Siapapun sudah dipastikan pernah emosi, tentunya termasuk saya. Rasa marah, benci, kesal, sedih, murung, cinta, gembira, sayang; semuanya adalah bentuk emosi. Emosi tidak pandang bulu. Ia dapat hadir pada strata individu manapun. Baik pada anak-anak remaja, pemuda, sampai orangtua lanjut usia. Baik pada orang miskin maupun pada orang kaya sekalipun. Baik pada orang desa pedalaman sampai pada orang kota megapolitan. Bahkan bisa juga terjadi pada para guru, dosen, pemuka politik, militer, dan masyarakat. Termasuk bisa terjadi pada karyawan di tingkat operator atau staf sampai manajemen puncak.
Bagaimana emosi itu bisa muncul? Yang jelas ia datang begitu saja. Tanpa perencanaan “strategis” berupa tujuan dan strategi emosi seperti “hei emosi datanglah padaku!”. “ Akan kuhadapi kau secara taktis”. Lalu apakah emosi dapat memaksa anda untuk berbuat sesuatu? Tidak juga. Yang terjadi, emosi dapat mengarahkan pada kita untuk melakukan sesuatu. Emosi dapat merangsang pikiran dan kreasi baru, daya hayal baru, dan tingkah laku baru. Mengapa? Karena emosi itu datang sebagai refleksi atau tanggapan atas kejadian tertentu yang dihadapi seseorang.
Emosi ada yang menyenangkan dan ada pula yang menyedihkan. Ada yang enak, ada pula yang menyebalkan. Coba Anda rasakan sendiri. Emosi dapat menghalangi hubungan harmonis dengan orang lain, kalau kita sedang marah dan benci. Sebaliknya emosi mampu sebagai perekat hubungan yang semakin aduhai nyamannya, misalnya karena rasa kasih sayang dan cinta yang diterima dari orang lain. Tetapi yang jelas daya tanggap tentang emosi akan berbeda antara individu yang satu dan yang lainnya. Ada yang emosi begitu bergelora, ada juga yang tenang-tenang, bahkan ada yang dingin saja kalau menghadapi kejadian tertentu. Karena itu emosi dapat memiliki kekuatan untuk membangun dan bisa juga merusak diri sendiri dan orang lain.
Nah, lalu bagaimana mengelola emosi seoptimum mungkin? Berikut beberapa tips kecil yang mungkin dapat dipakai:
· Berpikir positiflah pada emosi terutama emosi yang bercorak buruk, galilah dan ambilah hikmahnya,
· Pandanglah emosi itu sebagai salah satu jalur untuk mengenali dan memperbaiki diri sendiri dan membantu orang lain,
· Emosi jangan disimpan sendiri tetapi ungkapkanlah kepada orang-orang terdekat untuk berbagi simpati dan empati,
· Emosi, khususnya yang bersifat negatif, jangan didiamkan apalagi dipelihara tetapi diolah menjadi potensi kekuatan untuk mengembangkan diri.
Juni 14, 2007 at 4:18 pm
terima kasih tulisannya begitu menggugah… 🙂
Juni 15, 2007 at 1:32 pm
salam kenal,,
wah itu dia pak, cara mengelola emosi itu yang susah karena biasanya kalo udah emosi ngontrolnya susah.. tolong beri saran pak..
Juni 16, 2007 at 9:30 pm
terimakasih arul,semoga kita mampu menekan emosi negatif
salam
Juni 16, 2007 at 9:36 pm
Salam kenal juga bung shiro,
Emosi bersifat dinamis. Dia mengalir dan bergerak begitu saja
ketika kita merespon sesuatu kejadian. Namun kalau emosinya negatif harus segera dilepaskan. Kalau tidak, enerji negatif akan semakin memperburuk pikiran/otak dan hati. Jadilah kita sebagai perusak diri sendiri dan lingkungan sosial sekitar. Bagaimana jalan keluarnya? Yang jelas tak ada taktik yang standar; cuma prinsip-prinsipnya saja (lihat artikel saya di blog ini). Pemecahannya bersifat kasus perkasus karena lingkup, derajat, dan penyebab emosi antarindividu beragam.
Salah satu contoh kalau sedang marah, pendekatannya mungkin:
•Segera beristighfar-mohon ampunan-Nya,
•Memohon petunjuk-Nya,
•Menarik nafas dalam-dalam,
•Merenung secara mendalam sambil introspeksi diri (untung ruginya marah),
Insya Allah enerji negatif akan lepas dengan sendirinya. Kemampuan menghilangkan emosi negatif seseorang merupakan fungsi dari waktu dan tempat. Termasuk seberapa jauh dia mau belajar dari faktor penyebab adanya emosi negatif.
salam
Juni 16, 2007 at 9:44 pm
Saya percaya, emosi adalah satu sifat yang sangat penting yg dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa kepada manusia (selain otaknya/intelegensianya). Sifat inilah yg membedakan kita dari makhluk2 lainnya. Sifat ini pulalah yg membuat kita menjadi spesies yg unik, spesies yg paling sempurna. Mungkin pula sifat emosi ini secara tidak langsung ikut pula dalam pembentukan dan memajukan peradaban manusia di muka bumi ini.
Juni 16, 2007 at 10:11 pm
Benar bung Yari NK,
Malah kita diberi-Nya kekayaan emosi yang banyak. Kalau mau belajar tentang hidup dan kehidupan maka kita semakin sadar bahwa emosi dapat merefleksikan sesuatu: kecemasan sebagai tanda bahaya; cinta ternyata tak semudah seperti dibayangkan; kebencian ternyata kebalikan dari kasih sayang; marah ternyata kita mahluk cenderung perusak; rasa bersalah ternyata kita mahluk yang kurang sempurna; kegembiraan terdorong untuk berbagi suka dengan orang lain…dst. Intinya tinggal bagaimana mengoptimumkan emosi itu khususnya yang negatif menjadi enerji positif..
salam
Juni 20, 2007 at 10:19 am
Prof. Sjafri,
Saya mempunyai pengalaman dengan dua tipe kepemimpinan yang berbeda cukup ekstrim dalam mengelola emosinya.
Yang pertama, katakanlah Mr. A, seorang keturunan Amerika. Dalam satu kesempatan saya membuat satu kesalahan yang membuatnya sangat marah. Saya tahu benar dia marah besar karena mukanya menjadi merah padam. Tetapi, herannya, dia tidak mengucapkan sepatah katapun selain, “please leave me alone, we’ll talk about it later …”
Keesokan harinya, dia memanggil saya untuk membahas persoalan yang terjadi. Dia mendiskusikannya dengan emosi datar, dan membahas mengapa kesalahan tersebut dapat terjadi. Dia bahkan sempat bilang kepada saya bahwa dia berhak untuk memecat saya karena kesalahan yang saya lakukan. Namun kemudian dia menerima penjelasan dan permintaan maaf saya, juga tekad saya untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi.
Yang saya kagumi dari Mr. A ini adalah kemampunanya mengendalikan emosinya sehingga tidak perlu berteriak-teriak dan marah-marah sekalipun dia sebenarnya mempunyai hak untuk itu.
Sebaliknya dengan, sebutlah Mr. B, seorang keturunan Asia. Secara pribadi saya cukup dekat dengannya. Sehari-hari pembawannya sangat ceria dan suka bercanda. Namun demikian, ketika dia mendapatkan tekanan, dia menjadi demikian tertekan dan cenderung menyalahkan semua yang bisa disalahkannya. Sebuah persoalan yang menurut saya kecil dan mudah diselesaikan bisa membuatnya mengomel berjam-jam … Ketika dalam kondisi demikian, dia tidak dapat mengendalikan dirinya dan marah-marah tanpa konteks. Bahkan kepada diri saya, sesuatu yang tadinya saya pikir tidak akan terjadi mengingat hubungan baik yang saya bina. Dan menurut saya, sesuai dengan senioritas dan posisinya dalam organisasi, dia tidak seharusnya bersikap seperti itu.
Sejak saat itu saya tidak lagi menganggap sikap baiknya kepada saya merupakan jaminan kedekatan dan hubungan baik. Menurut saya, sangat jelas Mr. B ini tidak mempunyai kemampuan mengendalikan emosi sebagaimana Mr. A.
Kasus yang saya alami dengan Mr. A dan Mr. B memberikan pencerahan kepada saya, bahwa “kecerdasan emosional” dan kemampuan mengendalikan tekanan dalam kepemimpinan juga harus lahir dari diri individu masing-masing. Ini semacam pencerahan kejiwaan yang tidak dapat dipaksakan oleh lingkungan. Harus ada panggilan hati dari individu masing-masing untuk mau melakukannya.
Atau jangan-jangan kecerdasan emosional sebenarnya sudah terbentuk “dari sononya” sebagai bagian dari karakteristik seseorang sejak lahir?
Salam,
M. Efendi Arianto
Juni 20, 2007 at 11:42 am
Mas Efendi,
Kecerdasan emosi tiap individu agaknya sebagai suatu sifat yang fitrah. Namun dalam perjalanannya terjadi kualitas kecerdasan emosi individu yang beragam. Kondisi ini diduga sangat dipengaruhi oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik dari yang bersangkutan.
salam
Juni 25, 2007 at 2:57 am
Mau tanya prof,
Bagaimana hubungan pengalaman/trauma-trauma masa kecil dengan kemampuan orang untuk mengelola emosinya? Saya kalau sedang mengalami emosi, terutama yang negatif, selalu mengaitkan dengan masa kecil saya.
terima kasih Prof.
Juni 25, 2007 at 8:25 am
Ya bung adi. Secara teoritis dan empiris ada hubungannya. Namun sejalan dengan faktor usia dan proses pembelajaran kehidupan, seharusnya trauma akan hilang dengan sendirinya. Dalam prosesnya seseorang yang pernah mengalami trauma semestinya semakin mau menerima kenyataan hidup. Kalau tidak ditangkal apalagi dipelihara (dendam, benci, amarah dsb) justru akan menambah trauma baru lagi. Jadikanlah trauma masa lalu sebagai pengalaman hidup. Biarlah kejadian itu milik masa lalu.Mulailah dengan kehidupan baru. Itulah yang disebut dengan mengelola emosi secara optimum. Saya percaya anda pun bisa.
Salam
Juni 27, 2007 at 4:05 am
1. bagaimana caranya atau rahasia mengambil hati orang
agar disenangi sama teman
2. bagaimana menyikapi teman kantor yang saling siku
Juni 27, 2007 at 4:50 am
Bung Ahmad,
1.Beberapa cara (normatif) untuk dapat disenangi orang atau teman, antara lain :
•Selalu beritikad kita mau dan mampu menyenangi orang atau teman sebelum kita sendiri ingin disenangi orang lain,
•Memiliki sikap simpati dan empati terhadap orang lain,
•Pandai bertegur sapa atau berkomunikasi dua arah;jangan memborong pembicaraan,
•Siap membantu orang lain sejauh kita mampu,
•Rendah hati dan konsisten atau apa adanya,
•Tentunya masih banyak perbuatan baik lainnya kepada setiap orang.
2.Sikap kita kalau ada teman yang saling sikut antara lain:
•Upayakan tidak memihak atau netral; jangan terlibat dalam fenomena itu kecuali diminta;
•Kalau diminta sebagai penengah, upayakan melakukan tabayun-investigasi terlebih dahulu; mengapa kejadian itu timbul, sejak kapan, apa akibat-akibatnya,dst.
•Ajaklah teman-teman yang saling sikut untuk bersilaturahim;dalam suasana rileks, untuk memperkecil emosi,
Salam kebajikan
Juni 28, 2007 at 7:36 am
Pak Sjafri,
bagaimana caranya menghadapi rekan-rekan yang selalu ada bersama-sama saya karena suatu kegiatan, tetapi saya tidak merasa dekat dengan mereka karena perbedaan pandangan dan perbedaan sikap. Saya sudah mencoba berulang kali untuk bisa memahami mereka dan mencoba untuk melakukan pendekatan, tetapi sepertinya tidak ada timbal balik dan seringkali saya merasa kecewa. Saya mencoba untuk introspeksi diri, tapi keadaan tetap tak berubah. Bagaimana caranya untuk dapat mengatasi hal tersebut pak?
Juni 28, 2007 at 10:34 am
Evi, satu hal yang memang tidak mudah untuk berteman dengan baik yakni terdapatnya perbedaan pandangan dan sikap dengan teman-teman tersebut. Saya tidak mungkin memberikan jalan keluar secara spesifik karena belum tahu perbedaan pandangan dan sikap tentang apa. Apakah karena perbedaan dalam hal keyakinan agama, moralitas, etika, etiket, gaya pergaulan, keegoan, dsb. Sudah berapa lama pertemanan itu berlangsung? Apakah selama ini pernah konflik? Dalam hal apa dan mengapa?
Introspeksi diri yang anda lakukan sudah benar.Tapi pertanyaannya apakah sudah tepat?.Siapa tahu ada beberapa hal yang belum anda ketahui tentang diri anda sendiri.Termasuk juga mereka belum mengetahui tentang diri anda. Padahal itu merupakan syarat terbentuknya dinamika kelompok: yakni terjawabnya pertanyaan who am I? who are you? dan akhirnya terjawab who are we?. Here we are. Dan semuanya butuh waktu dan kesabaran. Terus coba evi. Apalagi anda khan humble ya? Sukses!.
Salam kebajikan.
Juli 27, 2007 at 2:46 am
Saya seorang guru dan sebentar lagi akan menjalani tugas baru yaitu sebagai kepala sekolah.Kiranya bapak berkenan memberikan saran pada Saya agar Saya dapat diterima ditempat yang baru dan dapat bekerja secara optimal.
Thanks for much.
Juli 27, 2007 at 9:14 am
mbak herlyna;ada beberapa langkah minimum yang mungkin dapat dilakukan:
=sebelum ke lokasi baru, mengumpulkan dan mempelajari data-data tentang sekolah yang akan anda pimpin tentang; jumlah guru, jumlah murid,kondisi sos-ek guru dan murid,hubungan timbal balik murid-guru,administrasi,dsb
=orientasi berupa perkenalan dengan pemda di lingkungan kerja anda,dengan para guru,murid,wakil murid,dan pegawai administrasi;
=karena anda sebagai kepala sekolah berarti anda menjadi pemimpin;jadi ciri-ciri di dunia akademik pemimpin benar-benar menjadi pengayom,teladan,jauh dari otoriter,komunikatif,dekat dengan murid,membuat suasana belajar berorientasi pada prestasi akademik,membuat program ekstrakurikuler,kekeluargaan ……daaaan hindari pungutan-pungutan tanpa kesepakatan dengan ortu murid;dsb…
selamat mengabdi
Agustus 22, 2007 at 5:48 pm
pak saya punya seorang teman sekaligus atasan saya dikantor,
awalnya saya sangat simpatik sama dia karna dia baik,tapi balakangan ini dia berubah
apalagi kalau sedang ada masalah.kadang suka marah ga jelas dan kadang murung
diam dan acuh. dan dia sangat sulit terbuka tentang masalahnya,padahal saya ingin
sekali meringankan bebannya.
gimana yah cara mendekatkan dia pada kondisi seperti itu agar saya dapat membuat
dia senang,paling tidak dia mau share masalahnya.
dan apa tips agar saya dapat meredam amarahnya
trima kasih mohon pencerahannya.
Agustus 24, 2007 at 12:07 am
kang sulaiman,
marah merupakan fenomena wajar dan bisa terjadi pada siapapun…emosi membara…sampai-sampai lalu murung dan bahkan menyendiri…serta acuh pada orang lain….itu terjadi ketika keinginan atau kepuasannya tidak tercapai….
lalu bagaimana kita menghadapi rekan atau sahabat atau atasan yang juga rekan anda seperti itu?…pertama, dalam keadaan apapun jangan tinggalkan dia…kita jangan terjerat pada perilakunya yakni kesal, marah, dan bahkan benci dengan tingkahnya..kalau seperti itu apa bedanya kita dengan teman anda yang marah itu…kedua,kita harus mengerti keadaannya…hindari untuk berbantah-bantah dengan ybs…untuk beberapa hal penuhi saja permintaannya sejauh tidak merugikan anda dan lingkungan…ketiga, undanglah dia beberapa kali ke rumah anda atau ke tempat nyaman untuk makan atau nonton atau olahraga sesuai hobynya dalam suasana rileks bersama keluarga….keempat,dalam suasana yang mulai reda tunjukkanlah empati anda yang semakin besar dan mulailah bercurhat…memang butuh waktu dan kesabaran….insya Allah…
salam emphati
Agustus 25, 2007 at 12:41 pm
Trima Kasih banyak Pak…
Dia sudah mulai curhat pada saya.
saya ingin sekali membantunya tapi saya minta tolong jalan keluarnya pak.
masalahnya begini:
Dia kan sebagai atasan dikantor,sebenarnya masalalahnya adalah
antara bawahan dengan bawahannya yang ada konflik,
karna sebagai pemimpin dia sebenarnya tidak ingin terjadi konflik antara rekan kerja
tapi dia bingung cara mengatasinya.
apakah bapak punya cara untuk mengatasi hal tersebut?
Dia merasa terbebani denga adanya masalah tersebut.
sementara pekerjaan kami membutuhkan kekompakan dan kerja sama team.
terima kasih,saya berharap bapak bisa membantu kami.
Agustus 25, 2007 at 1:27 pm
ya bung sulaiman,
kalau masalahnya seperti itu memang sebaiknya sebagai atasan tidak perlu terus langsung intervensi…percayakan saja dahulu pada bawahan yang berkonflik untuk mengatasinya…kalau perlu diantara teman-teman bawahan yang dianggap paling arif bisa ikut mengatasinya…..barulah kalau toh tidak teratasi juga sang atasan harus segera terlibat…itu pun kalau konflik yang terjadi akan sangat mempengaruhi suasana kerja dan kinerja organisasi….untuk itu yang pertama, atasan membuat suasana “perundingan” yang nyaman dan informal agar tidak kaku dan supaya masing-masing melakukan introspeksi diri; kedua,atasan menanyakan duduk masalah terjadinya konflik; ketiga, mulailah mengatasi masalah dari unsur penyebabnya; keempat,diskusikan bersama dengan mereka yang konflik apa yang harus dilakukannya; disini atasan bisa memberi masukan namun tidak memihak; kelima, memberi kesempatan beberapa hari kepada yang konflik untuk lebih merenung lagi untung ruginya konflik; keenam,fase perdamaian untuk saling
memahami dan memaafkan.
salam
September 19, 2007 at 8:31 am
saya selau ingin mengontrol kemarahan saya setiap kali saya merasa marah yang memuncak
tapi saya selau gagal..
terkadang Kesalahan yang sudah berlarut larut sering saya sesali kembali dan terkadang rasa marah itu membuat saya tidak terkontrol seprti menagis padahal peristiwa itu sudah lama sekali terjadi….dan kadang kala saya berfikir itu cuma masalah kecil
September 19, 2007 at 8:43 am
kadang saya berfikir ….
emosi ada kaitanya dengan garis keturunan,pendidikan,geografist,pergaulan dan ekonomi ???
September 19, 2007 at 4:51 pm
lina; karena itu diperlukan manajemen emosi…apakah kita mau menyembunyikan atau menyatakan/melepas emosi apa adanya…..menggunakan cara berpikir logis dan hati tenang dalam memanfaatkan emosi dengan baik….atau meminta pertolongan agar emosi bisa dikendalikan dengan baik…..btw harus disadari emosi bukan turunan tetapi sangat kuat dipengaruhi oleh kondisi keseharian perilaku orangtua atau anggota lainnya…..semakin tinggi frekuensi emosi orangtua diduga semakin terbuka peluang anggota keluarga lainnya tersosialisasi (meniru) perilaku emosi….
November 13, 2007 at 4:42 am
orang yang cerdas mengelola emosi, menjadi orang yang bijak, hati tenang, menghadapi tantangan dapat mengelola
November 13, 2007 at 3:14 pm
ya anda benar mas paino…..