Dengan semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober ini, sengaja saya munculkan suatu pertanyaan yang tidak jarang diungkapkan khalayak luas yakni tentang “keengganan” kaum pemuda bekerja di sektor pertanian. Khususnya seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Apakah benar seperti itu? Kalau tak tertarik maka faktor-faktor apa saja penyebabnya? Apakah karena push factor (pendorong) seperti menyempitnya luas sumberdaya lahan pertanian perkapita? Atau karena pull factor (faktor penarik) seperti bekerja di sektor non-pertanian lebih menjanjikan atau memiliki insentif ekonomi yang lebih tinggi ketimbang bekerja di sektor pertanian. Ataukah terkait dengan sistem nilai di kalangan pemuda bahwa bekerja di sektor non-pertanian lebih bergengsi? Data-data berikut mencoba menjawab sinyalemen keengganan pemuda di atas.
Pada tahun 1982, pekerjaan sektor pertanian didominasi oleh pekerja yang berusia di usia 31-65 tahun yakni mencapai 62%. Sementara pekerja yang berusia di bawah 30 tahun mencapai sekitar 12 juta orang atau 38 persen dari total jumlah pekerja sektor pertanian. Dua dekade kemudian (2003), komposisinya berubah, yaitu jumlah pekerja di sektor pertanian yang berumur di bawah 30 tahun (kaum pemuda) semakin menurun menjadi sekitar 11 juta orang atau 27% dari total pekerja di sektor ini sedangkan pekerja di atas usia ini mencapai 73%. Sementara itu pemuda yang bekerja di sektor nonpertanian telah mengalami peningkatan. Pemuda yang bekerja di sektor perdagangan telah meningkat dari 2,859 juta orang di tahun 1982 menjadi 4,735 juta orang di tahun 2003. Begitu juga di sektor perdagangan dan jasa; masing-masing pemuda yang bekerja di sector perdagangan meningkat dari 2,807 juta orang menjadi 4,876 juta orang di tahun 2003, dan yang di sektor jasa menurun relatif kecil dari 2,719 juta di tahun 1982 menjadi 2,447 juta orang di tahun 2003.(Mohamad Maulana, Sudi Mardianto dan A. Husni Malian ; Artikel – Pemikiran Mubyarto – Juli 2007; Jurnal Ekonomi Rakyat).
Data di atas menunjukkan selama dua dekade, secara abosolut dan relatif, jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan relatif tajam. Sementara mereka yang tergolong usia di atas kelompok pemuda meningkat. Di sisi lain pemuda yang bekerja di sektor nonpertanian meningkat dari waktu ke waktu. Faktor pendorong utama menurunnya jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian adalah luas asset lahan pertanian yang sempit. Diperkirakan luas lahan pertanian rata-rata per keluarga petani hanya 0,35 hektar saja. Penurunan luas pemilikan dan penguasaan lahan selain disebabkan oleh faktor pertambahan penduduk juga karena adanya konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Konversi lahan sawah di Jawa periode 1981-1999 mencapai seluas 483.831 ha, dan pada periode 1999-2002 seluas 107.482 ha. Sementara jumlah keluarga petani yang sama sekali keluar dari sektor pertanian relatif sangat lambat. Dengan demikian produktifitas pertanian perpetani semakin menurun. Karena itulah telah terjadi transformasi struktural tenaga kerja pertanian. Diperkirakan kini sekitar 50% sumber pendapatan keluarga petani berasal dari sektor nonpertanian. Diperkirakan kondisi seperti ini tidak jauh berbeda dengan kondisi tahun 2009.
Sementara itu sebagai faktor penarik mengapa kaum pemuda lebih banyak bekerja di sektor nonpertanian adalah pengaruh posisi Pulau Jawa sebagai pusatnya pembangunan. Tersedianya infrastruktur yang hampir merata di berbagai propinsi di Jawa mendorong berkembangnya sektor-sektor industri, perdagangan, dan jasa. Disamping karena pemilikan luas lahan pertanian yang sempit, tumbuhnya sektor-sektor nonpertanian itu telah membuat daya tarik tersendiri bagi para pemuda. Semacam ada gula ada semut. Hal demikian juga dicerminkan terjadinya urbanisasi. Selama 39 tahun, urbanisasi di Jawa meningkat 33,1 persen dari 15,6 persen (survei penduduk 1961) menjadi 48,7 persen (survei penduduk; 2000) dengan tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 3,5 persen. Urbanisasi di Jawa bakal semakin menjadi-jadi ketika dibangunnya tol Jakarta-Surabaya (rencana), PLTN Muria, jembatan Suramadu, jembatan Selat Sunda (rencana), dan megapolitan Jabodetabek.
Dari data-data di atas, timbul pertanyaan apakah tepat dikatakan para pemuda enggan atau tidak berminat bekerja di sektor pertanian?. Sebenarnya bukan seperti itu. Namun karena kurangnya pilihan lain yang lebih terbuka di sektor ini bagi mereka. Saya yakin mereka tidak bekerja di sektor pertanian bukanlah merupakan pilihan pertimbangan satu-satunya. Selain itu dengan semakin tingginya tingkat pendidikan mereka maka semakin kritis dan semangatnya untuk memilih mana bidang pekerjaan yang dianggap rasional.
Kalau saja akses dan investasi di sektor pertanian,lebih spesifik lagi di sektor agribisnis, yang semakin luas plus insentif ekonomi yang bersaing maka para pemuda pun siap untuk bekerja di sektor tersebut. Apalagi dengan kondisi pengangguran yang cukup besar selama ini yakni 9,38 juta orang pada Agustus 2008. Tidak ada alasan mereka mau berdiam diri menganggur kalau kesempatan kerja di sektor pertanian terbuka. Karena itulah ada baiknya dibuat dan dikembangkan kebijakan pelatihan bisnis, pendanaan (kredit modal), teknologi, dan pasar bagi para pemuda yang akan berusaha dalam pengembangan produk sektor pertanian bernilai ekonomi tinggi walau dengan luasan lahan relatif marjinal.
Oktober 28, 2009 at 11:00 am
Pemudi juga boleh kan?
Oktober 28, 2009 at 9:11 pm
bung adam…pernahkah kita mendengar ada Sumpah Pemudi…?
Oktober 29, 2009 at 10:59 pm
Mungkin ini hanya masalah ‘citra’ pertanian di mata masyarakat kita prof. Karena pertanian selalu dihubungkan dengan petani dekil yang berlumuran lumpur di sawah. Jangankan bekerja di pertanian lha wong mendengar kata pertanian aja mungkin orang udah ogah belajar sesuatu yang berkenaan dengan pertanian. Padahal pertanian modern sekarang membutuhkan berbagai disiplin ilmu yang ‘canggih-canggih’ pula mulai dari manajemen dalam pemasaran dan operasinya mungkin hingga ilmu genetika yang canggih walaupun negara kita belum banyak mengatur mengenai makanan-makanan yang GM (genetically modified).
Oktober 30, 2009 at 11:22 pm
betul kang yariNK….selama satu dekade terakhir calon mahasiswa yg berminat masuk ke bidang keilmuan pertanian di perguruan tinggi cenderung menurun….kecuali di IPB relatif stabil karena berdimensi agrocomplex termasuk punya fak ekonomi&manajemen,agribisnis, teknologi industri,fak ekologi manusia dsb…..kalau toh ada yg mau mengambilnya,indeks prestasi akademik mereka semasa di sla yang relatif rendah…bisa jadi karena bukan pilihan utamanya…bisa juga karena pd kebijakan ekonomi makro, pembangunan pertanian tidak dijadikan fokus utama….dengan demikian relatif investasi di sektor ini lebih rendah ketimbang di sektor industri, perdagangan,jasa,dsb…ini diduga konsekuensi logis dari transformasi struktur ekonomi makro….
Oktober 30, 2009 at 3:58 pm
Ass.Wr.Wb.
Pak Syafri, Nama saya Yogaprasta , saya sangat setuju dengan apa yang bapak utarakan, sejujurnya pak saya ingin sekali mendedikasikan apa yang saya miliki (meski hanya sedikit sekali yang saya miliki) untuk membangun pertanian dan pedesaan, sebagai orang yang awam di dunia pertanian, klo boleh saya hendak bertanya beberapa hal kepada bapak
1. klo menurut pandangan bapak mungkin kah pertanian bisa menjadi sektor yang “menjanjikan” bagi para pemuda? jika melihat masih banyaknya petani yang hidup berada pada garis kemiskinan, rendahnya pembangunan pertanian dan pedesaan dan bagai mana cara mengubah paradigma tersebut pak?
2. Kontribusi nyata apa yang bisa saya lakukan sebagai seorang pemuda agar dapat “memainkan peranan” secara tepat dalam membangun pertanian dan pedesaan
itu saja yang hendak saya tanyakan, terimaksih banyak pak, salut untuk Pak Syafri yang masih mau berbagi ilmu pengetahuan dengan kami,
salam sehat untuk Pak Syafri dan keluarga
November 3, 2009 at 2:57 am
Saya pikir wajar dan sah sah saja orang memilih bidang yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Tentunya siapa yang bertani haruslah lebih pintar dan mandiri daripada petani yang ada sekarang. Lihat saja petani sekarang, mereka hanya bertani dimana saat mereka perlu menggiling padi mereka harus ke jasa penggilingan (anda semua tahu yang punya jasa penggilingan hidupnya jauh lebih baik dari petani karena jasa penggilingan mendatangkan income yang bagus) belum lagi mereka menjual ke tengkulak (lagi lagi tengkulak ekonominya jauh lebih baik dari petani) yang akan membawa hasil pertanian ke kota. Jadi kalo mau jadi petani sekarang harus proses sendiri dan jual sendiri ke end user.
November 6, 2009 at 10:56 pm
ya bung mazista…berangkat dari konsep agribisnis sebagai sistem….maka tiap subsistem (produksi,pengolahan,dan pemasaran hasil) harus saling berkait…begitu petani juga yg menerapkan subsistem produksi….setelah itu dia bisa melakukan sendiri…namun bisa saja dia bekerjasama dgn pelaku subsistem berikutnya…jadi sifatnya sangat kondisional….murni mandiri (independent) tidaklah mudah..yg terjadi interdependent…
November 7, 2009 at 4:16 pm
wah … rasanya bukan enggan pak … tapi karena selama ini ‘secara finansial’ gak menjanjikan.
hehhehe …. idealismenya nggak ada nih pak 🙂
pas lulus bulan juni 2008 lalu, ada tawaran ke departemen THP, agar alumninya ada yang mau nglamar ke PT ABCD yang bidang usahanya pengalengan ikan. Tawar menawar gaji, cuman dapat 1 lebih dikit sekali, jadi teman2 gak mau ambil.
akhirnya teman-teman pada nglamar ke perusahaan yang ‘gak nyambung’ dengan ijazahnya tapi gajinya lumayan …
begitulah pak …
dan sekarang, musim cpns, pada nglamar cpns deh 🙂
November 7, 2009 at 4:18 pm
yayaya … saya salut dengan hangga, yang mau beternak lele 🙂
saya sendiri, sekarang, bekerja di tempat yang sesuai background pendidikan …. cuman di kantor kerjaannya sebagai tukang ketik 😦
Salam,
Luthfi
November 9, 2009 at 10:36 am
ya luthfi…itu adalah pilihan…dasar pertimbangannya bisa dari sisi finansial bisa juga sisi nonfinansial seperti kecocokan minat…selain itu alumni ipb pd umumnya mampu beradaptasi pd situasi yg baru….
November 13, 2009 at 6:12 am
Sebanarnya saya pribadi lebih suka jadi petani. saya adalah anak dari desa yang kebetulan merantau ke jkt, dan kebetulan daerah saya iklimnya agak kurang pas untuk daerah pertanian, sebb cuacanya agak panas, pertanian di daerah saya sistemnya tadah hujan, jd kalo utk pertanian nggak pas, apalagi musim sekarang ngga’ tentu dan tidak bisa di prediksi. Dan yang lebih parah lagi harga pupuk tidak sesua dengan hasil pertanian, kalo di itung2 antara hasil pertanian para petani dan harga pupuk lebih besar pengeluaran utk beli pupuk dari pada hasil panen. Dan yang jadi pertanyaan para saudara2 kita yang jadi petani adalah…….Kenapa pemerintah diam saja dengan adanya CALO — CALO pupuk, apalagi para penimbun pupuk itu?. Untuk apa di gembar-gemborkan bahwa para petani dapat subsidi pupuk dari pemerintah? Nah …apakah artinya itu?.
November 15, 2009 at 1:30 pm
ya safa…bagus anda ingin bekerja di sektor pertanian…jadilah petani yg tangguh….petani yg paham tentang cara-cara berproduksi dan mengolahan serta memasarkan hasil….dan berjiwa inovatif dan kewirausahaan….dan memang agar berhasil perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yg strategis….seperti dalam hal distribusi pupuk,tersedianya teknolgi,akses pasar,akses kredit,penyuluhan,irigasi, dan infrasrtuktur….
November 16, 2009 at 6:04 am
pak sjafri…
saya sebagai pemuda justru sedang mengembangkan bisnis susu perah, sebagai orang sunda saya ingin menghilangkan kata-kata kerabat saya yang dulu pernah bilang kalau katanya orang sunda itu sulit diajak berbisnis/home sweet home…menurut saya pak sjafri ada hal tentang jiwa kaum muda-mudi yang mempengaruhi merosotnya minat mereka di bidang bisnis pertanian sehingga mereka lulus dari kuliah lebih memilih melamar ke bank ketimbang membuka bisnis…
saya berminat mengembangkan bisnis susu perah karena saya tahu bisnis itu menguntungkan, keuntungannya akan lebih banyak jika dibandingkan dengan bekerja menjadi karyawan bank misalnya…seandainya SOSIALISASI tentang PROSPEK BISNIS PERTANIAN ini dapat SECARA TEPAT sampai ke TELINGA para pemuda,saya yakin sektor bisnis pertanian akan meningkat….saya juga bingung kenapa orang lebih memilih jadi KARYAWAN (ngabeungharkeun batur) ketimbang menjadi OWNER (dibeungharkeun ku karyawan)…
November 19, 2009 at 9:13 pm
bung brian…saya bangga pada anda…di tengah-tengah kecenderungan kaum muda hanya ingin bekerja di sektor non-pertanian…namun anda tidak demikian…betul sekali perlu sosialisasi…tapi tidak cukup sampai telinga saja. harus sampai hati…dan beraksi nyata….perlu dukungan akses bisnis oleh pemerintah….
Januari 27, 2011 at 3:45 pm
Aslm. Prof Syafri. Saya Yogaprasta A.N salah satu mahasiswa bapak pada mk. Manajemen Program Komunikasi… tgl 30 Okt 2009 saya berkomentar pada tulisan bapak mengenai pemuda dan pertanian (yang mana itu adalah pertama kali saya berkomentar pada blog bpk, tegang dan takut salah, hehe). Sementara sekarang 27 Januari 2011, entah kebetulan atau apa,,,,, isu besar pada proposal tesis saya sendiri menekankan pada rendahnya jumlah pemuda di bidang pertanian, tapi saya mencoba mengkajinya dari aspek Peran Agen Sosialisasi (Keluarga, Teman Sepermainan (peers), dan Televisi) dalam membentuk sikap pemuda terhadap pekerjaan di sektor pertanian. Saya hendak mengucapkan terima kasih prof atas inspirasinya. salam sehat untuk keluarga di rumah
Yogaprasta A.N
Januari 29, 2011 at 10:15 pm
yoga….topik yg sangat menarik…coba anda juga bisa baca buku yg baru diterbitkan IPB Press…tentang perguruan tinggi pertanian…mengapa minat masuk ke pt pertanian cenderung merosot….ditulis prof sjafrida manuwoto mantan dekan sekolah pascasarjana ipb dkk…selamat berthesis ria ya…sukses…