Hasil survei angkatan kerja nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007; sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461. 000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007. Ini berarti mereka yang penganggur dari kalangan non-intelektual mengalami penurunan sebaliknya dari kalangan intelektual. Pertanyaannya, apakah golongan angkatan kerja yang non-intelektual lebih berpeluang mencari pekerjaan, atau lebih memiliki etos kerja ketimbang angkatan kerja intelektual? Ataukah ada faktor lain?
Fenomena pengangguran bisa dilihat dari perspektif makro dan mikro. Berdasarkan tinjauan makro perlu diketahui secara rinci: apakah pengangguran intelektual lebih banyak berasal dari luar jawa atau dalam jawa, dari bidang keahlian atau program studi mana saja, dan dari perguruan tinggi apa saja mereka berasal (PTN-PTS). Pertanyaan berikutnya apakah syarat minimum kelulusan penseleksian calon karyawan baru untuk beberapa pekerjaan tidak harus lulusan sarjana? Sementara itu, dilihat dari unsur penyebab maka telaahan sisi makro yang selalu menjadi biang keladinya adalah (1) kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi pada kebutuhan pasar, (2) kebijakan ekonomi khususnya investasi yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja sesuai dengan jumlah angkatan kerja, dan (3) kebijakan pembangunan ekonomi yang cenderung berientasi pada padat modal ketimbang pada padat karya.
Ditinjau dari sisi mikro maka pengangguran intelektual bisa jadi disebabkan faktor karakter dan potensi akademik lulusannya. Pertanyaan yang diajukan adalah seberapa jauh intelektual penganggur dapat ikut menjawab tantangan pasar kerja? Dengan kata lain seberapa besar para penganggur dengan kemampuan intelektualnya dapat menciptakanj lapangan kerjanya sendiri? Dan bagaimana pula sumbangan mereka yang sudah bekerja dalam membangun kesejahteraan masyarakat? Diambil contoh, jumlah lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat selama 1929-1957, mampu meningkatkan pendapatan per kapita di negara itu sekitar 42 persen. Lebih jauh, Denison dan Chung (1976) mengidentifikasi bahwa peningkatan jumlah kelulusan perguruan tinggi di Jepang mampu meningkatkan pendapatan per kapita per tahun sebesar 0,35 persen selama 1961-1971. Dalam kaitan itu bisa diduga makin rendah mutu lulusan plus kurangnya spirit juang untuk menciptakan lapangan kerja sendiri maka semakin bergantunglah sang lulusan pada orang atau pihak lain. Apalagi kalau mutu lulusan adalah pas-pasan dilihat dari kecerdasan intelektual dan soft skillsnya. Bisa diduga pula alih-alih para lulusan menyumbang bagi kesejahteraan masyarakat tetapi malah menambah beban masyarakat dan negara.
Sehubungan dengan pemetaan jenis dan jumlah penganggur itu maka secara lebih khusus kebijakan pendidikan dapat disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Namun demikian kita jangan terjebak pada pertimbangan sisi ekonomi pasar atau kebutuhan industri saja dimana hanya dengan membuka program studi keteknikan, teknologi, dan kewirausahaan. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya pengembangan program studi khususnya yang berorientasi ilmu-ilmu dasar menjadi sangat strategis sebagai unsur fundamen dalam pengembangan teknologi. Karena itu lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta seharusnya dapat menjadi captive market bagi para lulusan yang berprofesi di bidang riset.
Agustus 24, 2008 at 11:58 am
Masalah pengangguran sudah begitu kronis.Return on investment tidak secepat mampu menjawab pertumbuhan angkatan kerja.Nah lebih parah lagi kalau pengangguran intelektual.Itu sama saja proses investasi dalam sumberdaya manusia selama ini sangat tidak efisien.Ada yang salah dalam kebijakan investasi dan pendidikan.
Agustus 24, 2008 at 12:04 pm
Saya pernah mendengar sewaktu zaman orde baru mendikbud waktu itu mengembangkan konsep link and match.Bagaimana dunia pendidikan (kurikulum) harus berorientasi pada kebutuhan pasar.Tetapi gagal total karena pasar sendiri tidak bereaksi.Peningkatan investasi ekonomi tidak berjalan sesuai dengan harapan karena insentif ekonomi seperti birokrasi pendek,beragam pungutan, dan infrastruktur tidak mendukung.Malah yang terjadi adalah biaya ekonomi tinggi.
Agustus 24, 2008 at 2:32 pm
ya mbak avita….return on human investment khususnya di bidang pendidikan ternyata negatif……tidak efisien…..investasi ekonomi belum mampu memberi kontribusi penyerapan tenaga kerja maksimum…..
Agustus 24, 2008 at 2:36 pm
ya nur…..konsep link and match itu sendiri tidak jelas bagaimana operasionalisasinya….saya duga jejaring kerjasama antara dunia pendidikan dan dunia industri tidak optimum….karena itu ke dua institusi itu masih tidak punya keterkaitan dan program yang jelas…..ya betul insentif untuk pengembangan investasi ekonomi belum merespon para investor secara optimum….
Agustus 24, 2008 at 6:10 pm
masalah klasik yang selalu ada di negara berkembang. lantas mau diapakan dan harus berbuat apa?
masalah pengganguran memang rumit, dari mana mengurai benamg merahnya? menyalahkan pemerintah saja juga sia-sia, bagaimana kalau kita mulai dari sini sekarang. Maksudneya kita-kita yang memiliki skill dan kemauan tentu bisa kan….
Salam kenal
Jaiman
Agustus 25, 2008 at 12:24 pm
ya bung jaiman1….tidak mudah mengurai labirinth atau benang kusut masalah pengangguran….ya bisa dilakukan dengan pendekatan makro yakni pembangunan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja….dan sisi mikro bagaimana setiap individu seharusnya memiliki spirit juang atau etos kerja….
Agustus 25, 2008 at 2:25 pm
Saya khawatir terjadinya pengangguran intelektual ini karena sebagian kadar intelektual sarjana penganggur tidak punya keahlian memadai.Proses pembelajaran selama menjadi mahasiswa tidak optimum.Kemudian mereka banyak yang berasal dari jurusan atau program studi yang permintaan pasarnya sudah jenuh.Karena itu pimpinan perguruan tinggi seharusnya membatasi pembukaan jurusan yang sudah tak ada pasarnya lagi.Jangan semuanya hanya untuk meraih rupiah dari mahasiswa tanpa mempertimbangkan masa depan lulusannya.
Agustus 25, 2008 at 11:00 pm
saya kira seperti itu bung johan….cuma sayangnya pimpinan perguruan tinggi sangat enggan untuk menganalisis suplai dan permintaan pasar terhadap lulusan dari bidang tertentu….maklumlah kebutuhan untuk nambah kocek perguruan tingginya masih menjadi bahan pertimbangan utama….yang penting cetak saja lulusan dan rekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya demi uang…..
Agustus 26, 2008 at 12:33 am
Nah, saya kira jawaban pak Sjafri no 8 di atas itulah kuncinya … analisis suplai dan permintaa ini jarang dilakukan … apalagi kalau harus melibatkan user dalam hal ini pemakau lulusan, mungkin hanya beberapa perguruan tinggi yang melakukan … akibatnya ya seperti yag Pak Sjafri tulis di atas …
Agustus 26, 2008 at 4:52 am
ya bung riri,,,,,,ada baiknya analisis kebutuhan pasar kerja dan potensi lulusan yang ada didekati dengan model penilaian 360 derajad…..yang melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal….plus teknik delphi……nanti terlihat seberapa jauh pola pendidikan di perguruan tinggi telah menerapkan pendekatan link and match….termasuk dapat dilihat program studi mana saja yang sudah tergolong jenuh pasar…..
Agustus 26, 2008 at 5:05 am
Pengangguran itu adalah statatus / gelar yang paling menyeramkan kalau disandang. Apalagi kalao disandingkan dengan gelar sarjana, dapat menimbulkan ganguan jiwa dan menyebapkan kejahatan ….hehehe stress.
Menurut saya sebagai mahasiswa, Iklim pendidikan dikampus sekarang ini sangat menjemukan walau tidak semuannya, dalam artian memang ada sebagian komunitas yang hanya belajar saklek pada pelajaran yang ditugaskan oleh dosen tanpa mendapat pencerahan bbagai mana penerapan dalam kehidupan nyata.
Nah, dari sekian persen komunitas yang seperti itu mungkin yang menyumbangkan lulusan yang “ambigu” tau-tau …ngak-ngak. Isilahnya tanggung ngak tau apa yang akan diperbuat dan juga ngak tau akibat kalau dia ngak berbuat.
Cara memberantasnya adalah mulai dari sekarang, dari yang dekat-dekat kemudian menjauh ke komunitas yang lebih besar.
Memang tidaklah mudah dan cepat tapi hasilnya PASTI.
Agustus 26, 2008 at 10:33 am
ya bhima….untuk mencegah terjadinya kejenuhan dalam pembelajaran dan mampu mengembangkan nalar,sikap, dan ketrampilan mahasiswa maka tiap perguruan tinggi harus mengembangkan (1) kurikulum berbasis kompetensi,berorientasi kebutuhan pasar (2) student centered learning, dan (3)pengembangan soft skills……salam
Agustus 26, 2008 at 1:03 pm
makanya…. gak usah terlalu mengandalkan lapangan kerja. Ayo bikin usaha sendirir! ayo jadi entrepreneur!!
Agustus 26, 2008 at 1:48 pm
setuju bung kamal….apalagi tersedia akses permodalan dan pasar……
Agustus 26, 2008 at 4:41 pm
atau kampus yang tidak tau selera dunia kerja sehingga banyak pengangguran? 😀
Agustus 26, 2008 at 6:57 pm
betul bung arul….antara lain karena perguruan tinggi kurang peka dengan kondisi pasar kerja…..
Agustus 27, 2008 at 3:54 am
Intelektual di maknai sebagai seseorang yang sudah lulus kuliah, padahal belum tentu yang lulus kuliah itu memiliki jiwa intelektual. Kenapa demikian? Karena orang-orang sekolah dan kuliah hanya berpikir jangka pendek. mereka memenuhi pendidikan sebagian besar hanya sebagai syarat agar dapat lolos PNS, atau syarat menjadi pegawai. Akibatnya sekolah yang dipikir hanya nilai, bukan subtansi pengetahuannya. Akibatnya lagi….? Ya seperti sekarang.
Agustus 27, 2008 at 4:18 am
Wah, postingan ini jadi headlines WP lo prof. Memang kalau bicara soal pengangguran akan selalu menarik, karena jumlahnya terus bertambah. Mungkin dunia pendidikan perlu mendidik masyarakat untuk menciptakan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan. Wama min daabbatin fil ardli illa alallahi rizquhi…Tidaklah diciptakan segala sesuatu yang melata di muka bumi ini kecuali Allah memberikan rezeqinya
Agustus 27, 2008 at 2:31 pm
ya bung muhajir….karena pola pendidikan di beberapa perguruan tinggi begitu instannya…..mulai dari rekrutmen mahasiswa yang begitu longgar, kelulusan yang mudah,dan konten kurikulumnya kurang berbasis kompetensi dan soft skills….
Agustus 27, 2008 at 2:32 pm
sependapat mas husnun….seharusnya seperti yang anda katakan…..
Oktober 7, 2008 at 8:27 am
Punten mengutip tulisan ini ya Pak. Terimakasih
Oktober 7, 2008 at 8:42 am
mbak diah….mangga dikutip…..dengan senang hati…..
Oktober 14, 2008 at 7:55 am
Saatnya kita berkarya untuk menghapus pengangguran.
Desember 4, 2008 at 11:28 pm
[…] Editorial ini dan Artikel menarik lainnya dapat diaskes di: PENGANGGURAN INTELEKTUAL VS INTELEKTUAL PENGANGGUR […]
Maret 6, 2009 at 4:19 pm
Sarjana diharapkan memiliki soft skill, tanpa soft skill maka mereka tetap akan menganggur. Bayangkan seorang sarjana akuntansi hanya menguasai akuntansi saja, buta komputer apagi bahasa inggris.
Dunia usaha dan dunia industri tidak mau rugi, sudah harus menerima sarjana, kemudian nilai gajinya mahal, tetapi gagap teknologi.
Seorang sarjana akuntansi hendaknya jangan hanya bisa membuat laporan keuangan dalam bahasa nenek moyangnya saja, pikirkan juga bagaimana laporan akuntansi itu juga bisa dipresentasikan dalam bahasa lain minimal bahasa inggris, bukankah bahasa yang paling mudah itu bahasa inggris ?
Maret 6, 2009 at 11:04 pm
sependapat mondana….soft skills masih langka dikuasai oleh sebagian dari para penganggur atau bahkan oleh sebagian kita…..seharusnya via pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal, dan tempat bekerja dan lainnya, soft skills diajarkan dan disosialisasikan….dalam membentuk karakter insan tangguh dalam hal inisiasi,kreatifitas, inovasi,komunikasi, kepemimpinan,…..dst