Beberapa perguruan tinggi negeri Indonesia (UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, UNDIP) masuk dalam daftar 500 perguruan tinggi kelas dunia. Tahun ini tiga diantaranya yang berkelas 200an dan 300an yakni UI, ITB dan UGM. Mengapa cuma segelintir perguruan tinggi saja? Apakah ini terkait dengan mutu SDM para dosennya yang kurang berprestasi? Mari disimak apakah setiap perguruan tinggi di Indonesia sudah memiliki model perencanaan pengembangan sumberdaya dosen yang handal? Apakah terdapat unsur pertimbangan ke depan berapa jumlah dosen dengan kualifikasi tertentu dibutuhkan? Termasuk berapa jumlah guru besar ideal yang dibutuhkan untuk menjadikan suatu perguruan tinggi berbasis riset skala internasional? Apakah kebutuhan itu dikaitkan dengan visi dan misi perguruan tingginya? Apakah juga dikaitkan dengan tuntutan pembangunan khususnya pengembangan ipteks nasional dan global? Apakah ada jabaran road map pengembangan dosen sesuai kebutuhan keilmuan, kurikulum, dan kebutuhan penelitian iptek dalam jangka menengah dan panjang? Apa dan bagaimana upaya pengembangan yang dilakukan?
Tentang itu, saya pernah bertanya pada teman sejawat dari beberapa perguruan tinggi khususnya dari perguruan tinggi terkemuka nasional. Secara serempak jawabannya sama. Tidak ada itu yang namanya perencanaan strategis pengembangan dosen. Lho jadi bentuk pengembangannya seperti apa? Ada tetapi hanya dalam bentuk pernyataan umum saja. ”Seperti perlu peningkatan pengembangan sumberdaya manusia baik dalam hal jumlah maupun mutu kualifikasi dosen”. Tetapi tidak dijabarkan lebih lanjut secara operasional. Mengapa? Karena memang perguruan tinggi tidak punya dana. Juga Depdiknas tidak punya dana cukup khususnya untuk studi lanjutan di luar negeri. Paling-paling hanya menyediakan informasi mana saja perguruan tinggi luar negeri yang menyediakan beasiswa. Itupun penuh ketidakpastian dan sifatnya lebih kompetitif.
Yang saya ketahui ada sekurang-kurangnya tiga bentuk pengembangan mutu dosen yang polanya tidak jelas. Pertama, ketua jurusan khususnya kepala laboratorium/bagian dan seseorang guru besar memiliki akses jejaring kerjasama internasional dengan berbagai donor dan perguruan tinggi luar negeri. Kemudian dengan aktif mempersilakan siapa saja para yuniornya untuk melamar. Sementara sang ketua jurusan atau kepala bagian itu merekomendasikannya. Siapa dosen yunior yang semakin aktif semakin besar peluang pula untuk melanjutkan studi lanjutan. Intinya adalah ketua jurusan/kepala lab memberi stimuli aktif kepada siapapun dosen yunior asalkan potensial dan penuh minat untuk studi lanjutan.
Kedua, kepala laboratorium/bagian memberi kesempatan kepada yuniornya untuk studi lanjutan. Namun celakanya bersifat urut kacang. Semakin senior semakin diberi peluang ikut studi lanjutan. Sementara yang lebih yunior tetapi berpotensi tinggi dan berinisiatif sendiri mencari dana tetap harus bersabar mengantre. Berhasilkah model ini?. Tidak, bahkan berantakan. Terjadi diskriminasi perlakuan. Tidak fair. Lalu apa yang terjadi? Dosen yang sudah selesai studi master bahkan diminta pulang oleh sang kepala lab itu. Alasannya mengabdi dahulu baru studi lanjutan lagi. Tetapi di sisi lain ada beberapa yang senior ternyata sampai pensiun tidak studi lanjutan. Sementara ada beberapa yang yunior ”berontak” mencari sendiri dan tanpa berpegang pada himbauan sang kepala lab yang sangat konservatif. Lalu terus studi lanjutan. Dan berhasil.
Ketiga, model ’bebas tak terarah’. Kepala lab mempersilakan setiap dosen untuk studi lanjutan dengan cara apa saja. Tidak studi pun sepertinya tidak apa-apa. Sang kepala lab walau punya jejaring kelembagaan internasional hampir-hampir pasif tidak mendorong yuniornya untuk melamar apalagi memberi rekomendasi. Walau di situ terdapat beberapa guru besar namun langka perhatian kepada yuniornya. Akhirnya kembali yang aktif adalah para dosen yunior itu sendiri. Mereka berinisiatif sendiri, bisa diam-diam dan terbuka, mencari sponsor pendanaan studi lanjutan. Mereka tidak perduli apakah ketua jurusan atau kepala lab/bagian punya jejaring kelembagaan atau tidak. Atau apakah disetujui atau tidak. Dengan melamar dan mengikuti test tertentu lalu berhasil. Baru kemudian lapor ke ketua jurusan atau ke kepala lab/bagian.
Gambaran di atas semakin relevan lagi ketika muncul beberapa pertanyaan berikut. Dalam era global ini apakah perguruan tinggi nasional sudah siap berkompetisi dengan perguruan tinggi sekawasan asia tenggara apalagi di asia dan dunia? Dengan diratifikasinya perdagangan bebas termasuk dalam bidang jasa pendidikan apakah perguruan tinggi kita sudah siap dengan sejumlah dosen yang bermutu tinggi dan fasilitas pendidikan dan penelitian yang canggih? Sudah siapkah dikembangkan model pengembangan jaminan mutu pendidikan? Sudah siapkah perguruan tinggi memiliki perencanaan pengembangan sumberdaya dosen secara terprogram berkelanjutan? Sudah siapkah perguruan tinggi untuk meraih ISO 9000?
Data (2006) menunjukkan jumlah dosen berkualifikasi doktor di perguruan tinggi Indonesia hanya sekitar 15% saja. Dan kondisi ini begitu timpangnya antara perguruan tinggi Jawa dan Luar Jawa, dan antara perguruan tinggi negeri dan swasta. Sementara di beberapa negara Asean seperti, Singapura, Malaysia dan Filipina jumlahnya mencapai lebih dari 60%. Di Indonesia seperti di ITB dan IPB jumlah dosen bergelar doktor mencapai sekitar 50% dari total dosen. Kalau semuanya serba belum siap khususnya dalam pengembangan sumberdaya dosen, bagaimana PT Indonesia mampu tampil tangguh?
Ya tetapi harus realistislah. Selama ini kesejahteraan dosen dilihat dari gaji mereka masih jauh dari harapan. Karena itu jangan aneh kalau di antara mereka ada yang menjadi dosen “berstatus” biasa di luar; ngobyek. Kalau begitu bagaimana mereka bisa berkonsentrasi penuh melaksanakan tugas utamanya sebagai pendidik, pengajar dan peneliti secara bermutu? Mudah-mudahan dengan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2008-2009, beberapa komponen posnya dapat berupa program pengembangan SDM dosen, kesejahteraan, aktifitas penelitian multiyears dan pembuatan buku-buku ilmiah.
Oktober 22, 2008 at 1:28 pm
Terlalu menuntut dan bahkan sok ideal agar dosen berprestasi tinggi sementara program untuk tridarma terbatas. Bahkan kesejahteraannya minim.Jadi tuntutan yang tidak obyektif.Boleh dibilang tidak manusiawi.
Oktober 22, 2008 at 3:20 pm
Disparitas yang begitu signifikan tentang mutu sdm dosen antarperguruan tinggi menunjukkan bahwa program yang dilakukan sebagian PT hanyalah pada pengajaran.Mereka tidak memiliki program tridarma yang jelas.Apalagi program pengembangan dosennya.
Oktober 22, 2008 at 7:12 pm
Mungkin saya termasuk yang beruntung menjadi dosen di salah satu PT swasta di Jakarta yg punya program peningkatan mutu sdm dosen yg terarah. Ini tentunya berangkat dari kenyataan bahwa bagi PTS, peningkatan mutu adalah kesempatan lebih luas untuk dapat terus bertahan hidup.
Saya termasuk salah seorang dari puluhan dosen yang disebar untuk mengambil doktor ke penjuru dunia. lucunya bahkan, saya yang juga staf di PTS itu ; bersama bbrp kawan satu unit kerja yg sama, hrs berangkat belajar semuanya sehingga terjadi ‘bedol staf’.
Dan yg saya rasakan dukungan moril atau pun dana dari PT kami ini tidak tanggung2. Saya sangat salut atas hal ini. Mungkin profesor safri bisa berdiskusi dengan prof. Yuhara Sukra bagaimana implementasi rencana strategis PTS kami ini dlm meningkatkan mutu dosen2nya.
Oktober 22, 2008 at 8:50 pm
ya mbak kur…..mutu sdm dosen merupakan fungsi dari spirit maju dari dosen,anggaran tridarma,kesejahteraan,lingkungan kerja,dan perencanaan institusi pengembangan dosen………
Oktober 22, 2008 at 8:53 pm
bung johan….ketika semangat otonomi daerah timbul….seharusnya pula semangat pemda untuk membantu dunia pendidikan tinggi juga tinggi…..namun belum tentu…..kemudian kerjasama PT bersangkutan dengan PT terkemuka di dalam dan luar negeri ikut menentukan seberapa jauh PT bersangkutan mampu meningkatkan mutu sdm dosennya…….
Oktober 22, 2008 at 8:59 pm
ya betul bung tuansufi…..pengembangan sdm dosen sangat ditentukan oleh perhatian besar dari sang manajemen puncak yakni rektornya…….kemampuan pimpinan untuk menggali sumberdana dan jejaring kerjasama dengan PT terkemuka dalam dan luar negeri sangat menentukan suatu keberhasilan program pengembangan mutu dosen……..plus manajemen tridarmanya yang bagus…..namun apakah PT di indo semuanya seperti yang terjadi di PT anda?…..jangankan swasta, PTN pun belum tentu punya program yang jelas dan terarah…….seharusnya PT-PT lain melakukan studi banding ke PT anda……salam hangat buat bung Rais dan dinda Tuti,teman seperjuangan……..
Oktober 23, 2008 at 1:07 am
Pak Safri ysh, anggap catatan bapak tentang tentang mutu dosen dan pendidikan di PT-PT Indonesia memang benar, maka bagaimana peningkatan kapabilitas internal PT-PT tersebut? apakah hanya pasrah menunggu panggilan secara urut kacang?, bagaimana dengan yang yunior tetapi mempunyai potensi yang patut dikembangkan.
Saya sependapat dengan bapak tentang otonomi daerah yang juga harus peduli dengan PT didaerahnya, lantas siapakah yang akan menjadi “mak comblang” agar hubungan tersebut terjalin sinergi?. Saya mengamati bahwa sampai dengan saat ini hubungan PT dengan Pemda setempat koq belum ada ya?
Oktober 23, 2008 at 4:19 am
KELIHATANYA FAKTOR UTAMANYA DI DANA YA PAK? atau dananya dikorupsi ya…
Oktober 23, 2008 at 6:30 am
Ada fenomena ketakutan juga pada beberapa kepala bagian/lab yang takut kehilangan “anak buah”nya jika rela melepas mereka sekolah diluar negeri. Takut jika tugasnya akan ditinggalkan dan si kepala bagian bingung mencari penggantinya. Terlebih juga takut tidak mau pulang lagi karena mendapat penghidupan yang lebih baik di negeri orang Pak.
http://prastcorp.wordpress.com
Oktober 23, 2008 at 8:11 am
Beberapa PTN di Malang kesulitan mencari dosen baru dengan kualifikasi S2, sampai akhirnya ”down grade” dengan kualifikasi seadanya. Bagaimana mahasiswa S1 diajar oleh dosen dengan kualifikasi yang sama ? Dari rekrutmen saja sudah kelihatan, kualitas dosen itu bagaimana. Belum lagi kalau bicara kesejahteraan, waduh menyedihkan. Percaya nggak, ada PTS yang menggaji dosennya di bawah UMK. Lingkatan setan yang sulit diputus ; kesejahteraan dulu atau kualitas dulu. Maka kalau ketemu dengan para dosen jangan tanya sudah berapa buku yang sudah diterbitkan, sudah berapa makalah dibuat atau sudah bicara di seminar mana. Tradisi ilmiahnya masih minim, malas menulis. Belum lagi kasus PTS di Surabaya yang mengobral ijazah sarjana tanpa harus kuliah. Cukup sediakan uang sekian juta, ijazah lengkap dengan transkrip nilai di tangan. Inilah bobroknya pendidikan kita. Apakah itu bisa diatasi dengan menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20 persen dari APBN.
Oktober 23, 2008 at 10:29 am
mas rahadi ysh……strategi sdm dosen seharusnya merupakan subsistem dari strategi PT bersangkutan….biasanya tertuang dalam Renstra dan masterplan…….program peningkatan kapabilitas dosen harus benar-benar tercantum di situ……tentang peluang seharusnya tidak melihat pangkat….yang penting siap berkompetisi walau dengan yang lebih yunior…..btw otda seharusnya tercermin dari adanya MOU antara pemda dan PT……diuraikan apa saja yang bisa diperbuat masing-masing pihak……termasuk bantuan beasiswa bagi dosen yang akan melanjutkan studinya……seharusnya tak perlu ada mak comblang….rektor harus proaktif melakukan pendekatan dengan pihak kepala daerah…….
Oktober 23, 2008 at 10:32 am
bung fajar….dana adalah penting tetapi tidak cukup hanya itu….perlu didukung oleh sistem dan perencanaan pengembangan sdm dosen plus kesungguhan dosen bersangkutan plus academic atmosphere……plus perhatian dari rektor….
Oktober 23, 2008 at 10:38 am
bung hino….kalau perencanaannya sudah jelas seharusnya tidak perlu dikhawatirkan……kalau perlu melakukan outsourcing…..kan sayang ada peluang studi lanjutan tapi tidak diambil….kesempatan yang hilang tidak mudah diganti……sementara kalau takut tidak pulang semestinya departemen punya program untuk si kandidat kalau ybs sudah selesai studinya….selain itu seharusnya ketika akan studi…ybs diikat dengan suatu kontrak atau kesepakatan dengan segala reward dan penaltinya…..
Oktober 23, 2008 at 10:43 am
mas caknun….berarti di PT bersangkutan tidak ada perencanaan pengembangan sdm dosen…….disamping gaji atau honor yang relatif kecil bisa jadi lingkungan atau suasana akademiknya tidak nyaman….. minim kegiatan penelitian, seminar, jurnal ilmiah, dsb…..btw pendanaan dari 20% APBN seharusnya dituangkan dengan dengan syarat ketat……jika tidak maka akan mubazir saja kalau PT tidak memiliki visi dan misi serta program sdm yang jelas dan terarah……wah ikut prihatin ya….kalau jual beli izasah masih berlangsung di surabaya……padahal itu termasuk tindakan kriminal….
Oktober 24, 2008 at 12:37 am
Selayaknya sebuah Perguruan Tinggi mempunyai rencana strategis jangka pendek maupun jangka panjang secara komprehensip, di breakdown dalam miles stone tahunan, dan setiap triwulanan. Dengan demikian, maka siapapun dosen yang berada disitu akan bisa merencanakan karirnya…..
Akan lebih baik lagi, jika seperti halnya di lembaga pendidikan swasta, mestinya cara mengajar, materi yang diajarkan juga ada evalusi, baik dari para mahasiswa, atau tim asessor….sehingga ada persaingan untuk meningkatkan mutu secara sehat. Saya pernah diajak jalan-jalan ke Sabuga, melihat gedung Assessor center….tapi entah sudah berjalan apa belum.
Oktober 24, 2008 at 9:34 am
betul sekali mbak edratna…….renstra PT yang di dalamnya ada analisis SWOT khususnya ttg pengembangan sdm dosen menjadi sangat penting……….kemudian diterjemahkan dalam bentuk renopnya…..termasuk sampai ke sisi teknis tentang evaluasi proses dan mutu pembelajaran……
November 4, 2008 at 9:11 pm
[…] Ulasan ini juga dapat Anda baca di website asli Penulis: OPTIMALISASI SUMBERDAYA DOSEN […]
November 5, 2008 at 12:37 pm
ok bung avis
November 19, 2008 at 9:12 am
peningkatan sumber daya dosen yang dapat diandalkan baik secara kuantitas dan kualitas, namun di indonesia masih menjadi pekerjaan rumah. karena kebijakan mengenai perguruan tinggi tidak diimbangi dengan implementasi yang mendukung terwujudnya kebijakan pendidikan yang mewujudkan pemerataan pendidikan di indonesia. dosen merupakan alat utama yang dijadikan sarana mendapatkan ilmu pengetahuan bagi mahasiswanya, seyogyanya seorang pendidik melakukan pelatihan2 dan mengembangkan ilmunya dalam pengabdian kepada masyarakat. namun yang terjadi terjadi permasalahan antara harapan dalam dunia pendidikan dengan kenyataan yang terjadi seperti :
1. dosen lebih senang untuk mengajar daripada melakukan pengabdian kepada masyarakat yang merupakan manifestasi ilmu yang didapatnya.
2. tidak adanya dana yang mendukung bagi penyelenggara pendidikan padahal hal tersebut perlu diprioritaskan.
3. belum adanya reword bagi tenaga pendidikan yang berprestasi sehingga sama saja-apakah si x berprestasi dan si b tidak berprestasi. sehingga semangat kerja dalam melakukan inovasi dan pemikiran cenderung berhenti di tengah jalan.
4. kegemara n untuk menulis sangat kurang sehingga pemikiran-pemikirannya tidak dinikmati, dikarenakan waktunya habis untuk mengajar.
dari sebagian permasalahan diatas, seharusnya menjadi pemikiran bagi pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan yang bermutu sehingga pendidikan di indonesia dapat berjala lagi. karena semakin hari mutu pendidikan diindonesia semakin merosot atau jalan ditempat. dosen-dosen yang memiliki pemikiran yang maju malahan lari ke luar negeri karena memang diluar lebih menjanjikan secara finansial. hal ini merupakan dilema bagi kita semua sebagai pengajar. di lalin sisi kita harus mencerdasakan generasi muda sesuai dengan minat dan bakatnya, dilain pihak pengajar memerlukan dana yang cukup besar, baik untuk buku-buku yang berkualitas. dan untuk kesejahteraan keluarga.
restra pergurujan tinggi maupun rencana induk pengembangan institusi pendidikan sebenarnya mendapatkan format untuk peningkatan kujalitas. mungkin hanya bagi institusi yang memiliki cukup dana dan institusi dari pemerintah karena memiliki subsidi silang dari pemerintah, tapi bayangkan institusi pendidikan yang ada di luar jawa, dengan dana terbatas tapi menginginkan memajukan pendidikan bangsa. karena memang setiap orang wajib mendapatkan pengajaran.
yang saya pertanyakan sekarang apakah ada pemimpin kita yang cukup gila untuk biaya pendidikan 30 % -40 % tanpa harus menghitung-hitung dengan argumen yang bermacam-macam.
apakah ada para pengusaha yang gila-gila yang peduli terhadap generasi bangsa kedepan pada era globalisasi yang semakin dituntut untuk memiliki keahlian. apakah setiap pemimpin penyelenggara dan masyarakat pendidikan berani seperti para pejuang terdahulu mengorbankan harta, tenaga bahkan jiwa untuk bangsa supaya tidak ditindas. pusing ahhhh yang pasti optimis sajalah. salam selamat berjuang…para pejuang pendidikan. untuk merubah bangsa ini memiliki sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan dunia baik kualitas maupun kuantitas.
November 19, 2008 at 6:59 pm
mas gerry….memang masalah pengembangan sdm lewat proses pendidikan tidaklah sederhana……hal itu seharusnya didukung dengan kemauan politk yang kuat dari pemerintah dan dpr….sebab maju mundurnya suatu bangsa merupakan fungsi dari mutu sdmnya……uraian anda telah memerkaya artikel ini….terimakasih…..salam