Saya percaya tiap orang pernah panik. Terjadi pada semua umur. Mulai dari yang enteng sampai yang berat. Mulai dari lingkup kepanikan yang relatif sempit sampai ke yang luas dan berefek ganda. Pernahkah anda mendengar atau melihat seorang bapak/ibu sepuh atau anda sendiri berteriak panik mencari kacamatanya? Padahal dia atau anda sedang memakainya? Pernahkah anda berada di gedung bioskop lalu ada info kebakaran di gedung itu? Pasti sebagian besar penonton akan panik berebutan untuk keluar. Nah, sekarang dalam konteks kriris moneter global, siapakah yang terkena panik mulai dari yang ringan sampai yang sangat serius?
Masih ingatkah apa yang terjadi pada bangsa Indonesia ketika (Juli 1997-1998) terjadi krisis moneter di Asia khususnya Asia Tenggara? Ketika itu nilai rupiah merosot tajam sampai pernah 15 ribu rupiah perdolar AS dari 2.200 rupiah perdolar AS; inflasi meningkat mencapai sekitar 300 persen; PHK besar-besaran karena banyak perusahaan yang kolaps; dan kerusuhan sosial utamanya di ibukota negara. Akibat dari kondisi itu bangsa begitu paniknya khususnya pimpinan nasional. Atas desakan bertubi-tubi dan begitu gencarnya tuntutan dari para mahasiswa, mendorong Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden.
Akankah terulang lagi pengaruh krisis moneter dunia sekarang ini pada kehidupan bangsa seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998? Mudah-mudahan tidak. Namun kepanikan tetap saja ada. Misalnya ketika sebagian besar negara-negara mengantisipasi dengan menurunkan tingkat suku bunga namun Bank Indonesia sebaliknya. BI menaikkan BI rate menjadi 9,50%. Tujuannya agar pelarian uang tidak terjadi dan sekaligus berharap banyak dolar mengalir ke Indonesia. Efektifkah tindakan BI tersebut? Ternyata tidak. Dari beberapa sumber pada bulan ramadhan kemarin, sebelum idul fitri, dana yang diperkirakan keluar dari Bursa Efek Indonesia mencapai 22 triliun rupiah. Di sisi lain, modal asing yang disimpan di SBI telah menurun mendekati 30 triliun rupiah. Selain itu bunga bank umum ikut naik dan akan berpengaruh pada kemampuan investasi sektor riil. Belum lagi dikhawatirkan terjadi kredit macet sehingga NPL akan semakin merambat naik pula. Bagaimana dengan posisi cadangan kita? Tidak ada yang tahu persis. Konon sekitar 57 milyar dolar AS. Bisa dikatakan bahwa cadangan devisa masih aman. Padahal kalau info ini masih tertutup rapat dalam waktu yang lebih lama dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan baru di pasar uang. Selain itu IHSG juga mengalami penurunan tajam.
Apa yang terjadi pada fenomena ekspor komoditi Indonesia khususnya ke Amerika Serikat? Karena Amerika sendiri sedang mengalami resesi maka jelas saja nilai volume ekspor Indonesia ke negeri paman Sam itu akan tersendat-sendat. Hal ini nantinya akan membuat bentuk panik yang lain yakni terganggunya transaksi berjalan di masa depan. Kemungkinan besar Indonesia bakal mengalami defisit. Ini berarti kta tidak mampu meraup devisa yang besar dari ekspor.
Mengapa bisa panik? Secara teoretis kepanikan timbul kalau seseorang atau lembaga tertentu tidak memiliki kapabilitas termasuk pengetahuan dan jalan keluar yang memadai untuk menghadapi turbulensi. Dalam arti bahwa sumberdaya yang ada tidak cukup mampu digunakan untuk mencari pilihan terbaik. Selain itu kalau seseorang atau lembaga tidak melakukan antisipasi seandainya terjadi guncangan eksternal. Karena itulah untuk mengurangi rasa panik, ketika menyusun suatu kebijakan pembangunan termasuk kebijakan moneter dan ekonomi maka harus sudah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya turbulensi eksternal. Tidak ada salahnya melakukan benchmarking pada negara-negara lain yang menyangkut dua kebijakan itu.
Asumsi-asumsi yang digunakan bahwa segalanya berjalan normal dan penuh kepastian tidaklah realistis. Misalnya pengembangan ekspor hanya dilakukan ke satu-dua negara besar saja yang dianggap relatif stabil seharusnya sudah mulai ditinggalkan. Harus sudah punya program jangka panjang pentingnya ekspansi pasar ke berbagai negara lain. Di sisi produksi maka sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan perizinan usaha dan ekspansinya dengan memangkas birokrasi yang panjang. Harapannya adalah agar ekonomi biaya tinggi bisa ditekan. Bersamaan dengan itu setiap perusahaan hendaknya mampu melakukan efisiensi dalam meningkatkan daya saingnya. Kalau semua itu bisa berjalan efektif maka berarti kepanikan yang mungkin timbul di kalangan karyawan tentang isu pemutusan hubungan kerja akan bisa ditekan.
Dari uraian di atas maka ada lesson learned bahwa kalau ada turbulensi eksternal maka setiap komponen bangsa ini janganlah cepat panik berlebihan. Sangat setuju sekali. Namun di sisi lain jangan pula kita berperilaku tidak panik berlebihan. Kalau itu terjadi sangatlah tidak realistis. Atau dengan kata lain kita pasrah pada keadaan. Akibat lanjutannya kita tidak berbuat apa-apa. Yang penting secara normatif dan idealnya wajar-wajar sajalah dalam menghadapi kepanikan. Artinya turbulensi adalah suatu fenomena yang given. Tidak mudah dikendalikan seketika. Perlu waktu yang cukup untuk berhasil asalkan optimis dan jauhkan spekulasi.
Oktober 21, 2008 at 7:45 pm
Bangsa yang panik adalah bangsa yang tidak mau belajar dari pengalaman yang dihadapi.Krisis moneter yang ada sekarang bukan saja membuat panik kita tetapi juga amerika itu sendiri.Suntikan dana berupa bale out 700 milyar di amrik belum tentu segera memperkecil kepanikan dengan segera.Semoga bangsa kita tidak panik berkelanjutan.
Oktober 21, 2008 at 9:13 pm
betul bung johan…….sasaran utama untuk memperkecil kepanikan seharusnya fokus pada beberapa hal antara lain…..suku bunga yang relatif rendah untuk menghindari kenaikan inflasi…….pengembangan sektor riil……peningkatan produktifitas…..pengembangan diversifikasi ekspor…….
Oktober 22, 2008 at 3:48 am
Kepanikan betul akan terjadi pada siapapun termasuk pemerintah.Disini tampak bahwa antisipasi seharusnya jauh lebih penting daripada pendekatan berpikir dan bertindak seketika.Tujuannya memperkecil kerugian sos-ek kalau ada goncangan dari luar.
Oktober 22, 2008 at 4:44 am
pakk Sjafri, kalo sbg pemerintah lebih baik menjelaskan kondisi yg sebenarnya kpd rakyat, atau menutupinya (segawat apapun kondisinya) supaya rakyat jg tdk ikut-ikutan panik? itu kalo dlm lingkup yg besar (pemerintahan), kalo dlm lingkup yg lebih kecil misal:keluarga, apabila trjdi sesuatu yg bisa membuat panik seluruh anggota klrga, lebih baik ditutupi atau kita jelaskan kondisi yg sebenarnya?
Oktober 22, 2008 at 5:30 am
Selain beberapa hal yang prof sampaikan ke bung johan Bagaimana dengan effektifitas penerimaan dari sumber -sumber dalam negeri Prof seperti effektifitas pengenaan pajak (Tx) dengan berbagai komponennya, mengejar uang – uang yang dibawa kabur koruptor BLBI dan lain – lian untuk disetorkan ke negara Ha ha ha, ada juga solusi selain Tx, pengetatan (Effisiensi) pengeluaran Pemerintah (G) penentuan skala prioritas program,….tidak ada salahnya pemerintah merevisi program – programnya /kegiatan-kegitannya dalam APBN meskipun ini tidak populer. tapi apa mungkin ya Prof ….2009 kan pemilu …. maaf prof ngelantur
Oktober 22, 2008 at 5:42 am
Assalamualaikum,
Pak Syafri Yth,
Saya , Avis, pernah tercatat sebagai mahasiswa di kelas Bapak di MBIPB. Walau tidak sempat bertatapan secara langsung saya mengikuti pemikiran yang tertuang di Blog ini, dan tentu saja sangat tertarik dengan setiap ulasan yang diposting.
Kebetulan saya ini saya sedang mengembangkan portal komunitas Pengembangan SDM di http://www.indosdm.com. Karena saya sadari sangat sedikitnya tulisan tentang SDM yang ditulis dalam bahasa indonesia sampai saat ini, padahal begitu banyak orang yang sangat haus tulisan-tulisan tersebut dan tulisan bermutu seperti yang bapak tulis.
Bila Bapak berkenan saya mohon ijin untuk bisa me reposting setiap tulisan bapak di blog ini untuk juga ditayangkan di Website kami.
Wassalam,
Avis
Oktober 22, 2008 at 1:06 pm
ya mbak avita….kepanikan adalah fenomena alami….tinggal lagi kita mau hadapi atau kita tinggalkan……yang terbaik adalah cari solusi…sejauh mungkin memang haris sudah diantisipasi…..
Oktober 22, 2008 at 1:11 pm
bung fajar….dengan semakin perlunya pemerintahan yang transparan dan akuntabilitas….maka ketertutupan justru akan menimbulkan kecurigaan besar di kalangan khalayak….timbul ketidakpuasan…..ingat kan sewaktu era orde baru….banyak kejadian gerakan tutup mulut….dan gerakan pembungkaman pers….akibatnya apa?….meledak ketika rejim itu jatuh….dan kran demokrasi dibuka…..btw di keluarga, semakin dewasa suatu anggota keluarga,semakin terbuka setiap persoalan untuk dibicarakan bersama……
Oktober 22, 2008 at 1:15 pm
mas cahyo….apa yang anda katakan bisa saja dilakukan….namun justru ketika kondisi inflasi sedang meningkat maka perlu dikaji apakah pajak pendapatan/penghasilan pegawai menengah kebawah justru diturunkan?…….revisi anggaran bisa saja dilakukan namun harus selektif….jangan justru menimbulkan penghentian proyek-proyek investasi….kalau perlu ada gerakan kencangkan ikat pinggang……
Oktober 22, 2008 at 1:20 pm
bung avis……saya sudah sempat visit portal anda….bagus sekali….btw silakan mereposting artikel saya tentang msdm dan sdm…..dengan senang hati…..
Oktober 22, 2008 at 1:30 pm
Kepanikan yang terjadi di masyarakat luas makin menjadi-jadi kalau pemerintah pun panik. Karena itu disamping pendekatan psikologis sosial juga pemerintah perlu segera menangani hal-hal; yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat luas.
Oktober 22, 2008 at 1:53 pm
Prof,
Syukron Katsiran … hatur nuhun pisan Pak..atas kesediaan memberikan ijin pemuatan posting tentang SDM dan MSDM di portal kami. Semoga keikhlasan Bapak, membuahkan amal jariah buat Bapak..dan menambah wawasan dan ilmu yang bermanfaat bagi yang membacanya.
Segera akan Saya “cicil” untuk mereposting posting-posting yagn sangat berharga ini.
Salam hangat dari Bojong Gede,
Avis
Oktober 22, 2008 at 8:46 pm
ya mbak kur….analog dalam suatu keluarga….kalau bapaknya panik…..isteri dan anak-anaknya serta seisi rumah ikut panik…….betul salah satu pendekatan mengurangi kepanikan dari krisis moneter global adalah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok…..jumlah,harga, dan distribusi yang tepat……..tentunya paralel dengan pendekatan makro moneter dan eonomi…….
Oktober 22, 2008 at 8:47 pm
sami-sami bung avis…..tentunya dengan menyebutkan nama sumbernya….sukses….
Oktober 23, 2008 at 10:47 pm
Mengutip tulisan Betti Alisjahbana bahwa ternyata krisis menuntut kepemimpinan yang tegar, tenang dan bisa menjaga keseimbangan antara mencurahkan segala daya dan upaya untuk mengatasi krisis di satu sisi, melokalisasinya sehingga tidak menjalar, namun menjalankan kegiatan secara normal di bagian lain seakan-akan tidak ada krisis. Hal tersebut menjadi penting karena bila kita hanya fokus pada pemecahan krisis saja, tanpa melokalisasinya dan tanpa meyakinkan bahwa di bagian lain organisasi tetap berjalan baik, maka seluruh organisasi dapat terlibas oleh krisis.
Selamat berkarya Pak, terus semangat demi perbaikan bangsa:-)
Oktober 24, 2008 at 8:18 am
mbak cepi….betul setiap krisis membutuhkan adanya kepemimpinan yang tidak panik dan siap mencari solusi dengan bertanggung jawab…..selain itu dalam mengatasi krisis diperlukan optimalisasi sumberdaya tanpa harus ada turbulensi internal…..termasuk konsolidasi internal anatara lain dengan koordinasi intensif……
Oktober 27, 2008 at 11:45 pm
[…] Tulisan asli: MANAJEMEN PANIK VS KRISIS MONETER GLOBAL […]
Oktober 28, 2008 at 1:23 am
oke indosdm….