas penggantian suatu jabtan, sehingga ada pencerahan dalam aktifitas keseharian. Ada hal-hal yang sangat menyakitkan apabila jabatan yang selama ini kita pegang, tiba-tiba digantikan oleh orang lain….. Apa langkah terbaik kita dalam hal ini.Tidak perlu muluk-muluk… dalam falsafah orang jawa ada dua hal yang dapat kita ambil yang pertama adalah Legowo dan nrimo…Legowo maksudnya dengan senang hati memberikan jabatan yang selama ini kita pegang kepada orang lain. Nrimo berarti mau menerima segala apapun yang menjadi keputusan pimpinan. Dengan demikian dalam konteks yang lebih luas Post power syndrome tidak kan terjadi pada pejabat yang bersangkutan…..Itu kata guru ngaji saya…