Apakah Anda percaya; konon dengan uang sebesar 15 juta rupiah seseorang tanpa mengikuti proses belajar mengajar dapat memperoleh gelar MBA? Dengan uang sepuluh juta rupiah mendapat DR HC, dan 25 juta rupiah mendapat PhD. Di antara mereka yang “bergelar” tersebut diduga ada yang tergolong selebritis seperti politikus, artis, peramal dan masyarakat biasa. Pada tahun lalu saja diperkirakan jumlah penyandang “gelar” tersebut mencapai sekitar 10 000an.
Bukan main! Padahal gelar kesarjanaan secara formal tidaklah mudah untuk diraih. Diperlukan perjuangan keras didukung kondisi fisik dan mental yang prima. Kuliah, penelitian, konsultasi dan ujian-ujian tak bisa dilakukan dengan santai. Bisa-bisa yang tidak kuat mengikutinya bakal stres sampai depresi.
Berkaitan dengan itu ternyata sebagian masyarakat kita masih menempatkan gelar sebagai status di atas segalanya. Pemujaan terhadap gelar begitu tingginya hanya untuk memperoleh ”pengakuan”, ketenaran dan harga diri yang sesaat dan sangat semu sifatnya. Mereka sebenarnya orang yang termasuk tidak memiliki kepercayaan diri. Memoles harga dirinya dengan memakai asesori dan topeng gelar yang diperolehnya dengan sangat mudah.
Hakekatnya proses belajar mengajar di perguruan tinggi secara formal tidak menempatkan gelar sebagai tujuan. Itu hanya suatu pengakuan, pemegang gelar telah selesai menempuh program studi tertentu. Gelar bukanlah sesuatu yang patut disakralkan. Kehormatan seseorang bukan pada gelarnya tetapi pada pemanfaatan pengetahuan yang diperolehnya dengan penuh kebajikan, kearifan dan kinerja-amalannya bagi dunia nyata.
Sadarlah wahai saudara-saudaraku siapapun yang bergelar semu. Pasti hidup Anda tidak akan nyaman. Mengapa? Karena Anda telah menipu diri Anda sendiri, sekaligus menipu publik. Anda seharusnya lebih baik mentertawakan diri Anda dahulu sebelum ditertawakan orang lain. Tawadulah!
Juli 5, 2007 at 11:00 am
[…] Entahlah? Apa yang ada dibenak mereka? Dan bagaimana mereka jadinya kelak? Apa efeknya terhadap Indonesia? Mendingan nyontek atau beli ijazah? […]
Juli 5, 2007 at 11:15 am
nyontek atau beli izasah? wah jangan mas. ngga ada istilah mendingan…..sama-sama tak percaya diri dan tak tahu diri… perilaku instan….jauuuh dari etika kejujuran akademik…
salam akademik
Juli 6, 2007 at 2:53 am
Udah lah belajar aja…. apa susahnya sih…???
Kuliah tinggal dateng… pas dosen ceramah tinggal dengerin… Pas dikasih tugas tinggal dikerjain… Pas ada masalah tinggal minta bantuan ama temen ama saudara, ortu, guru, dosen… Lulus tinggal cari kerja (gampang lagi dah ada internet)…..
Gitu aja kok repot………..
November 17, 2023 at 8:31 am
Ya repot lah, bayangkan saja kamu terlahir dengan keluarga yang kurang lengkap dan ekonomi susah, mau ngga mau kan habis SMA langsung kerja, nyari duit dulu, kuliah itu hanya praktek dan teori, kalau sudah kerja berpengalaman buat apa teori”, praktek dan sebagainya, ga guna kan??, mending beli aja.
Juli 6, 2007 at 11:22 am
Memang betul Prof Sjafri saya turut prihatin dengan kejadian ini. Tapi masyarakat tdk bisa disalahkan sepenuhnya dlm kasus ini. Lembaga-lembaga pendidikanpun (baik yang sudah mantap ataupun yg masih gurem) turut andil dalam perilaku ‘hanya mengejar ijazah ini’. Saya ada cerita Prof., sepupu saya 3 tahun yg lalu mengambil S2 di Teknik Industri ITB. (Baca: Institut Teknologi Bandung, bukan ITB yg lain!). Ia seringkali mengeluh dosen-dosennya banyak yg jarang masuk, atau ada dosen yg ‘malas’, kuliahnya digabungkan dengan yg S1, walaupun ada ketentuan dosen dilarang ngobyek tapi toh kenyataannya diam2 banyak juga yg masih ngobyek, malah ada yg berkolaborasi antar sesama dosen untuk ngobyek, ada juga dosen yang masuk tapi cuma ngasih catatan untuk dicatat di buku catatan, mirip seperti di SMA, dan segudang keluhan lainnya! Kalau sudah begitu sepupu saya hanya bisa menghibur diri “Ya, biarin deh! Nggak apa2 nggak dapat ilmunya juga, yang penting dapet ijazah ITB !!”
Perilaku lembaga pendidikan seperti itulah yang secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk berbuat serupa, yaitu hanya mengejar ijazah! Sungguh kita harus prihatin atas hal seperti ini.
Saya memang sangat menyayangkan mereka2 yg hanya ingin membeli ijazah dengan cara pintas. Namun saya juga menyayangkan lembaga2 pendidikan yang menjual ijazah secara gampangan, dan juga lembaga2 pendidikan yg menyelenggarakan pendidikan secara ‘asal-asalan’. Kedua-duanya hanya mendorong masyarakat untuk berorientasi pada slogan ‘yang penting dapat ijazah!’
Juli 6, 2007 at 11:53 am
Bung Yari NK,saya prihatin kalau ITB sebagai perguruan tinggi terkemuka,perilaku dosennya seperti itu.Namun kita harus juga lebih hati-hati menyimpulkannya .Kita belum tahu apakah semua dosen di Teknik Industri seperti itu.Apakah juga kebanyakan dosen ITB berperilaku seperti yang sepupu anda ceritakan. Data belum kita miliki.Mudah-mudahan tidak demikian.Artinya mayoritas masih banyak yang memiliki integritas akademik yang tinggi.
Tentang PT yang begitu gampang meluluskan atau memberi izasah juga saya ikut prihatin.
salam akademik
Juli 7, 2007 at 6:10 am
caranya bagaimana ya pak agar kejadian itu /pelecehan terhadap pendidikan tidak terjadi di negara ini. sepertinya yang mengajarkan seperti itu malah orang-orang yang berpindidikan, mereka tau dan mendapatkan ilmu pendidikan tetapi mengapa mereka malah yang melakukan keburukannya ya pak… heran ..
Juli 7, 2007 at 11:42 am
ya artinya sang dosen baru berfungsi sebatas sebagai pengajar;itu pun konon payah! Jadi yang lebih penting sang dosen seharusnya juga menjadi pendidik.Karena kedudukannya itu,sang dosen harus mampu mendidik dirinya sendiri lewat penilaian diri agar memiliki integritas akademik.Tidak mengorbankan khalayak belajar,sementara dia sendiri begitu asyiiknya mencari penghasilan di luar proses pendidikan.
salam
Juli 8, 2007 at 9:19 pm
Saya setuju Prof, untuk meraih gelar sarjana itu tidaklah gampang. Butuh perjuangan yang luar biasa kerasnya.
Sedangkan mereka-mereka yang punya gelar kesarjanaan dengan cara membeli, tak bersusah payah, biasanya bangga dengan embel-embel gelarnya saja. Pamer ke sana-kemari. Marah bila dipanggil namanya tanpa gelarnya disebut. Bangga bergelar, tapi tanpa isi, kosong-plong-melompong…
Tapi juga bener Prof, bagi kita yang benar-benar punya gelar pun tak boleh sombong bin takabur atau juga meremehkan orang lain. Kita juga wajib menghargai orang lain, bagaimanapun keadaan mereka, berpendidikan tinggi ataupun tidak, pandai ataupun kurang pandai. Dan juga dilarang keras pamer alias riya…
Salam akademik juga ah… 😀
Juli 8, 2007 at 10:10 pm
ya benar bung Math,orang bergelar semu biasanya berkarakter seperti yang anda katakan.Benar juga dia yang bergelar sederetan sebutan pun kudu tawadhu.Namun di sisi lain kalau mencantumkannya jangan serta merta disebut riya.Sah-sah saja.Siapa tahu di balik sederetan gelar itu plus amal ibadahnya yang tak pernah putus bisa jadi dapat mendorong orang lain untuk berbuat hal yang sama.
salam tawadhu
Juli 12, 2007 at 12:02 pm
prof…
maaf OOT nih
malahan di tempat saya, lulusan SMA, bisa punya gelar berjejer, dan sekarang sudah menjadi ketua DPRD magetan [ duh Gusti]
kasusnya sampek sekarang mandeg, karena ternyata Bupati dan Ketua PN nya berbendera sama2 “merah”
[duh Gusti]
parhnya, disini jauh dari keramaian “dunia”
dan jauh daru endusan LSM,
salam dari kaki gunung lawu
masdhenk
Juli 12, 2007 at 12:04 pm
dan sekarang malah, setelah kasus ijazahnya “raib” entah kemana…
muncul lagi korupsinya…
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=10847
Juli 16, 2007 at 5:38 am
hal ini kembali kepada mental si pelaku yang memiliki mental yang baik ataukah mental yang bobrok….
sebenarnya yang sepatutnya prihatin adalah kita semua karena mental yang bobrok terjadi karena ada yang lebih dulu melakukannya dan dapat hidup tenang setelah melakukannya, sehingga orang lain merasa aman untuk mengikutinya…
untuk itu diperlukan kerjasama dengan aparat terkait untuk memberikan sanksi kepada badan-badan yang ilegal memprakrtikkan hal tersebut dan juga menyebarkan nama-nama pemilik ijazah ilegal sehingga mereka merasa malu atas apa yang telah dilakukannya…
Juli 17, 2007 at 1:25 am
sependapat neng evi…
salam
Juli 25, 2007 at 2:15 pm
kalo saya sungguh senang dapat gelar begitu apalagi dengan biaya semurah itu,
malu wah buat apa malu,.. toh saya bukan orang “pandai” jadi ga perlu malu untuk punya gelar tersebut dan senang sekali saya mempunyai gelar tersebut.
tapi bukankah kita juga punya orang pandai entah dia bergelar ato tidak tapi kenyataannya apa sich dia lakukan. tetap aja negara ini tetap seperti ini. kalo merasa pandai dan benar benar bergelar ya lakukan untuk memperbaiki ini bagaimana dan mengambil alih dari orang orang yang hanya beli gelar seperti saya ini. usaha donk jangan hanya pandai berkomentar, tapi usaha donk dengan kepandaian yang anda miliki untuk mengambil alih semua bidang dari orang2 yang beli gelar seperti kami, artinya gelar yang anda anggap benar2 gelar buat saya malah meragukan, karena toh semua ini dikuasai orang yang kata anda beli gelar artinya yang beli gelar sebenernya lebih pandai daripada anda, yang menurut anda benar2 bergelar. jadi kalo orang yang bener2 bergelar tersebut bisa menguasai keadaan ini silakan anda berkomentar demikian. tapi kondisi sekarang kamilah yang menguasai jadi gelar yang kami sandang adalah karena kami memang menguasai. bukan anda yang merasa dengan susah payah mendapat gelar.
Juli 25, 2007 at 7:03 pm
trims mas plekenyuk atas ulasannya..senang dan atau tidak senang merupakan hak setiap individu,…juga malu atau tidak malu…begitu pula untuk menghimbau dan tidak menghimbau…
Mei 19, 2008 at 6:56 am
Jawaban yang jitu dari pak sjafri untuk si plekenyuk. Orang begitu gak usah ditanggapin panjang-panjang, cape dehhhh, gak akan nyambung, orang belajar aja gak pernah, udah untung pas diwisuda gak berubah jadi monyet
Mei 19, 2008 at 7:07 am
Hati-hati ada STIE di Bandung yang jualan ijazah, lulusan SMA bisa lulus S1 hanya dalam waktu 2 tahun, tapi pada saat wisuda diisi dengan orasi ilmiah dari Rheynald Kasali. Kalo bapak kenal dengan pak rheynald, kasih tau sama dia, kasian pak rheynald kasali yang sudah punya nama besar harus ikut tercoreng.
Mei 20, 2008 at 1:32 pm
ya indra….kita hidup jangan berorientasi pada instan….tanpa perjuangan apalagi tidak sabaran dalam mencapai cita-cita…..yang penting jalan pintas….wah berabe ……kalo gitu tidak merasa romantika dan dinamikanya perjuangan dalam penyelesaian studi….salam
Agustus 31, 2008 at 3:40 pm
sekarang siapa yg tidak adil?
kenapa lulusan SMU setidaknya seperti saya yang berhenti kuliah karena keterbatasan dana.
sekarang saya sudah bekerja dengan modal keahlian di bidang IT akhirnya saya diterima kerja dengan gaji yang pas2an (menurut standar IT).sempat mencoba melamar di perusahaan lain dengan modal pengalaman dan skill yg saya punya.jangankan di interview, ngerespon email saya saja tidak!!apa ini adil??saya akan lebih tau diri kalo saya di tolak karna tidak lulus tes.lha ini kesempatan saja tidak di berikan!akhir2 ini saya sempet mikir kalo lebih baik saya beli ijasah S1 aja supaya ada peningkatan gaji ato setidaknya DI BERI KESEMPATAN!!!kalo udah gini siapa yg salah??pemerintah?udah g jamannya lagi nuntut ke pemerintah!perlu di ketahui saya sering mengerjakan project skripsi dan hasilnya minimal dapat B.apakah saya tidak berkualitas?
September 1, 2008 at 11:26 am
ya bukansarjana….ternyata sarjana tidak selalu menjamin akan sukses ketika masuk pasar kerja….justru anda yang bukan sarjana ternyata bisa sukses…..kalau toh khalayak “membutuhkan” ijasah sarjana,itu sekedar formalitas persyaratan legal…..padahal defacto keberhasilan kerja jauh lebih penting ketimbang selembar ijasah…..
November 27, 2008 at 6:12 pm
Mau tanya ? BILL GATES 13 tahun jadi orang terkaya di dunia, sampe saat ini digeser sama W.Buffet, tuh pak bill dulunya DO lo….dari kampoesnya di amrik sono…nyoba masuk ke kampus indo aja ditolak (rumor aneh), tapi nyatanya ???? Modal kejeniusan yang sebenarnya TANPA “IJAZAH” dan modal semangat bekerja, berdoa setelah berusaha, belajar hal-hal yg baru, dan laennnnn laennn…..skrg kampus mana yang berani nolak OM BILL ???? gitu aja masukan gue buat “bukansarjana” dan yang laen2…jaman sekarang, sampe ada iklan “Pilih Kerja Dulu..?? Pilih Ijazah Dulu ?? (iklan Rokok tuh..) …
memang kenyataan pengangguran disini masih banyak..nyak..nyak…nyak…semangatlah “bukansarjana” gak semuanya selalu meminta ijazah…(buktinya ? GUE…dan masih banyak yang lain disini. asal loe pantang menyerah dan berdoa always itu..)
November 27, 2008 at 10:53 pm
bung mode on….yang penting apa sih hakekat kita hidup ini?……kan idealnya berbuat di jalan lurus….apakah dia sarjana dan atau bukan itu mah bukan hal yang paling pokok….tidak sedikit yang sarjana tapi kinerjanya lebih rendah ketimbang yang bukan…..mengapa? karena yang sarjana tidak mau belajar lagi,seolah gelar sudah menjadi tujuan akhir……,bukan sebagai langkah awal untuk mengembangkan diri berikutnya……namun yang bukan sarjana,mereka ada yang tekun terus belajar dan belajar….terutama dari universitas kehidupan……jadi isu sentral dari artikel ini adalah jual beli gelar…..itu kan namanya jalan pintas dan sekaligus tidak percaya diri…..terlebih menempatkan dan mendambakan gelar sebagai segalanya……
Desember 9, 2008 at 2:32 am
fenomena jual beli ijasah sudah tidak aneh, saya pernah mau ditawari untuk ikut program sarjana paket kilat disalah satu universitas negeri ternama di daerah depok, dengan hanya bermodalkan 25 jt + kuliah selama 1 semester saja saya sudah bisa mengatongi gelar sarjana
bukan main dinegara ini, asal ada uang semua bisa lancaaarrr
Desember 10, 2008 at 9:06 pm
ya mbak meta…itulah fenomena di sebagian individu yang tak bertanggung jawab……namun saya percaya secara institusi PT bersangkutan tak punya kebijakan yang aneh seperti itu……
Desember 9, 2008 at 8:43 am
jujur pak setelah saya mengikuti kuliah bapak, dan mencoba tulisan bapak ini saya seorang mahasiswa program studi MANAJEMEN merasa malu..akan apa yang saya lakukan selama ini. selama kurang lebih selama 3 tahun saya kuliah di salah satu institusi negti terkenal di jawa barat, saya merasakan bahwa gelar hanya sekedar formalitas..saya malu terhadap sistem pendidikan di negri ini, pola pikir dan kebiasaan yang menjustifikasi harkat dan derajat seseorang lewat title pendidikannya..mereka seharusnya malu, bahkan saya saja yang notabene mahasiswa yang belum menginjak umur 20 tahun sangat MALU terhadap rutinitas yang membosankan(maaf kalau saya tegas dalam hal ini, karena memang ini yang saya rasakan)..budaya organisasi yang BOBROk dan kelewat tidak disiplin membuat akumulasi kebiasaan yang buruk di institusi2 di negri ini..mulai saat ini saya akan terus mencari SOFTSKILL saya yang utama untuk memperbaiki sistem nilai yang bobrok ini, dan membuka kacamata masyrakat, bahwa ilmu yang sesungguhnya harusnya timbul dari kerinduan akan cinta dan haus terhadap ilmu tersebut..
terimakasih PROF..
Desember 10, 2008 at 9:04 pm
ya bastian……saya juga prihatin terhadap proses dan mutu pendidikan dan lulusannya di negeri ini……namun saya masih yakin ipb sebagai kampus yang terbaik…….tidak bobrok…….saya bangga menjadi warga ipb…..kalau toh ada kekurangan di sana sini yang relatif kecil adalah sesuatu yang biasa……nah sebagai mahasiswa yang merupakan komponen ipb,saya percaya banyak yang bisa dilakukan buat peningkatan mutu antara lain belajar dengan baik……saya bangga karena banyak lulusan manajemen fem ipb yang berhasil di dunia kerja, walau selama proses belajar di ipb kurang didukung fasilitas yang memadai……hampir di setiap pelantikan ada lulusan yang selesai studinya kurang dari 4 tahun…..bimbingan saya tidak sedikit yang seperti itu…..itu berarti mereka sudah mampu mengoptimumkan sumberdaya pembelajaran yang terbatas……. sekaligus juga mereka sudah memiliki dan menerapkan softskills untuk tidak banyak mengeluh…….. apalagi kecewa menghadapi keterbatasan yang ada tetapi malah mengubahnya menjadi dorongan untuk maju……. selamat belajar
Maret 16, 2009 at 4:55 pm
klo mu bli ijazah d mana nihh..
lagi butuh bgt??
ada yg punya info
Juli 8, 2009 at 10:25 am
pendidikan indonesia yang hanya menekankan nilai akademisi dan bukan pada aplikasi yang membuat pendikdikan itu membosankan .menghafal bukanlah hal penting untuk standar suatu kualitas yang baik tapi semangat dan kerinduan mencapai ilmu yang diminatilah yang bisa merubah dunia.
Juli 8, 2009 at 10:46 am
betul alfrit…jadi kurikulum yg dikembangkan seharusnya berbasis kompetensi….yakni kurikulum dikemas berdasarkan apa yg akan dikerjakan khalayak belajar nanti kalau sudah lulus….artinya khalayak belajar tidak sekedar tahu apa yg akan dikerjakan…tetapi juga bagimana mereka mampu melakukannya….selain itu perlu dikembangkan masyarakat belajar dimulai dari rumah (sekolah informal)
Juli 8, 2009 at 10:28 am
saya perlu ijasah pendidikan bahasa inggris. tlong balas?
Juli 8, 2009 at 10:40 am
alfrit…..minta tolong apa?…..ya ikut proses pembelajaran dong…
Juli 8, 2009 at 10:47 am
alfrit…saya tak tahu maksud anda minta tolong balas….
Agustus 27, 2009 at 12:27 pm
saya sudah pernah kuliah disalah satu universitas swasta jurusan ped.bahasa inggris kurang lebih sudah menggambil 120 sks.saya tidak ditamatkan karena bermasalah dengan yayasan yang tidak bisa ditolerir. sekarang mengajar bahasa inggris privat.sya ingin punya ijasah yang penting pengetahuan sama dengan yang punya gelar Spd pnd.bahsa inggris.
Agustus 27, 2009 at 7:28 pm
bung alprit….sebaiknya kuliah lagi di universitas lain…. dgn memertimbangkan kesetaraan nilai-nilai ujian yg sudah pernah diperoleh….
September 5, 2009 at 6:07 pm
bagaimana cara tuk beli ijazah??????
Juli 29, 2012 at 12:39 pm
Hal ini perlu kita kaji secara menyeluruh, jangan dari sisi beli ijazahnya saja tetapi penyebabnya juga perlu kita cermati. Sekarang hampir seluruh perusahaan terlebih BUMN selalu membuka lowongan pekerjaan bagi lulusan S1. Yang nota bene jenis pekerjaan yang ditugaskan kepada karyawan baru lulusan S1 itu bisa dilakukan oleh pegawai lulusan SMA bahkan lulusan SMP, al seperti mencatat register surat, fotocopy dokumen, menyusun dokumen, entry data yang semuanya ada manualnya.
Nah bagi warga negara yg bernasib hanya dapat ijazah SMA tidak diberi kesempatan. Berpijak dari sinilah saya kira ada terpikir untuk beli ijazah S1 toh nantipun tugas yang diberikan tidak perlu2 banget pemikiran seorang lulusan S1. Kecuali bidang2 khusus seperti pertambangan, teknologi informasi dll tapi semuanya juga tergantung tugas apa yang akan diberikan ya mbok jangan seluruh kebutuhan tenaga berja harus dipenuhi oleh lulusan S1. Pernah pengalaman saya di BUMN menerima anak2 magang kelas 2 SMP sekedar mengisi liburan sekolah, saya beri tugas entri data aset, cukup diberi penjelasan cara buka layar entri data, cara mengisi field2nya, terus anak2 tsb kerjakan lancar2 saja.
Saya pribadi sangat tidak setuju adanya beli ijazah S1 Aspal tapi ya beri kesempatanlah anak bangsa yang bernasib hanya sampai SMA untuk turut menikmati lowongan pekerjaan terlebih di BUMN dan PNS
Agustus 3, 2012 at 1:54 am
ya benar sekali warcip…pasar kerja telah banyak menuntut calon pegawai yg memiliki izasah atau strata pendidikan yg semakin tinggi…namun apakah itu otomatis sesuai dengan bidang pekrjaannya…disinilah pentingnya setiap proses rekrutmen berbasis kompetensi pekerjaan dan kompetensi individu…
Juli 31, 2012 at 8:29 am
permasalahannya terletak pada pemerintah yang selalu menekankan pada status seseorang dan diikuti oleh pola pikir masyarakat yang cenderung beranggapan jika S1 bearti telah top. Kenyataan di lapangan, tamatan SLTA masih dapat bersaing dengan tamatan S1. Akhirnya kembali pada diri kita, apakah kita ingin gelar/status atau kita terpacu membagikan/mengaplikasikan apa yang kita punya kepada orang lain..
Agustus 3, 2012 at 1:49 am
susilo…sependapat…gelar bisa jadi cuma sekedar asesori fisik seseorang…bukan gambaran modal prestasi nyata di lingkungannya
November 25, 2014 at 4:23 am
Kami pembuat ijazah , siap melayani anda untuk pembuatan ijazah,,,,,dgn terdaftar dan terakreditasi dijamin asli info silahkan buka http://buat-ijazah.blogspot.com