Dalam survei Doing Business 2009 yang dibuat oleh International Finance Corporation (IFC) di 181 negara, Indonesia berada pada urutan 129. Survei yang dilakukan terhadap 10 indikator berusaha, yaitu starting a business, dealing with construction permits, employing workers, registering property, getting credit, dan protecting investor. Selain itu paying taxes, trading across borders, enforcing contract serta closing a business. Dari kesepuluh indikator tersebut, Indonesia hanya mengalami kemudahan berusaha dalam hal getting credit, yakni kemudahan memperoleh kredit yang merupakan buah kerja Bank Indonesia yang mememberikan kemudahan dan informasi institusi keuangan, termasuk profil risiko peminjam.

 

Posisi Indonesia berada jauh di bawah Thailand yang menduduki peringkat 13, Malaysia di urutan 20, dan Vietnam posisi ke 92. Indonesia hanya sedikit di atas Kamboja dengan peringkat 135 dan Filipina dengan urutan 140. ASEAN perlu berbangga karena negeri jiran, Singapura, mempertahankan posisinya di peringkat pertama, disusul urutan berikutnya Selandia Baru, AS, Hong Kong, dan Denmark. Apa kaitan urutan kemudahan berusaha dengan pelayanan prima khususnya di Indonesia?

 

Alasan sangat klasik terjadinya keterpurukan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia itu yaitu tidak efesiennya birokrasi. Sudah merupakan hal yang tidak aneh kalau selama ini pelayanan birokrasi menjadi biang kerok lemahnya kemudahan berusaha. Proses perizinan yang masih panjang dan berbelit-belit plus pelicin atau nutrisi yang harus diberikan kepada sang ”pelayan” bukan berita yang ”luar biasa” lagi. Pantas saja dengan model pelayanan ini menambah panjang sulitnya berbisnis di bumi Indonesia ini. Perizinan bisnis sudah berubah menjadi transaksi bisnis atau bisnis balas jasa. Birokrat yang seharusnya melayani (aktif) publik berubah menjadi dilayani (pasif) publik.

 

Kalau tidak dilayani mohon mengerti saja, apa yang bakal terjadi. Proses perizinan bakal semakin panjang dan lama. Sekarang saja izin berusaha baru bisa keluar setelah makan waktu tiga bulan lebih.Akibatnya bisa ditebak, terjadilah biaya ekonomi tinggi. Bandingkan dengan Singapura, misalnya, cukup dengan waktu tidak sampai dua jam izin keluar. Begitu pula di negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand, keluarnya izin berusaha hanya membutuhkan waktu kurang dari sebulan. Nah, yang membuat detak jantung terkagum-kagum kenapa Thailand yang kondisi politiknya sering memanas namun izin berusaha relatif demikian mudahnya yakni tidak sampai dua minggu.

 

Lalu bagaimana sebaiknya di Indonesia? Idealnya ya pangkas saja birokrasi itu. Sederhanakan saja proses perizinannya. Tindak saja pelayan yang nakal itu. Bla…bla…bla. Wow pelaksanaannya tidak semudah ucapannya Semua perilaku (SDM) sudah berlangsung sangat lama. Sudah mengeras seperti batu karang. Namun optimislah, mengapa tidak kita coba saja mengikisnya sejak sekarang. Masih ada harapan ketimbang sesalan. Pelayanan birokrasi melalui peningkatan mutu SDM para petinggi dan pegawainya, reformasi proses perizinan, dan dukungan peningkatan jumlah dan mutu infrastruktur mudah-mudahan lambat laun kemudahan berusaha di Indonesia semakin baik .