Menurut Badan Pusat Statistik dan Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2007 ini tercatat warga buta aksara mencapai 18,1 juta orang dan sekitar 4,35 juta diantaranya tergolong usia produktif (15-44 tahun). Sementara, yang di atas 44 tahun terdapat 13,4 juta orang. Yang tragisnya dari semua yang buta aksara tersebut sebanyak 70 persen adalah perempuan. Bisa diduga angka-angka ini berpengaruh terhadap peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia.
Seperti diungkap Wikipidia (25 Desember 2007), pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan indeks 0.697, turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia (urutan 61/0.796), Thailand (urutan 73/0.778), Filipina (urutan 84/0.758) dan Vietnam (urutan 108/0.704).Pada tahun 2006 Indonesia mengalami kemajuan dengan angka IPM mencapai 0.711 dan berada diurutan 108, mengalahkan Vietnam yang mempunyai nilai 0.709. Kecenderungan dari angka IPM Indonesia adalah terus menerus naik (0.677 pada 1999, 0.697 pada 2005, dan 0.711 pada 2006) dan semakin mempersempit ketinggalanya dibanding negara-negara lain. Pada tahun 2007 angka IPM Indonesia kembali naik menjadi 0.728. Laporan ini dikeluarkan oleh UNDP pada 27 November 2007, Indonesia berada pada peringkat 108.Batasan untuk klasifikasi negara maju adalah nilai IPM diatas 0.800.
Dalam keadaan IPM Indonesia yang masih dibawah standar negara maju maka pertanyaannya apakah untuk mendongkrak angka indeks, termasuk rendahnya tingkat melek huruf, tersebut semata-mata harus dilakukan oleh pemerintah saja? Seharusnya tidak demikian. Karena sifatnya jangka panjang maka kepedulian semua komponen masyarakat sangat dibutuhkan. Mulai di tingkat rumahtangga sampai nasional. Tidak ada salahnya, misalnya, kalau ada asisten rumahtangga yang buta aksara kemudian oleh sang majikan dikirim ke tempat kursus. Bisa juga dilakukan kalau di rumah ada anggota keluarga yang bisa menyempatkan diri untuk mengajarkan tentang aksara kepada asisten rumahtangga tersebut. Begitu pula posyandu (pelayanan terpadu) di tingkat desa atau kelurahan seharusnya bisa mengadakan kursus semacam itu. Dengan demikian semua kegiatan dapat digolongkan sebagai sebuah gerakan moral.
Bagaimana peran perusahaan dalam hal ini? Peran perusahaan dalam ikut meningkatkan kesejahteraan sosial dan lingkungan diwujudkan dalam bentuk Tanggung Jawab Sosial Korporat (TJSK) atau Corporate Social Responsibility. Perusahaan diposisikan bukan saja sebagai entitas bisnis semata tetapi juga sebagai anggota sistem sosial. Tidak saja sekedar sebagai kegiatan ekonomi untuk meningkatkan keuntungannya tetapi juga perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. Karena itu harus disadari pula keberlangsungan hidup perusahaan sangat ditentukan oleh dimensi sosial. Banyak fakta membuktikan bahwa masyarakat bisa berperilaku resistensi ketika suatu perusahaan mengabaikan unsur-unsur sosial dan lingkungan. Karena itu program-program yang dapat dilakukan oleh perusahaan bukan saja dalam bentuk memberikan bantuan langsung dana kepada pihak lembaga penyelenggara pemberantasan buta aksara. Namun dapat pula mendirikan pusat-pusat kursus buta aksara plus segala fasilitasnya di sekitar perusahaan. Termasuk juga memberikan pelayanan pelatihan bagi para instruktur kursus buta aksara.
Pada umumnya mereka yang buta aksara adalah dari golongan miskin. Mereka, disamping mutu sumberdaya manusianya rendah, juga tidak memiliki akses finansial, teknologi, dan pasar dalam kegiatan ekonomi. Karena itu sebaiknya perusahaan yang menerapkan TJSK perlu melihat akar persoalan terjadinya penduduk yang mengalami buta aksara yakni kemiskinan. Mereka miskin karena buta aksara dan mereka buta aksara karena memang miskin. Untuk itu perlu diterapkan model kursus yang terintegrasi dengan kegiatan eknomi. Artinya setelah warga menyelesaikan kursus, termasuk ketrampilan, mereka sudah disiapkan untuk menjadi wirausaha kecil mikro plus kredit sangat lunak disertai supervisi intensif. Dengan demikian yang dilakukan oleh perusahaan adalah selain memberi cara mengail ikan juga plus alat kailnya.Secara gradual derajad kebergantungan mereka diharapkan bakal semakin menurun. Dengan kata lain itu terjadi akibat proses pembelajaran yang menciptakan kreatifitas dan motivasi berwirausaha, serta jiwa mandiri di kalangan penduduk. Bukan belas kasih semata.
Desember 28, 2007 at 2:13 am
CSR itu sudah diwajibkan di INdonesia atau belum sih PAk…?
Muga klo CSR berjalan, Indonesia bisa lebih baik lagi.
Desember 28, 2007 at 9:19 am
seringkali CSR itu salah alamat atau hanya memikirkan brand image produknya tanpa memikirkan kegunaannya bagi masyarakat.
sekali lagi kembali kepada niat para owner apakah melakukan CSR atas dasar hati nurani atau kepentingan bisnis semata.
Desember 28, 2007 at 8:11 pm
nurussadad; CSR secara eksplisit belum menjadi keharusan…hanya bersifat himbauan dan sukarela…namun demikian ada perusahaan yang mengklaim hal itu sudah dilakukan misalnya pemberian sumbangan yang sifatnya ad-hoq atau dadakan….tidak sebagai bagian dari rencana perusahaan…dan ada juga yang mengatakan sudah dilakukan dalam bentuk community development…..
Desember 28, 2007 at 8:18 pm
benar bung ridwan…..salah satu diterapkannya CSR agar perusahaan tersebut memiliki reputasi yang semakin tinggi…..citra bisnis semakin signifikan di pasar…..namun agar lebih berakar seharusnya memang kegiatan CSR sudah merupakan bagian dari rencana strategi bisnis…artinya CSR sudah meupakan bagian dari niat luhur perusahaan yang tercermin dari visi dan budaya perusahaan………
Desember 29, 2007 at 11:25 pm
Wah rupanya di negeri ini yang perlu diberantas bukan hanya buta huruf saja ya, tetapi juga buta hati para pengusaha dan top eksekutif untuk terlibat dalam pengembangan sosio-ekonomi di tengah masyarakat.
Sebuah problematika yang menjadi lebih rumit……
Desember 30, 2007 at 1:31 pm
kang YariNK,itulah yang namanya kemiskinan nurani…..menumbuhkan solidaritas sosial rupanya di Indonesia harus dibangun via regulasi….bukan karena kesadaran diri…..
Desember 30, 2007 at 2:03 pm
Hasil penelitian chambers dkk di 7 negara Asia terhadap 50 perusahaan peringkat dari tiap negara menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling rendah dalam penetrasi pelaksanaan CSR dan derajad keterlibatan komunitasnya. Dunia usaha di Indonesia masih melihat CSR sebagai beban tambahan bagi mereka. Isu ini pernah mengemuka ketika UU Perseroan terbatas disahkan DPR dan isinya menyatakan bahwa perusahaan wajib menganggarkan CSR layaknya pajak yang merupakan salahsatu komponen biaya perusahaan. Namun masih banyak perusahaan yang beranggapan bahwa masalah sosial bukan urusan mereka karena untuk biaya operasional perusahaan saja mereka harus hutang kesana kemari.
Perusahaan yang sudah melakukan CSR umumnya masih ditujukan kepada komunitas di sekitar perusahaan (pabrik, industri) beroperasi, sebatas filantropi. Namun sudah ada juga perusahaan yang melakukan CSR dalam konteks yang lebih luas, seperti BNI, Telkom, dll. Tapi repotnya ada juga perusahaan, Freeport yang sudah melakukan CSR tapi tetap dituntut untuk ditutup oleh 7 suku di Papua. Apakah sudah ada penelitian tentang CSR diIndonesia yang melihat dari dimensi perusahaan dan khalayak dan dapat menjamin bahwa dengan CSR suatu bisnis di suatu komunitas akan terjamin keberlanjutannya? atau sebaliknya memang CSR ini mutlak diperlukan (seperti halnya kasus sampah di Bojong)?
Desember 30, 2007 at 2:11 pm
Indikator untuk mengukur IPM diantaranya adalah harapan hidup, keaksaraan, dan ekonomi. Hanya di harapan hidup perempuan lebih panjang usianya dari laki-laki (mungkin karena lebih sabar kali ya). Untuk keaksaraan rataan pendidikan perempuan lebih rendah dari laki-laki. untuk ekonomi perempuan dibayar lebih rendah dan partisipasi angkatan kerjanya juga rendah. kesenjangan gender. Nah ini semua memang berkontribusi dalam IPM Indonesia yang kini berada pada urutan 108 dari 177 negara yang diteliti.
untuk mengatasi isu kesenjangan gender ini DikbudNas sudah mengadakan program percepatan pemberantasan buta aksara khusus
perempuan dan KUKM juga mengadakan kerdit perkasa (khusus perempuan). Menurut saya sih kalau memang negara ini mau cepat maju perbaiki kualitas sdm perempuan, karena sangat potensial dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga mereka dan juga masyarakat. Selamat memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender prof.
Desember 31, 2007 at 12:00 am
terimakasih AVH atas ulasannya yang bagus…..ya sebagaian perusahaan tampaknya segan memasukkan CSR ke dalam biaya produksi…aliran ini menyebutkna bisnis is bisnis…..tentang CSR perkara lain…itu mah sukarela saja…kalau dimasukkan bisa-bisa overhead costnya semakin tinggi….tetapi BI misalnya menempatkan CSR sebagai hal yang sangat strategis…sampai-sampai mengadakan lomba cipta lagu BI bertemakan seberapa jauh peran BI dalam program-program CSR….btw mahasiswa pascasarjana bimbingan saya program studi komunikasi sedang menyiapkan proposal risetnya tentang kaitan efektifitas komunikasi dengan keberhasilan CSR di Papua….
Desember 31, 2007 at 12:09 am
ya AVH, setuju kaum perempuan ditingkatkan kesejahteraannya seperti juga dilakukan kepada kaum lelaki…namun suatu ketika isu atau dikotomi lelaki dan perempuan seharusnya tidak menjadi fokus pembangunan yang terkesan eksklusif…..ketika pemerintah menyiapkan pengembangan SDM berarti seharusnya sudah eksplisit bakal memfokuskan perhatiannya pada SDM baik lelaki maupun perempuan….begitu pula manakala kesetaraan pengembangan gender sudah terwujud…..dikotomi seperti itu dirasa tak perlu lagi…
Januari 31, 2008 at 3:59 am
Melalui program wajardikdas 9 tahun, sebetulnya merupakan upaya preventif berkembangnya penduduk buta huruf (usia >15 tahun), secara umum kondisi yang ada saat ini mayoritas berada peda usia penduduk diatas 45 tahun. Kondisi ini intervensi yang perlu dilakukan oleh pemerintah maupun stakeholder lain adalah program keaksaraan fungsional atau sejenis melalui pendekatan kelompok minat yang ada dilingkungannya, yang diawali oleh upaya penggerakan para tokoh masyarakat/agama agar lebih peduli terhadap pendidikan terutama masalah para penyendang buta aksara.Tks
Januari 31, 2008 at 9:21 am
sependapat mas maryono; khususnya bagi mereka yang berada di usia produktif…namun tak punya peluang untuk memperoleh fasilitas belajar….dengan cara program keaksaraan fungsional, agar setelah itu mereka semakin trampil dan mampu mandiri dalam bergiat di bidang usaha…..
Juli 7, 2008 at 8:44 am
Saudara/i Penulis
Kalau berminat, kami mengundang anda mengikuti lomba tulis wartawan “Pendidikan Keaksaraan”,dengan mengirim karya tulis yg telah dipublikasikan (dgn bukti fisik publikasinya)ke Subdit Pendidikan Keaksaraan Komplek Depdiknas Gdg E lt 6 Jl Jend. Sudirman JKT, paling lambat tanggal 31 Juli 2008
Wass
Kasubdit pend. Keaksaraan
( hismadi@yahoo.com )