Majalah mingguan Tempo edisi 20 Mei 2007 telah menyajikan hasil survei tentang peringkat perguruan tinggi di Indonesia. Yang disurvei majalah tersebut adalah kalangan industri/kalangan dunia kerja. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana persepsi mereka terhadap kualitas karyawan (manajemen dan non-manajemen) di tempat kerjanya yang berasal dari alumni beberapa PTN/PTS yang disurvei. Survei yang dilakukan selama Desember 2006 – Januari 2007, sampai pada kesimpulan urutan kualitas alumni yang terbaik adalah dari UI, ITB, UGM, IPB, ITS,UNAIR, Trisakti, UNPAD, Atmajaya, dan UNDIP. Dunia kerja berpendapat bahwa alumni 10 perguruan tinggi itu memiliki karakter sebagai berikut: (1) Mau bekerja keras; (2.) Kepercayaan diri tinggi; (3) Mempunyai Visi kedepan; (4) Bisa bekerja dalam Tim; (5) Memiliki kepercayaan matang; (6) Mampu berpikir analitis; (7) Mudah beradaptasi; (8) Mampu bekerja dalam tekanan; (9) Cakap berbahasa Inggris; dan (10) Mampu mengorganisasi pekerjaan.
Selain tentang keunggulan karakter para alumni 10 perguruan tinggi itu, dunia kerja mengetengahkan enam tips bagaimana para alumni hendaknya memiliki mutu sesuai yang diharapkan pasar kerja, (berdasarkan urutannya) yakni ;(1) Aktif berorganisasi; (2) Mengasah bahasa Inggris; (3) Tekun belajar; (4) Mengikuti perkembangan informasi; (5) Memiliki pergaulan luas; dan (6) Mempelajari aplikasi komputer. Ketika dilakukan prekrutan dan penyeleksian karyawan baru yang berasal dari perguruan tinggi, dunia kerja akan memrioritaskan para alumni yang memenuhi delapan syarat (berdasarkan urutan) yakni:(1) Indek prestasi komulatif; (2) Kemampuan bahasa Inggris; (3) Kesesuaian program studi dengan posisi kerja; (4) Nama besar Perguruan Tinggi; (5) Pengalaman kerja/magang; (6) Kemampuan aplikasi komputer; (7) Pengalaman organisasi; dan (8) Rekomendasi.
Apa hubungan hasil survei di atas dengan topik artikel ini? Adakah hubungan kecerdasan berbasis IQ (intelligence quotient) dan E-SQ (emotional dan spiritual quotient) alumni perguruan tinggi dengan keberhasilannya di dunia kerja? Kalau dilihat dari sisi urutan kualitas alumni yang sedang bekerja maka tampak mereka yang berhasil di dunia kerja adalah yang menguasai EQ (urutan 1-5 dan 7-10). Karena itu wajarlah dunia kerja menyarankan kalau para alumni mau bekerja sebaiknya menguasai EQ sesuai dengan tips yang telah disarankan di atas. Namun bagaimana dengan persyaratan yang harus dipenuhi para alumni ketika sedang melamar? Tak satu pun persyaratan tertulis dari dunia kerja yang menekankan EQ menjadi unsur pertimbangan yang utama. Dalam hal ini justru IQ yang pertama yang dipertimbangkan dunia kerja. Baru kemudian kemampuan berkomunikasi bahasa Inggris, latar belakang program studi dan nama besar perguruan tinggi menjadi pertimbangan.
Pentingnya syarat IQ dan pengalaman kerja yang perlu dipenuhi oleh pelamar juga didukung oleh data yang saya kumpulkan dari iklan lowongan kerja yang ada di salah satu koran nasional edisi hari ini. Dari sampel survei kecil ini, tercatat lebih dari 100 lowongan kerja yang disediakan, dunia kerja menempatkan IQ dan pengalaman kerja menjadi syarat yang utama. Pertanyaannya apakah dengan demikian EQ tidak diperlukan ketika alumni perguruan tinggi akan memasuki dunia kerja? Tidak juga karena ketika terjadi penyeleksian, para pelamar umumnya dites baik dalam sisi akademik, pengetahuan umum, kepribadian, maupun tes minat. Setidak-tidaknya dengan menilai prestasi akademik alumni. Untuk melengkapi proses penyeleksian maka disamping tes-tes tersebut para pelamar juga diwawancarai terutama yang menyangkut aspek-aspek pengetahuan umum, kepribadian dan minat.
Yang menarik dari penyeleksian karyawan baru khususnya yang berasal dan kalangan perguruan tinggi adalah tidak ditempatkannya sama sekali persyaratan unsur EQ lebih-lebih dalam hal SQ. Barangkali karena dalam prakteknya belum ditemukan instrumen yang jelas untuk mengukur indikator dan bobot masing-masing elemen kedua quotient tersebut. Ini diperkirakan karena karena EQ dan SQ itu bersifat kualitatif. Misalnya mereka yang menguasai EQ adalah seseorang yang menurut Daniel Goleman. mempunyai empat elemen utama yakni kesadaran tentang diri sendiri (self awareness), pengelolaan diri sendiri (self management), kesadaran sosial (social awareness) dan kecakapan sosial atau bermasyarakat (social skills).
Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang popular dengan sebutan “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakan oleh emosi. Contoh keseharian dalam hal EQ adalah kemampuan berpikir positif terhadap orang lain, empati, bertanggung jawab, berinteraksi sosial, mudah menahan emosi marah dan kebencian atau pengendalian diri, kerjasama, kecakapan sosial, semangat dan motivasi, dan menghargai orang lain.
Sementara itu SQ berperan dalam melengkapi IQ dan EQ yang dimiliki seseorang. Dengan SQ seseorang dapat mengefektifkan IQ dan EQ yang dimilikinya dengan rambu-rambu sistem nilai agama dan kemanusiaan. Karena itu dia mampu memaknai hidup dan kehidupan dalam konteks yang lebih luas. Misalnya keseimbangan hidup untuk dunia dan untuk akhirat. Menghargai sesama rekan kerja sebagai mahluk Tuhan. Dengan kata lain tidak berperilaku sombong dan sebaliknya selalu rendah hati. Orang seperti ini juga pandai bersyukur atas karunia Tuhan. Dan takut kepada-Nya kalau akan berbuat buruk.
Apa implikasi penguasaan IQ, E-SQ dalam dunia pekerjaan? Sudah banyak referensi yang mengatakan bahwa IQ tidak akan berarti apa-apa ketika EQ dan SQ terabaikan. Lembaga di Amerika Serikat yang diberi nama Emotion Quotient Inventory (EQI ) telah mengumpulkan data-data orang-orang yang sukses. Hasilnya menunjukkan bahwa peran IQ terhadap keberhasilan seseorang yang sukses rata-rata hanya 6 % sampai 20 % saja. Selebihnya karena peran EQ dan SQ. Dari informasi seperti itu apakah dengan demikian ketika perusahaan akan membuka peluang atau lowongan kerja kepada khlayak tidak diperlukan persyaratan IQ tinggi? Tidak seperti itu. IQ tetap sangat penting dan ia merupakan pintu awal kesuksesan seseorang dalam dunia kerja.
Disadari bahwa selama ini perguruan tinggi tidak secara formal memasukkan E-SQ dalam kurikulum. Karena itu selain kebutuhan akan IQ maka perusahaan perlu melakukan proses pembelajaran E-SQ secara intensif ketika sudah menerima karyawan baru. Bentuknya antara lain bisa berupa sosialisasi, pelatihan-pelatihan, dan seminar-seminar motivasi berprestasi, pengendalian diri, kepemimpinan, komunikasi, kepribadian, kesadaran diri, kecakapan sosial, keagamaan, soft skills, dsb. Disamping itu akan lebih baik lagi perusahaan menanamkan dan mengembangkan budaya korporat, kedisiplinan, etos kerja keras, kerjasama, dan kekeluargaan.
Januari 25, 2009 at 1:40 am
Masih banyak perusahaan yang tidak mempertimbangkan kebermanfaatan EQ dan SQ dalam dunia kerja.Karena itu perusahaan jarang melakukan pelatihan-pelatihan kedua kecerdasan itu kecuali untuk pimpinan. Yang diutamakan dari karyawan adalah kecerdasan intelektual dan ketrampilan kerja dalam meningkatkan kinerjanya.Semakin tinggi kinerja semakin besar peluang promosi karyawannya.
Januari 25, 2009 at 2:01 am
Betul E-SQ penting untuk seseorang dalam meningkatkan performanya. Namun Saya masih bertanya-tanya bagaimana mengukur porsi yang dinilai seimbang antara IQ,E-SQ yang harus dimiliki seseorang yang sudah memasuki dunia kerja.Dalam prakteknya setiap orang memiliki kelemahan dan kekuatan.Karena itu kalau ada kelemahan bisa jadi ditutup oleh bantuan dari lingkungannya.Sebaliknya kalau ada kekuatan lalu dishare ke orang lain yang kurang mampu.
Januari 25, 2009 at 12:07 pm
Lemahnya E-SQ sebagian besar lulusan perguruan tinggi karena IQ masih dipandang segalanya.Kalau dipelajari dari visi perguruan tinggi indonesia maka kecenderungannya lebih menekankan pada menjadi perguruan tinggi yang unggul dalam penguasaan iptek dan sdm yang berketrampilan tinggi.Kurikulum pun lebih pada orientasi pada IQ ketimbang pada E-SQ.
Januari 25, 2009 at 5:08 pm
gak masalah pak…khan ada probation per 3 atau 6 bulanan serta annual assestment…kalo saya lebih suka di begitu..karena manusia cenderung berubah..harus di pantau terus kualitasnya..dan dapat dipastikan bahwa tidak ada yang nyaman dalam dunia kerja profesional kecuali pegawai negeri
Januari 26, 2009 at 12:00 am
Sebagai orang yang percaya akan prinsip ‘keseimbangan’, saya percaya IQ dan EQ sama pentingnya, hanya saja dalam setiap kasus mungkin harus dihadapi dengan bobot yang berbeda. Dalam kasus ‘A’ misalnya, bobot IQ harus lebih banyak dibandingkan bobot EQ, Sebaliknya dalam menghadapi kasus “B” misalnya, bobot EQ yang seharusnya lebih banyak dari bobot IQ. Walau begitu, secara umum menurut saya walaupun dalam setiap kasus butuh bobot yang berbeda dari setiap Quotient tersebut, namun bukan berarti Quotient yang bobotnya lebih rendah tersebut menjadi tidak penting. Secara umum kedua2nya tetap penting.
Hanya saja prof, mengenai SQ ini, apa sudah ada ‘formulasi’ yang ‘baku’ tentang SQ ini??? Atau, apakah SQ ini sebenarnya sudah tercakup di dalam IQ dan EQ??
Januari 26, 2009 at 10:58 am
IQ, EQ dan SQ adalah satu kesatuan untuk kehebatan manusia. Meski terkadang banyak pihak lebih menjadikan IQ sbg standar kecerdasan.
Tapi dulu saya sempat diutawari mengabdi di tempat saya pernah kuliah bikan karena IPK saya terbaik lho Pak, tapi karena saya seorang aktivis kampus yg IPKnya gak jeblok 😀
Wah lama Pak kita gak bersua
Januari 26, 2009 at 1:22 pm
ya bung rusli….seharusnya paling tidak perusahaan menyediakan akses pelatihan-pelatihan yang termasuk soft skills dan EQ……di tingkat unit keberhasilan kerjasama biasanya karena setiap anggota memiliki rasa empati, tanggung jawab dan kerjasama serta komunikasi sosial…..
Januari 26, 2009 at 1:27 pm
betul bung zulkand…..belum ditemukannya alat ukur bisa jadi karena ada kesalah-pahaman tentang arti quotient….untuk kecerdasan intelektual sudah lazim bisa terukur….namun yang bersifat emosional dan spiritual sifatnya sangat kualitatif….tidak terukur….namun quotient untuk E dan S sering diterjemahkan sebagai kecerdasan…..padahal bukan…..hanyalah sebagai kemampuan…….
Januari 26, 2009 at 1:31 pm
mbak nur….belakangan ini di perguruan tinggi diperkenalkan apa yang disebut sebagai soft skills dan life skills……ini dekat dengan EQ…..namun belum dimasukkan sebagai kurikulum….padahal sebenarnya ketika dosen sedang menyajikan isi kuliahnya bisa disisipkan beragam asepek E-SQ konteksnya dengan materi kuliah…..mahasiswa tampaknya senang dengan cara seperti itu….karena riil dalam bentuk contoh-contoh……
Januari 26, 2009 at 1:38 pm
betul bung boyin….ketika masa percobaan, para karyawan baru melakukan orientasi awal dan pasca orientasi….disitu memang diperlukan pemantauan dan bahkan penilaian performanya….lalu timbullah umpan balik untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan karyawan dan mungkin pendekatan-pendekatan manajemen yang efektif…… btw kenyamanan kerja di tiap organisasi apapun sebenarnya bisa dikondisikan……asalkan programnya jelas mulai dari manajemen penempatan,pelatihan-pengembangan,kompensasi,manajemen kepemimpinan partisipatif, karir,……tentunya dengan dukungan manajemen puncak…..
Januari 26, 2009 at 1:58 pm
betul mas yariNK…..model keseimbangan sangat diperlukan dalam penerapan IQ dan EQ…….cuma alat ukurnya untuk bisa menilai keseimbangan tidaklah mudah….mulai dari penentuan kriteria sampai bobot dan skor setiap elemen masing-masing quotient…….kemudian kesulitan akan semakin tampak lagi ketika akan mengukur keseimbangan dalam menghadapi tiap persoalan yang begitu beragam…..jadi makna keseimbangan disini lebih pada pernyataan kualitatif dan normatif…..bisa jadi ukuran keseimbangan setiap individu berbeda…..btw tentang formulasi SQ yang ada tampaknya lebih bersifat umum yakni bicara perilaku manusia kontekstualnya dengan kehidupan berbasis ketuhanan dan kemanusiaan….kalau bicara dalam prakteknya lagi-lagi tidaklah mudah diukur…..apalagi yang menyangkut sisi transcendental yakni di luar pemahaman,pengertian, dan pengalaman manusia……dan pada dasarnya manusia itu dhaif termasuk tidak jarang timbul kelabilan……namun ada yang menarik diungkapkan yakni formula keseimbangan IQ dan E-SQ menurut Ary Ginanjar Agustian (Panduan Presentasi ESQ)……yang mungkin bisa saja menjadi bahan diskusi yakni seseorang disebut buta hati kalau IQ baik namun E-SQ rendah….manusia jadi diktator/koruptor (?) kalau IQ dan EQ baik namun SQ rendah……..manusia bisa jadi petapa kalau IQ dan EQ rendah dan SQ baik……dan manusia paripurna ESQ kalau ketiga quotient semuanya baik…..ada yang belum diungkapkan kalau semua quotient rendah maka manusia itu jadinya seperti apa?…….
Januari 26, 2009 at 2:03 pm
ya kang cucu haris……keseimbangan hidup sama maknanya dengan keseimbangan I-E-SQ…….dalam prosesnya setiap individu punya metodenya masing-masing……betul juga tidak sedikit perusahaan atau organisasi menginginkan para karaywan yang direkrutnya memiliki kemampuan dan pengalaman berorganisasi……tetapi tentunya juga yang cerdas ya…….btw walau saya pasif tapi saya selalu mengikuti milis blogor lho…..dan terlihat aktifitasnya cukup banyak ya…..salam semangat……
Januari 28, 2009 at 12:02 am
[…] Tulisan asli dari artikel ini dan artikel tentang MSDM lainya dapat juga diakses melalui: IQ DAN E-SQ DI DUNIA KERJA […]
Januari 28, 2009 at 2:19 am
Ass Pak Sjafri : Masih banyak perusahaan2, terutama perusahaan besar menempatkan IQ dalam hal ini IPK diatas rata-rata sebagai syarat mutlak untuk melamar pekerjaan. padahal menurut saya EQ dan SQ yang baik juga mutlak diperlukan oleh seseorang karena merupakan softskill yang dapat selalu diasah untuk perbaikan diri dan perusahaan tentunya… karena orang yang pintar tetapi “kuper” juga buat apa? padahal untuk saat ini diperlukan orang-orang yang pintar ber”networking”… oleh karena itu IQ, EQ dan SQ harus sejalan… Benar ga Pak Sjafri ? atau harus ada yang didahulukan antara IQ,EQ dan SQ didalam dunia kerja pak?
Januari 28, 2009 at 3:02 am
mengelola kecerdasan spiritual itu sifatnya fluktuatif naik turun jadi menurut Ary ginanjar Agustian dalam ( ESQ 165) sebaiknya selalu ada penyegaran sebagai contoh dalam islam gimana rasanya kedekatan hati kita kepada sang Khaliq ketika habis Romadhon bahkan rasanya bersih banget hati ini semangat kerja luar biasa benar yakin untuk ibadah, tetapi coba jika dibaiarkan tanpa ada penyegaran misal puasa senin kamis, mengunjungi panti yatim piatu, pesantren, pengajian, atau ibadah yang lain, maka nilai kepekaan tumpul kembali bisa jadi ya kecerdasan spiritualnya menipis terlalu lama menunggu ketemu romadlon lagi ha ha ha , kata kuncinya konsisten dijaga meskipun fluktuatif naik turun tetapi masih mendekati rata-rata. terima kasih Pak Syafri pencerahaannya terutama teorinya Daniel Goleman. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Januari 28, 2009 at 10:18 am
Saya pernah Pak ikut training ESQ Ari ginanjar selama 3 hari. sebelum ikut saya melihat biayanya mahal banget, tahun 2005 sekitar 1,5 juta. tetapi setelah selesai saya menyadari ternyata luar biasa Pak, jadinya ga kerasa ga mahal..mungkin ga Pak ada alat untuk mengukur ESQ seperti IQ sehingga seleksi karyawan tidak hanya berdasarkan test psokotes dan FGD saja. terima kasih Pak.
Januari 29, 2009 at 1:04 pm
ok bung aris
Januari 29, 2009 at 1:07 pm
ya riesta……idealnya ketika penyeleksian karyawan baru maka diperlukan alat ukur yang obyektif…….ketika alat ukur E-SQ belum ada maka perlu ada prioritas yakni dengan IQ sebagai indikator awal penentuan karyawan baru…..baru kemudian para karyawan baru dilatih tidak saja yang menyangkut ketrampilan teknis tetapi juga tentang E_SQ………
Januari 29, 2009 at 1:13 pm
betul mas cahyono…..analog dengan aki mobil….ketika sedang lemah maka perlu dicharge……begitu juga manusia……semakin jauh bergaul atau bersosialisasi dengan dengan orang-orang yang ber-SQ tinggi dan sebaliknya lebih dekat dengan kelompok-kelompok yang berE-SQ rendah maka cenderung seseorang semakin lupa dan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang buruk…….dengan kata lain sensitivitas terhadap kepedeulian pada lingkungan semakin rendah…….maka betul ketika sifat manusia yang dhaif dan labil maka diperlukan penyegaran bahkan hijrah ke area pengembangan diri E-SQ yang lebih tinggi secara intensif…..
Januari 29, 2009 at 1:17 pm
ya andi….saya sendiri belum tahu apa alat yang dipakai untuk mengukur EQ……mungkin ahli psikologi agama bisa melakukannya…..lebih-lebih SQ….apakah untuk itu dilihat dari perilaku status al-haj, ulama, sholatnya, sedekahnya,kemanusiaannya….dst…wallahualam……
Februari 2, 2009 at 2:41 pm
Perguruan tinggi dalam ranking di atas juga harus bertanggungjawab atas terjadinya degradasi moral para pejabat / pengusaha (yang notabene adalah lulusan PT bonafit di atas).
Unsur KKN secara nyata dapat dilihat pada:
1. Pejabat umumnya melakukan pendekatan dengan PT untuk tujuan networking dan keamanan jabatannya, dg cara memberikan proyek2 ke PT atau anak usahanya. Juga bagaimana seorang pejabat tinggi negara/perusahaan nggak bisa menolak kalau almamaternya minta dia untuk memberi kuliah umum!
2. Sarjana fresh graduate di PT tsb dapat dg mudah diterima di suatu perusahaan/instansi karena pimpinan perusahaan/instansi itu adalah alumnus PT yang sama. Hubungan ewuh-pakewuh masih kental di sini. Dengan ‘segala cara” rekrutmen dilaksanakan, mulai dg konsep2 link and match, magang, dll. Sudah menjadi rahasia umum kalau kita nggak punya “channel” maka akan sulit menembus “barrier”. Hanya job pada posisi atau bidang tertentu yang memang tidak dimiliki oleh para alumnus dari PT tsb yang tersisa untuk PT under-dog.
Kalau mau jujur……..
Februari 2, 2009 at 7:22 pm
ada benarnya bung bodong……kkn tidak mengenal tebang pilih…..itu bisa terjadi dimana dan kapan saja…..termasuk oleh kalangan perguruan tinggi apapun….karena disitu ada manusia yang mutu sdmnya sebatas pada iq; tidak plus eq dan sq……mana yang kuat dan punya jejaring kerjasama dengan dunia kerja…… jelas merekalah yang bakal tampil di depan…..di sisi lain sebenarnya perguruan tinggi yang tidak termasuk kelas “ekselen” tidak harus merasa sulit maju….lalu bagaimana?….ya kembangkan kurikulumnya….kembangkan program-program pengembangan jejaring……termasuk kembangkan mutu alumninya…..untuk meraih daya saing yang tinggi di pasar kerja….
Oktober 24, 2009 at 7:42 pm
Berbagai tipe atau jenis kecerdasan itu memang banyak ya. Sekarang malah muncul istilah baru yaitu kecerdasan holistik 🙂 Atau apakah semuanya bermuara pada kecerdasan spiritual?
Oktober 27, 2009 at 10:56 pm
adek…tidak ada kejelasan tentang itu….kesemua kecerdasan itu seharusnya sebagai suatu model atau sistem kecerdasan….
Agustus 1, 2013 at 9:07 am
I treasure the content on your web sites. Thanks a ton.