Pernahkah kita melihat tingkah laku karyawan yang aneh tapi nyata? Yakni yang senang mengumbar tentang kehebatan dirinya. Hampir di setiap kesempatan selalu membanggakan diri dan ambisi berlebihan. Perilaku seperti itu bisa terjadi dimana saja dia berada tidak terkecuali di lingkungan pekerjaannya. Misalnya, dia tampilkan kehebatan tingkat kekuasaan, pendidikan, dan prestasi ketimbang orang lain. Bisa jadi juga timbul karena pujian-pujian dan penghargaan yang berlebihan yang diperoleh dari atasannya. Ciri narsistik yang cenderung mengganggu lingkungan kerja adalah merasa dirinya paling “besar”.
Gangguan karyawan yang bersifat narsis akan terjadi manakala dia hanya berbicara sisi kehebatan dan kelebihan. Kalau sudah begitu dia akan merasa dirinya yang paling jago. Tidak ada yang lain. Maka tidak jarang karyawan narsis bisa mengeksploitasi rekan kerjanya. Mungkin awalnya rekan-rekan kerjanya bisa memahami sang karyawan narsis itu. Namun lama kelamaan timbul bosan dan bahkan jenuh melihat tingkah lagu yang tak wajar itu. Bentuk gangguan lain adalah dalam hal kekompakan tim kerja. Biasanya sang narsistik cenderung bersifat ego. Sulit menerapkan proses umpan balik dengan sesama rekan kerja. Dia lebih banyak menerima ketimbang memberi. Apalagi yang menyangkut kebanggaan atau kelebihan dirinya.
Seringkali penilaian kehebatan itu sudah sebagai kebutuhan sang narsistik. Padahal kehebatan yang dinilai lebih ketimbang orang lain tidak selalu terbukti benar. Dia akan merasa tertekan kalau orang lain tidak mau memperhatikannya. Karena itu dia sering terpaku pada kepentingan dirinya. Semuanya seolah harus fokus pada dirinya saja. Dia sangat dikuasai oleh bayang-bayang akan kesuksesan diri dan kekuasaan yang dimilikinya. Orang lain bukanlah apa-apa. Dia menganggap itu sebagai alat kekuasaan untuk mempengaruhi subordinasinya agar mengikuti perintah-perintahnya. Sementara subordinasi belum tentu bersedia mengorbankan kepentingan dan kebutuhannya bagi sang narsistik.
Nah kalau dia sebagai atasan yang narsis dan mengeksploitasi subordinasinya namun tidak bergayung sambut maka bisa berakibat fatal. Yakni bertindak “kejam” dan bahkan menteror anak buahnya. Kekuasaan yang menjadi kebanggaannya dinilai mendapat penghinaan dan perlawanan dari bawahannya.Bukan tidak mungkin lewat nada perintah yang keras. Di sisi lain subordinasi belum tentu menerima tindakan sang narsistik yang sekaligus atasannya itu. Bahkan ada sikap melawan. Kalau sudah begitu maka medan konflik terbuka antara sang narsistik dan subordinasi berpeluang besar bisa terjadi. Kalau semakin meluas maka akan mengganggu suasana kerja. Kenyamanan hubungan sesama rekan kerja dengan atasan akan mengalami degradasi. Pada gilirannya kinerja tim akan menurun.
Pihak manajemen puncak atau manajemen menengah seharusnya bertindak untuk mengurangi akibat negatif dari perilaku sang manajer yang narsistik itu. Memang proses perubahan perilaku narsis ke perilaku wajar akan makan waktu tidak singkat. Selain dengan pendekatan personal, perusahaan bisa meminta psikolog atau konselor untuk secara bertahap berdialog dengan sang narsistik. Tujuannya agar sang narsistik bersedia untuk mengubah perilakunya itu demi kepentingan dirinya sendiri dan lingkungan kerja. Selain itu bisa dilakukan mutasi dan rotasi bagi mereka yang narsis. Maksudnya adalah agar timbul perasaan suasana beda yang lebih segar dan memperoleh tambahan pengalaman berhubungan dengan karyawan yang beragam.
Februari 12, 2009 at 12:37 pm
Nah itu dia Prof, dulu Pak Iyung Pahan pernah didroping para sarjana yg fresh graduate (kalau tidak salah ada 30-an sarjana) dari berbagai Universitas di Indonesia. Ada yg dari perguruan tinggi ternama dan ada yg dari universitas dibawah pohon pisang seperti saya ini. Awal2 nya sang sarjana yg dr universitas ternama ini narsis sekali dan nampaknya “seba tahu” dan merasa paling hebat sendiri……….
Untungnya, pak Iyung Pahan langsung melakukan “cuci otak, cuci kelakuan”, semacam brainstorming. Seluruh ilmu, jimat, kesaktian dan sebagainya “dicopot” seperti mencopot sumbat tutup botol atau meng-nol kan kembali speedometer. “Botol mau diisi dengan content yang sama, silakan dibuka”, kata pak Iyung. Ternyata, dengan cara seperti itu kami akhirnya bisa bekerja dalam teamwork yang kompak, bersinergi dan saling menghargai satu sama lain.
Terima kasih pak Iyung, semoga dapat segera lulus S-3 nya dengan predikat summa cumlaude…….. (he he he Prof, beliau kalau ngerjain tugas dari kampus di rumah sampai pagi lho).
Februari 12, 2009 at 3:12 pm
Saya menganggap narsis pada seseorang merupakan perilaku menyimpang.Tidak mudah diobati kecuali yang bersangkutan punya kemauan kuat untuk merubahnya.Disamping itu lingkungan tidak menjadikan mereka yang narsis menjadi sembuh kalau selalu memberi pujian yang tak henti.
Februari 13, 2009 at 3:55 am
Narsisistik memang perilaku yang menyebalkan dan sebenarnya dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena seringkali ia gagal mendengarkan pendapat2 yang sebenarnya sangat baik. Namun tak kurang menyebalkannya juga orang-orang yang merasa ‘gengsi’ walaupun ia tidak tahu tetapi pura-pura segalanya beres… Hal tersebut semata-mata juga untuk menyelamatkan mukanya sendiri….. Menurut saya itu juga salah satu bentuk narsisisme hanya saja ia tidak tahu apa yang dibanggakan…..
Nah, narsisisme ini menurut saya ada dua, ada yang ‘obyektif’ dan ada pula yang ‘subyektif’. Yang ‘obyektif’ menyangkut talenta dan kebisaannya, sementara yang ‘subyektif’ lebih mengerikan lagi, ia hanya semata2 mengandalkan keindahan fisiknya (padahal semuanya relatif), kekayaan atau ketenaran keluarganya (padahal dia sendiri belum tentu dapat cari uang dengan becus) sampai pada semata-mata hanya bangga terhadap almamaternya walaupun dia sendiri kualitasnya belum tentu bagus.
Narsisisme yang terkendali saya percaya bisa menjadi suatu hal yang bermanfaat. Namun kalau narsisisme tumbuh tak terkendali tentu ia akan berubah menjadi ‘energi’ yang merusak, mirip seperti api. Apalagi narsisisme itu adalah bentuk narsisisme ‘subyektif’ yang tidak jelas manfaatnya…….
Februari 13, 2009 at 4:24 am
[…] Tulisan asli dari artikel ini dan tulisan-tulisan menarik lainnya tentang MSDM dan dunia kerja dapat juga diakses melalui: NARSISTIK DI LINGKUNGAN KERJA […]
Februari 13, 2009 at 11:48 am
Sifat narsis adalah bagian dari pelaku kesombongan yang tak terkendali dari seseorang. Orang lain seperti tak ada artinya kecuali dirinya.Kalau ada karyawan seperti itu maka tidak heran suasana lingkungan kerja menjadi tidak nyaman.Karena itu perlu tindakan pihak manajemen untuk menangani orang tsb agar lingkungan kerja yang kurang nyaman tidak meluas.
Februari 13, 2009 at 11:04 pm
ya mas bodong….itulah yang dilakukan bung iyung sebagai reposisi sang sarjana dalam alam kehidupan baru……misalnya bagaimana membangun dinamika kelompok, mengelola diri,kesadaran diri,kesadaran dan kecakapan sosial……berkoordinasi,berinteraksi, dan bekerja dalam suatu tim kerja yang tangguh…….ini salah satu pendekatan kebersamaan sekaligus pengurangan rasa hebat atau narsistik pada seseorang…..kita doakan bung iyung sukses studinya…… tepat waktu dan tepat mutu……
Februari 13, 2009 at 11:06 pm
ya bung rusli ….walau lampat tapi pasti dapat diubah…..unsur intrinsik antara lain kemauan dan kesadaran kuat dari yang bersangkutan plus dukungan faktor lingkungan bisa berhasil dalam “penyembuhan” sifat narsis……
Februari 13, 2009 at 11:17 pm
ya mas yariNK…..narsis sering tidak mudah dibedakan dengan kesombongan dan luapan kegembiraan atas keberhasilan sesuatu…..konon pula narsis ini ada kaitannya dengan “turunan” dan lingkungan keluarganya….nah yang satu ini saya kurang setuju……karena lingkungan hanya ikut mempengaruhi saja….semua sifat narsis merupakan fungsi dari kekuatan kepribadiannya misalnya untuk rendah hati yang berkait dengan keluasan pergaulan,pendidikan kepribadian, dan kenyamanan lingkungan kerja…..betul bahwa rasa hebat sering ditempelkan dengan almamaternya……padahal kehebatan almamater tidak otomatis ybs hebat……kalau ditempatkan secara proporsional atau tanpa harus diungkapkan berlebihan bakal menjadi unsur motivasi diri dalam bekerja optimum…..sebaliknya kalau berlebihan dan suatu ketika tak ada sambutan positif dari lingkungan lambat laun akan mengalami demotivasi……
Februari 13, 2009 at 11:18 pm
ok bung aris….
Februari 13, 2009 at 11:20 pm
betul mbak avita….pihak manajemen seharusnya sejak proses rekrutmen sudah menguji tentang kerpibadian calon karyawannya…..kemudian ada pelatihan dan pengembangan diri….dan membangun tim kerja yang dinamis……
Februari 14, 2009 at 4:34 am
Individu yang narsistik bagaikan balon gas semakin diisi semakin mengembang dan mengembung semakin bergerak “liar” bila tertiup angin dan semaikin ingin terbang tinggi. Dan pada suatu saaat apabila diisi terus maka balon tersebut pecah, atau apabila balon tersebut di lepas dan terbang tinggi maka ia akan terisolasi karena terbang tinggi sendirian namun pada akhirnya pada suatu saat balon tersebut akan kehabisan daya terbangnya dan pada akhirnya akan jatuh.
Orang yang narsistik lupa akan hal tersebut atau pura-puyra tidak tahu, bahsa suatu saat apabila ia terlalu ego dan angkuh menyombongkan dirinya maka ia akan sendirian, ditinggalkan oleh teman-temannya. Atau apabila ia terlalu membagakan dirinya maka pada suatu saat ia akan jatuh, atau hancur (bagaikan balon yang terlampau mengembang melebihi kapasitasnya atau seperti balon yang melambung tinggi namun pada akhirnya turun juga karena kehilangan kemampuannya untuk terbang lagi)
Februari 14, 2009 at 6:08 am
Menurut saya Pak, sifat narsis itu ada baiknya juga karena menanamkan kecintaan kepada diri sehingga orang akan lebih menghargai kita. Masalah timbul ketika sifat tersebut sangat “berlebihan” sampai merugikan orang lain. sy kira pak di lingkungan manapun narsis itu kurang diterima. Tantangannya adalah bagaimana membantu mereka yang “terjangkit narsism” dapat disadarkan. Misalnya dengan berusaha merubah pola pikirnya. Hal tersebut harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan konsisten untuk membalikkan lingkungan menjadi nyaman.
Maret 1, 2009 at 8:46 am
ya mas adi…..orang yang narsistik menganggap dialah yang pali dari segala paling…..padahal bisa saja membanggakan dirinya paling padahal di sekelilingnya banyak yang lebih paling….betul suatu ketika orang seperti itu akan terpuruk oleh ulahnya……
Maret 1, 2009 at 8:49 am
ya andi….apapun sifat narsistik itu sangat jelek….dia lupa tentang perlunya rendah hati….rasa hormat akan datang sendirinya kalau dia rendah hati….bukan tinggi hati apalagi diumbar kemana-mana……betul bahwa orang seperti itu harus ada yang mengingatkan agar dia sadar….bahwa sifat seperti itu lebih banyak merugikan dirinya ketimbang memperoleh manfaatnya…..