Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) di awal tahun ini sudah resmi diberlakukan oleh negara-negara Asean dan China. Isi kesepakatan tersebut menyangkut penurunan atau penghapusan tarif bea masuk hingga nol persen. Pro dan kontra pelaksanaannya bermunculan. Ada yang menganggap itu sebagai neolibnya sistem ekonomi dunia. Dan Indonesia belum siap untuk menghadapinya. Bahkan ada yang menyebutnya kita akan lagi-lagi menjadi “irlander” penguasa kapitalis. Ada juga yang menilai mau tidak mau Indonesia harus menghadapi ancaman ketika China dengan kebijakannya melakukan penetrasi pasar yang sangat agresif. Di sisi lain ada yang berpendapat bagaimana sebaiknya setiap ancaman seharusnya dikelola sebagai peluang.
Belakangan ini sebutan China sebagai negara raksasa di dunia semakin diperkuat lagi karena keberhasilannya sebagai negara pengekspor terbesar. Mengalahkan Amerika dan Jerman. Dan termasuk Negara yang memiliki daya saing tinggi. Sementara Indonesia dalam peringkat daya saing global, ternyata hanya mampu menduduki peringkat 54 dari 136 negara yang disurvei (The Global Competitiveness Report 2007-2008). Selain itu karena kemudahan untuk berusaha di Indonesia pada tahun 2005-2006 berada di peringkat ke-135 dari 175 negara (International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia). Alasan sangat klasik terjadinya keterpurukan itu adalah tidak efisiennya birokrasi.
Memang dilihat dari berbagai segi, China memiliki keunggulan ketimbang Indonesia. Misalnya dari segi biaya produksi yang lebih rendah, harga relatif murah, jejaring bisnis dunia yang sangat luas, riset dan pengembangan yang fokus dan konsisten, dan teknologi yang lebih maju serta didukung akses perizinan investasi yang relatif mudah dan murah. Belum lagi ditinjau dari segi sumberdaya manusia (SDM). Khusus dalam aspek ini Indonesia tertinggal tidak saja dilihat dari tingkat pendidikannya tetapi juga dari spirit membangunnya. SDM China merupakan buah dari proses panjang suatu penerapan sistem pengembangan karakter yang bersifat sentralistik yang menekankan semangat juang dalam membangun. Sementara sistem pengembangan manusia Indonesia kurang menekankan pada pembentukan karakter pejuang. Walaupun pernah diterapkan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) selama hampir dua dekade lebih, mulai di tingkat SMA sampai perguruan tinggi, namun hasilnya kurang signifikan. Pasalnya karena kurangnya keteladanan dari pihak penyelenggara negara plus terjadinya moral hazard dalam manajemen kebijakan pemerintah.
Pakta perdagangan bebas Asean dan China sudah bergulir. Akan mundurkah Indonesia karena ketidaksiapannya? Hemat saya tidak demikian. Agar Indonesia mampu menghadapi persaingan kuat dari China maka faktor penguatan mutu sumberdaya manusia menjadi keharusan. Mengapa demikian? Karena fakta di lapangan terjadi ketidaksesuaian kompetensi SDM dengan pasar kerja. Selain itu terdapat ketidakseimbangan kebutuhan pelayanan publik dengan jumlah petugas. Pola, program dan metode pendidikan juga diharapkan lebih berbasis pada kompetensi dan berorientasi pada kebutuhan pasar. Hal ini berkait dengan pengembangan lulusan sekolah kejuruan dan politeknik dan kewirausahaan yang semakin bermutu. Selain itu lulusan proses pendidikan khususnya di perguruan tinggi sebaiknya memiliki karakteristik: (1) mau bekerja keras; (2.) motivasi diri tinggi; (3) mempunyai visi kedepan; (4) memiliki kepercayaan diri yang kuat; (5) memiliki pemikiran matang; (6) mampu berpikir analitis; (7) mudah beradaptasi; (8) mampu bekerja dalam tekanan; (9) cakap berbahasa Inggris; dan (10) mampu mengorganisasi pekerjaan.
Januari 24, 2010 at 8:44 am
Sebenarnya pemerintah yang pantas menilai bagaimana rakyatnya mampu tidak menerima perubahan ini, kalo pemerintah saja tidak bisa menilai kemampuan rakyatnya, gimana pemerintah sanggup mengatasi perubahan sistem perdagangan ini 😉
Januari 27, 2010 at 1:24 pm
ya bung arul…bukan saja pemerintah tetapi seluruh elemen masyarakat…yg harus siap dengan perubahan….perlu adanya sinergis……
Januari 24, 2010 at 1:23 pm
Bapak Prof. Sjafri Yth.
Kalau dipikir-pikir rasanya akan menjadi perjalanan dan perjuangan yang sangat berat bagi kita Rakyat Indonesia menghadapi kekuatan dan kecepatan ekonomi China. Saya secara pribadi sangat berharap persatuan nasional dan cinta produk dalam negeri menjadi bagian dari sikap pribadi kita dalam menghadapi arus luar..Disamping kegalauan dan kegugupan kita-mungkin inilah (hikma) saatnya bagi kita untuk bersatu padu. Amin. Mohon komentar prof.
Januari 27, 2010 at 1:28 pm
…ya bung barika…perlu kita hadapi semua kenyataan itu….ketimbang cuma mengeluh tanpa berbuat apa-apa….sambil memerkuat diri dalam berbagai segi…mulai dari kebijakan makro sampai perbaikan bisnis mikro berorientasi daya saing….
Januari 24, 2010 at 6:26 pm
TERIMAKASIH ATAS INFORMASI DAN TULISANNYA, CUKUP BERMANFAAT BUAT BACAAN/REFRENSI UNTUK REGENERASI. KUNJUNGI JUGA SEMUA TENTANG PAKPAK DAN UPDATE BERITA-BERITA DARI KABUPATEN PAKPAK BHARAT DI GETA_PAKPAK.COM http://boeangsaoet.wordpress.com
Januari 27, 2010 at 1:29 pm
sama-sama bung saut…ya saya suka baca blog anda….
Januari 25, 2010 at 6:06 am
saya kurang yakin mengenai 10 karakteristik tersebut diterapkan dengan baik di kampus Pak..
karena di kampus kebanyakan teori,,
semoga Indonesia bisa berjuang keras untuk perdagangan bebas.
Januari 27, 2010 at 1:33 pm
ya bung levi….sepantasnyalah kalau memang teori harus dikuasai…tidak mungkin sutau impelemntasi dari model manajemen atau pelaksanaan program tertentu tanpa berbasis teori….jadi yang jauh lebih penting bagaimana perguruan tinggi mampu membuat kurikulum untuk menghasilkan 10 karakteristik lulusan tsb….antara lain berorientasi kompetensi,link-match dgn dunia kerja,perbanyak magang di dunia kerja,plus soft skills, dan dibarengi dengan kegiatan ko-kurikuler….
Januari 25, 2010 at 1:53 pm
Pak Sjafri:
Apa yang Bapak tulis itu benar semua, namun ada yang hendak saya sampaikan:
Globalisasi ekonomi telah dibicarakan terbuka sejak lama, semenjak dimulainya perundingan Uruguai Round, sampai kesepakatan di Merakhes 1994. Akan terjadi Globalisasi ekonomi secara bertahap sampai 2020. Semua orang tahu (birokrasi, legislatif/politisi dan dunia usaha) tetapi umumnya tidak mau tahu atau tidak peduli, berapa besar peluang dan berapa besar persaingan). Bagi mereka ancaman yang jauh bukan ancaman, kalau sudah menjadi kenyataan menggerutu semuanya (seolah merasa terdadak)
Daya saing kita melorot itu akibat dari otonomi yang dilaksanakan didaerah salah kaprah. Kalau otonomi itu dilaksanakan dengan baik, seharusnya daya saing meningkat. Perizinan yang bermacam-macam, pungutan yang bermacam-macam pula, perizinan yang berumur pendek (dulu berumur seumur hidup, gratis, sekarang berlaku lima tahun dan daftar ulang setiap tahun.
Kalau dulu sebelum ada gerakan efisiensi nasional, sekarang bicara efisiensi diketawai oleh orang pemda dan DPRD, yang enak bicara peningkatan PAD. Efisiensi ada disektor negara (bukan hanya birokrasi) dan dunia usaha. Sektor negara masih sangat boros, aturan (terutama di daerah) masih biaya tinggi. Di dunia usaha yang belum terjepit masih boros, sebaliknya yang terjepit.
Dunia usaha kita sudah terjepi baru otaknya jalan, kreativitasnya timbul. Kalau dingatkan sebelum terjepit mereka akan mengatakan “nanti, nanti pula dipikir” apa lagi birokrasi dan polisi dingatkan bisa kita yang mengingatkan dianggap orang gila, memikirkan yang tidak perlu.
Masalah utama tentu SDM juga
(Cerita pengalaman menangani sektor perdagangan dalam dan luar negeri di daerah)
Januari 27, 2010 at 1:42 pm
betul bung dasril…intinya semua karena lemahnya manajemen pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah….termasuk di dalamnya lemahnya model kepemimpinan…yg ternyata banyak bertendesi kepentingan politik golongan,kantong pribadi,tidak berorientasi pd efisiensi sosial ekonomi, dsb….akumulasi dari semua itu,pemerintah pusat dan daerah terlalu asyiik dgn persoalan2 jangka sangat pendek…lupa mengantisipasi menghadapi efek jangka panjang dari gobalisasi…termasuk alpa memersiapkan tataran road map program, kelembagaan,teknologi,infrastruktur, dan sdmnya….dengan kata lain terlalu berorientasi pd berpikir dan bertindak seketika saja….tidak fokus dan taatasas pd pengembangan keunggulan komoditi tertentu….jadilah kita kedodoran dalm hal daya saing….