Biasanya julukan mentang-mentang ditujukan ke seseorang yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi ketimbang orang lain. Misalnya kalau dalam organisasi seperti di perusahaan dan birokrasi, sikap mentang-mentang ditujukan kepada beberapa pimpinan semua level yang sombong dan dhalim kepada karyawannya. Kalau di kampus bisa jadi julukan mentang-mentang ditujukan kepada beberapa dosen yang selalu suka mengatakan mahasiswa bimbingannya bodoh. Di sisi lain, mentang-mentang sering mendapat gelar “pejuang rakyat”, tidak sedikit para mahasiswa melakukan demonstrasi kepada pemerintah tanpa alasan yang jelas dan kuat.
Sementara pada fenomena lain, mentang-mentang berwajah cantik, ada wanita suka menunjukkan tinggi hati dan merendahkan harkat orang lain yang berwajah biasa-biasa saja. Jangan lupa ada satu lagi seseorang, mentang-mentang kaya raya, apapun bisa dibeli termasuk kedudukan atau jabatan. Wah yang satu ini termasuk membohongi rakyat yakni mentang-mentang sudah menjadi pemimpin terpilih lalu lupa akan janji-janjinya selama berkampanye.
Selain itu perilaku mentang-mentang ternyata tidak harus selalu muncul pada orang yang berstatus sosial ekonomi relatif tinggi. Misalnya mentang-mentang miskin bisa saja kemudian bersikap ingin selalu dikasihani dan tidak mau berupaya mencari nafkah. Kemudian mereka yang termasuk bodoh lalu mengatakan semua karena takdir; padahal jarang belajar dengan rajin. Dan mentang-mentang jadi pengemudi angkot atau raja jalanan seenaknya saja bebas menurunkan dan menaikkan penumpang di tengah jalan.
Bagaimana di dunia pekerjaan? Bisa saja terjadi sikap mentang-mentang; apakah itu pada kalangan pimpinan atau superordinat dan karyawan atau subordinat. Di kalangan pimpinan, sikap mentang-mentang ditunjukkan oleh alokasi otoritas yang suka menyimpang dari standar perusahaan. Ada kecenderungan seorang manajer bersikap otoriter padahal gaya kepemimpinan yang standar adalah kepemimpinan partisipatif. Hal ini terlihat dalam proses pengambilan keputusan. Mentang-mentang jadi manajer seenaknya saja dia mengambil keputusan strategis tanpa membahasnya lebih dahulu dengan asisten manajer dan stafnya. Padahal keputusan itu penuh resiko kerugian. Selain itu mentang-mentang punya kekuasaan, sang manajer memutuskan untuk mengusulkan pada direktur personalia agar beberapa karyawan yang tidak disenanginya segera dipecat. Nah yang satu ini karena kedudukannya, manajer merasa boleh-boleh saja membikin aturan semaunya saja tanpa konsultasi pada atasannya apalagi pada bawahannya.
Selain pada pimpinan, sikap mentang-mentang bisa terjadi pada karyawan sebagai bawahan. Tidak jarang mentang-mentang sering disebut sebagai aset perusahaan, para karyawan kerap menuntut diberi kesejahteraan tinggi tanpa melihat kondisi kesehatan perusahaan. Di sisi lain mentang-mentang sebagai komponen pembangunan, untuk masalah apapun lalu karyawan mengambil jalan pintas yakni dengan melakukan protes berbentuk mogok kerja. Padahal dapat diselesaikan lewat musyawarah. Begitu pula ketika era keterbukaan semakin longgar para karyawan terdorong menuntut semua kebijakan harus bersifat transparan padahal untuk beberapa hal sifatnya sangat rahasia. Ada juga fenomena lainnya yaitu mentang-mentang sering diberi kesempatan berpendapat maka ada karyawan yang suka menentang perintah manajer sebagai atasannya. Sementara itu ada karyawan yang mentang-mentang senior dan atau tingkat pendidikannya lebih tinggi suka meremehkan rekan kerja lainnya.
Mengapa sikap mentang-mentang atau populer disebut “sok” pada seseorang bisa terjadi? Mentang-mentang bisa digolongkan sebagai perilaku menyimpang dari seseorang di luar standar individu normal, nilai sosial dan kelembagaan. Artinya ada upaya eksploitasi seseorang dengan kedudukannya agar lingkungan mau menerima sikapnya. Intinya orang bersangkutan melakukan legitimasi sendiri tentang perilaku mentang-mentang tersebut tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku umum. Padahal “gelar” mentang-mentang yang disandang seseorang itu sebenarnya menunjukan kadar percaya diri yang bersangkutan adalah rendah sekaligus lupa diri alias sombong. Dengan demikian kalau sikap mentang-mentang sudah menjadi kebutuhan dan kepentingan pribadi maka bisa berakibat tidak produktif. Tidak saja merusak citra diri, kinerja, dan reputasinya tetapi juga merusak lingkungan sosial atau lingkungan pekerjaan.
Kalau berakibat negatif, apakah mentang-mentang perlu direm? Ya, tetapi bukan berkonotasi ditantang atau dilawan secara fisik. Kalau ditantang bakal menimbulkan resiko terjadinya konflik akibat adanya resistensi dari yang mentang-mentang. Direm disini bermakna mengajak dan melakukan pengembangan kesadaran diri. Pendekatannya berdimensi ganda yakni dari atasan dan dari yang berangkutan. Pertama, yang mentang-mentang diajak untuk mengubah perilakunya lewat pendekatan personal. Kalau itu terjadi pada karyawan maka manajerlah yang mengatasinya. Sementara kalau pada manajer maka sang direkturlah urusannya. Sang mentang-mentang diminta melakukan evaluasi diri untuk menyadarkan diri bahwa perilaku mentang-mentang lebih banyak ruginya ketimbang manfaatnya. Untuk itu tidak ada salahnya perusahaan menggunakan psikolog untuk ikut mengatasi perilaku menyimpang tersebut. Pendekatan Kedua, sang mentang-mentang secara alami merasakan adanya pertentangan dari lingkungan terhadap dirinya. Adanya tindakan isolasi dari rekan kerja misalnya, itu sudah merupakan sanksi sosial yang harus diterimanya. Lambat laun timbul kesadaran dan mawas diri. Dan perubahan pun bakal terjadi. Yang tadinya bersikap mentang-mentang menjadi seseorang yang rendah hati dan bersahabat kepada setiap orang.
Keberhasilan kedua pendekatan itu akan lebih signifikan lagi apabila pimpinan perusahaan sampai pimpinan unit selalu memberikan keteladanan kepemimpinan motivasi dan kepribadian menyenangkan atau tidak angkuh kepada para karyawan (manajemen dan non-manajemen). Para karyawan tanpa diminta pun cepat atau lambat pasti akan menjauhi mental mentang-mentang yang hobinya petantang-petenteng itu.
Januari 8, 2009 at 5:29 pm
Yang dikhawatirkan sikap mentang-mentang (MM) sudah menjadi perilaku orang-orang yang merata di semua posisi kehidupan.Kalau begitu bisa menjadi budaya.Semua berangkat dari ketidakmampuan mengendalikan diri.Maka MM pun semacam fenomena yang menyenangkan bagi dirinya;padahal negatif.
Januari 8, 2009 at 7:24 pm
Saya pikir perilaku mentang-mentang termasuk moral hazard seseorang.Itu bisa menjadi pemicu terjadinya pendholiman terhadap sesama.Sangat memungkinkan bisa terjadi eksploitasi pihak pimpinan terhadap para karyawannya.
Januari 8, 2009 at 8:45 pm
Assalamualaikum wr.wb.
Sifat angkuh atau sombong merupakan salah satu dari sifat yang dibenci oleh Allah. Sifat sombong akan menghalangi kita untuk menyadari bahwa kita hanyalah hambaNya yang senantiasa penuh dengan sifat ketidaksempurnaan. Kalau pun ada kelebihan yang ada di diri kita bukan untuk disombongkan, dan kalau pun ada kekurangan dari kita juga bukan untuk dihinakan. Namun semuanya adalah diciptakan Allah untuk saling melengkapi.
Setiap pegawai, di manapun posisinya sebagai SDM memiliki potensi yang dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan organisasi. Pengembangan softskill SDM melalui kegiatan semacam outbond atau ESQ training misalnya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan mutu SDM sehingga dapat mengikis sikap mentang-mentang tersebut.
Demikian pak, komentar saya kali ini.
Wassalamualaikum wr.wb.
Januari 9, 2009 at 5:52 am
Angkuh,sombong atau sejenisnya yang dimiliki seseorang berarti tak ada seorang pun dinilai yang lebih dari dia. Padahal sebenarnya setiap inidividu itu punya kelemahan.Karena itu buat apa sombong;pekerjaan yang kontra produktif. Tak ada tempat di permukaan bumi ini bagi orang seperti itu.
Januari 9, 2009 at 5:55 am
Serangan brutal Israel ke rakyat Palestina hanyalah akan menimbulkan dendam bangsa Palestina yang berkepanjangan.Kalau seperti itu terjadi maka perdamaian tampaknya hanya sebatas mimpi saja.
Januari 9, 2009 at 5:57 am
Maaf pak,komen saya ini sebenarnya untuk artikel tentang Palestina Berdarah
Januari 9, 2009 at 5:00 pm
Mentang-mentang bila dimaknai dengan kata “sok” akan memiliki dua arti. Pertama: mengandung arti keangkuhan/arogansi, kesombongan karena memiliki kelebihan-kelebihan berupa kekayaan, kepintaran, jabatan, dan yang sejenisnya. Sehingga timbul rasa bangga yang berlebihan dan memandang orang lain lebih rendah daripadanya. Kedua: mengandung arti “seolah-olah”, bagaikan, merasa diri memiliki kelebihan padahal tidak atau dengan kata lain “belagak”. Kita sering mendengar kata “sok kaya”, “sok pintar”, “sok jago”. Pada kenyataannya kondisi orang tersebut terbalik dengan apa yang ditampilkannya.
Keduanya, berkonotasi negatip karena pada dasarnya keduanya merupakan penyakit mental. Sebagaimana orang yang menderita sakit pisik, orang yang sakit mental ini perlu dikasihani dan perlu diobati………………karena kalau tidak bisa bertambah parah dan akan menyebabkan pada kehancuran diri…………………………….
Januari 10, 2009 at 12:25 am
ya bung rusli……sikap mentang-mentang dari seseorang mencerminkan tidak pedulinya ybs pada sistem nilai dan lingkungannya…….yang dikhawatirkan kalau itu terjadi pada para pemimpin termasuk pemuka agama…….lalu kepada siapa lagi rakyat bercermin……
Januari 10, 2009 at 12:27 am
ya mbak kur….itu berarti sikap mentang-mentang sebagai embryo munculnya perilaku-perilaku lainnya seperti dholim,korupsi, dan tidak acuh pada penderitaan rakyat……
Januari 10, 2009 at 12:31 am
waalaikum salam ww….betul mbak retno….saya duga sikap mentang-mentang itu bukan suatu kesenangan tetapi malah bakal melelahkan…..karena orang bertingkah seperti itu harus selalu siap dengan orang-orang di sekitar yang tidak menyukainya…..karena itu agama menghimbau kepada setiap ummatnya untuk tawadhu atau rendah hati dengan sesama…….salam….selamat ujian falsafah sains…..
Januari 10, 2009 at 12:33 am
bung johan….aneh tetapi nyata banyak orang yang bermental mentang-mentang tapi justru punya kedudukan empuk…….
Januari 10, 2009 at 12:37 am
ya mas adi…..kalau setiap orang memahami arti pemilikan aset kekayaan seperti uang,pengetahuan,fasilitas,sumberdaya alam itu adalah titipan allah….maka mental mentang-mentang itu seharusnya tak ada……..jadi disamping pendekatan pendidikan keluarga,dan sekolah maka pendekatan agama diharapkan bisa untuk menghilangkan mental negatif itu…….
Januari 16, 2009 at 2:42 am
Saya sangat senag bisa bergabung di sini. menurut saya sikap mentang-mentang ini muncul kepada mereka yang tidak mengenal Allah AWT.
Januari 17, 2009 at 12:26 pm
ya eja….tetapi bukan berarti mereka yang mengenal allah tidak memiliki sikap mentang-mentang……saya tidak seekstrem seperti yang anda katakan……..saya memandang sikap mentang-mentang merupakan suatu kekhilafan manusia yang pada dasarnya dhaif atau lemah……..
Januari 16, 2009 at 3:13 am
Saya sangat senag bisa bergabung di sini.
menurut saya sikap mentang-mentang ini muncul kepada mereka yang tidak mengenal Allah AWT. karena manusia manapun tidak berhak mereka berlaku sombong di muka bumi ini.
Januari 18, 2009 at 5:44 am
Saya pernah dengar, pejajahan oleh penjajah memang sakit, tapi lebih sakit lagi penjajahan oleh sebangsa sendiri.
Setelah lepas dari belenggu Belanda dan Jepang, beberapa oknum orang Indonesia yang memiliki kelebihan dibanding sesamanya, melakukan penjajahan terhadap sesamanya itu.
Makanya jangan heran banyak ketemu manajer-manajer, mandor-mandor, dan pimpinan-pimpinan yang melakukan ‘cambuk’ terhadap orang-orang yang ada di pihak sub ordinat.
Gak beda kan Pak, dengan opas-opas Belanda (biasanya diambil dari orang Indonesia) yang dulunya merampas harta petani-petani lemah.
Januari 19, 2009 at 2:35 am
ya mbak rafika….berarti kalau seperti itu tidak saja mereka yang punya kekuasaan bertindak semena-mena tetapi juga sangat tidak profesional….subordinasi adalah karyawan yang banyak kontribusinya bagi kinerja organisasi atau perusahaan…..karena itu kan sebaiknya didekati dengan manajemen kemitraan……bukan menjajah…….atau mengeksploitasi….padahal jabatan dan kekuasaan itu untuk mengembangkan sdm subordinasinya dan sifatnya sementara……
Februari 13, 2013 at 9:27 am
Dalam dunia pendidikan (baca: GURU) sikap mentang² rekan kerja senior seringkali terjadi. Saya kerap kali merasakannya, yang dimintai kerjain ini itu yang notabene tugas mereka, gantiin tugas mereka, bahkan dalam hal mengambil keputusan untuk ikut piknik guru. Merasa lebih TUA lalu seenaknya tak menghargai pilihan orang lain. Mulai sekarang saya kerap menolak tugas² yang memang bukan kewajiban saya, dan berani berkata TIDAK untuk hal yang tidak sesuai hati saya. Mereka bukan Tuhan maupun orangtua saya yang harus saya turuti semua perintah, apalagi untuk hal yang tak masuk akal.