Suatu waktu, ketika beberapa mahasiswa strata satu berkonsultasi untuk pembuatan proposal penelitian skripsi dan draf skripsi terdengar ada suatu istilah yang asing bagi saya. Hampir setiap saya berikan masukan selalu direspon sebagian mahasiswa dengan ucapan “sip….sip pak” sambil ngangguk-ngangguk. Hal yang sama juga berlangsung ketika saya kemarin sore menerima kedatangan dua orang mahasiswa di rumah saya. Maksudnya untuk mengambil buku-buku pengetahuan agama dan umum untuk koleksi bacaan perpustakaan majelis taklim di salah satu lokasi di Bogor. Ketika saya memberikan pendapat dan saran-saran, salah seorang dari mereka kerap bilang “sip…..sip pak”.
Ketika saya masih bingung lalu saya bertanya pada cucu saya, perempuan-11 tahun, apa arti dari kata sip…sip. Lalu dia jawab itu artinya oke..oke mbah, katanya. Ooooh begitu ya artinya. Saya coba sinonimkan kata sip….sip dengan kata baik….baik. Atau bisa juga disebut aman….aman. Rupanya itu semua ungkapan dalam bahasa gaul. Yang saya tahu dan pernah menerima sms dari mahasiswa adalah seperti gpp, ok, cu, dan belakangan ini sip…sip. Bukan main. Saya tentunya tidak bisa berbuat banyak untuk meminta para remaja itu menggantikannya secara drastis dengan kata yang biasa dan standar yakni baik…baik pak. Paling-paling saya cuma menganjurkan agar kalau dalam menggunakan bahasa gaul harus proporsional dengan siapa sasaran komunikannya.
Ada gejala apa sebenarnya ketika banyak kalangan remaja/pemuda menggunakan istilah-istilah bahasa gaul? Apakah ada kecenderungan bahasa kita mengalami kemunduran atau kemajuan? Saya tidak punya kapasitas untuk membahas tentang bahasa seperti itu. Saya tidak punya kompetensi. Setahu saya, perkembangan bahasa itu tidak statis. Ia banyak dipengaruhi oleh perkembangan beragam sisi kehidupan termasuk teknologi, kultur, media komunikasi dsb. Namun yang ingin disampaikan bahwa pergaulan antara mahasiswa dan dosen tampaknya sudah semakin tidak dibatasi oleh bahasa standar yang kaku. Termasuk istilah-istilah yang digunakan. Saya sendiri berupaya tidak merasa canggung untuk berada di alam pergaulan bahasa remaja. Asalkan tentunya berbahasa sopan. Bukan seperti kata-kata gue atau elu. Bagi saya boleh-boleh saja mereka menggunakan bahasa lisan populer atau gaul. Namun itu sama sekali tidak bisa digunakan untuk bahasa tulisan ilmiah. Demi pengembangan mutu akademik, tidak ada kompromi dengan bahasa yang tidak baik dan tidak benar.
Oktober 26, 2008 at 1:41 pm
Bahasa gaul sebenarnya sudah berlangsung lama.Variasinya berkembang sesuai jaman.Mulanya dibudayakan di kalangan terbatas beberapa kelompok remaja.Semakin berkembang dengan semakin tumbuhnya media informasi seperti radio amatir dan televisi.Selebriti pun ikut memulerkannya.Sependapat bahwa kita tidak perlu risau berlebihan.Justru seharusnya pusat bahasa depdiknas menelitinya dan juga mengembangkan bahasa yang baik dan benar.
Mei 26, 2020 at 4:01 am
Seperti nya berasal dari kata ASYIK … disingkat SYIK lalu jadi SIP
Smentara Asyik berarti sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan / mengasyikkan, Sehingga arti SIP tidak jauh dari pengartian BAIK, OK, SETUJU, SESUAI dan MENYENANGKAN
Oktober 26, 2008 at 3:12 pm
Saya barangkali salah seorang yang banyak menggunakan bahasa gaul terutama di kalangan teman atau sahabat khususnya di kantor. Tidak saja digunakan dengan lisan tetapi juga dalam sms dan dunia maya blog.Namun ketika berbicara dengan atasan atau orang yang jauh lebih tua saya bicara sejauh mungkin dengan bahasa yang biasa.Jadi biarkanlah bahasa berkembang apa adanya.Hanya perlu ada rambu-rambu untuk tetap pada koridor bahasa yang baik dan benar terutama dalam bahasa bisnis atau administrasi organisasi.
Oktober 26, 2008 at 10:29 pm
ya mbak kur…..itulah bahasa yang sifatnya tidak bisa diam….ada saja kreatifitas di sementara penggagas perbendaharaan bahasa yang baru….namun sebaiknya jangan menyimpang dari struktur dan isi bahasa yang baik dan benar……sependapat agar pusat penelitian bahasa sebaiknya meneliti gejala dan akibat dari bahsa gaul terhadap pelestarian bahsa indonesia…..
Oktober 26, 2008 at 10:33 pm
betul bung johan….boleh berkreasi namun tanpa harus timbulnya kontaminasi bahasa….yang secara gradual bisa mengurangi mutu bahasa indonesia yang standar….namun ini seharusnya menjadi tantangan beragam pihak bagaimana seharusnya bahasa indonesia dapat dikembangkan sejalan dengan perkembangan ipteks, dan sosial -budaya-ekonomi……
Oktober 26, 2008 at 11:48 pm
Saya termasuk orang yang sampai saat ini suka chat dengan berbagai kalangan. Termasuk kalangan seumuran keponakan yang berumur 7 – 15 tahun.
Saya setuju dengan Mas Johan, ternyata pengaruh media teknologi informasi pengaruh sekali dalam berbahasa. Saat chat apalagi kalau chat menggunakan Handphone atau apalagi SMS. Mereka sangat suka menyingkat kata dan bikin istilah-istilah, yang akhirnya, saking intensifnya itu dipakai sehari-hari, menjadikan terbawa juga ke bahasa lisan.
Hal lain yang bisa saya lihat, dari cara berbahasa seperti itulah mereka juga membentuk sebagian identitas dan eksistensi mereka, agar diakui dalam lingkungan mereka. Makin aneh bahasa yang dipakai..terasa makin gaya, gitu lho 😀
Oktober 27, 2008 at 2:43 am
masyarakat kita Pak menurut hemat saya adalah masyarakat yang latah, ketika melihat dan mendengar sesuatu yang “baru” baik yang diperoleh dari pergaulan sehari-hari maupun dari majalah apalagi sesuatu yang “baru” tersebut bersumber dari seseorang yang diidolakan oleh kelompok orang tertentu atau berasal dari orang yang top seperti artis televisi misalnya. sehingga sangat penting dalam pandangan saya Pak, agar sebisa mungkin manusia yang menjadi idola ataupun panutan memberikan contoh yang baik sebagaimana Rasulullah telah memberikan suri tauladan dan akhlakul karimah kepada umat manusia. bahasa menjadi sangat penting karena merupakan alat komunikasi antar individu dan kelompok, oleh karena itu apapun bentuknya kendaknya bisa dipahami tanpa ada pihak yang tersinggung atau dilecehkan, karena bisa jadi hal itu akan memperburuk hubungan dan menghambat bisnis kita…Salam hormat saya untuk Bapak.
Oktober 28, 2008 at 12:58 am
makan soto enaknya di warung soto
makan sate enaknya diwarung sate
makan baso enaknya diwarung baso
makasi pencerahannya ^^
Oktober 28, 2008 at 1:06 am
betul bung avis….asyiiik bicara bahasa gaul ya….hingga kini saya dan sahabat-sahabat ketika bertemu dan bergurau tidak lepas juga kadang-kadang pake bahasa gaul…..kayak remaja….walau udah berusia kepala enam lebih….cuma ada catatannya….harus kontekstual dan proporsional dimana forumnya dan dengan siapa kita berkomunikasi…..
Oktober 28, 2008 at 1:10 am
ya bung andi….memang ada benarnya kita cepat latah atau niru dengan sesuatu yang baru padahal belum tentu bernilai positif….pengertian ilmiahnya adalah buah dari demonstration effect dari gencarnya intensitas media komunikasi…..kita memang perlu punya kemampuan filterisasi……betul keteladanan pimpinan di semua level untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar sangat diperlukan……
Oktober 28, 2008 at 1:10 am
terimakasih bung iman…..smoga bermanfaat….
Oktober 28, 2008 at 4:15 am
Sebenarnya sich pak kalau mau jujur saya sendiri sering pake bahasa seperti itu. Saya baru tahu sekarang ternyata beberapa kalangan tidak tau artinya. Saya pikir semua orang menggunakan bahkan saya baru tahu bahwa itu bahasa gaul. Mungkin ini akibat bergaul dengan orang lain sehingga perubahan kecil seperti bahasa tidak terlalu menjadi perhatian.
Oktober 28, 2008 at 12:23 pm
ya itu merupakan dampak dari inetraksi sosial….kita memperoleh sesuatu yang baru……cuma harus melalui filterisasi bahasa gaul…..untuk memperkecil hal-hal negatif……
Oktober 29, 2008 at 1:32 am
Setuju pak Sajri, kita yang sudah tua2 ini seringkali terpana dengan penggunaan bahasa indonesia yang sudah tidak standar lagi atau bahasa gaul tetapi haram hukumnya apabila bahasa itu masuk atau dipergunakan dalam tulisan ilmiah di PT. Terlepas dari itu menurut saya tumbuh dan berkembangnya bahasa gaul itu ibarat virus, karena hari ini, jam ini dan bahkan detik ini bahasa gaul yang muncul di metropolitan (via TV atau media komunikasi lainnya) langsung akan menyebar dan dipergunakan sampai pelosok tanah air. Misalnya gw, cumi/cuma minjam, pewe dan lainnya sudah lumrah dipergunakan oleh remaja di kaki gunung Merapi atau remaja di pesisir pantai Pacitan.Keprihatinan saya justru pada pergeseran bahasa daerah ke bahasa komersial misalnya: Burger “blenger” = dalam bahasa jawa blenger artinya kekenyangan, terlalu banyak makan dan tidak bisa duduk tegak atau cenderung untuk rebahan. “Atos” dalam bahasa sunda berarti selesai dan dalam bahasa jawa berarti keras, selain itu kata “ketel” dalam bahasa indonesia dan jawa berarti tempat untuk merebus tetapi juga mempunyai arti lebat atau banyak dan biasanya dipergunakan untuk menyebutkan tentang:…… buahnya ketel, atau ….rambutnya ketel. Dari contoh-contoh tersebut betapa kayanya bahasa kita, dan siapa yang peduli untuk mengkodifikasikan ya pak…?
Oktober 29, 2008 at 2:28 am
Prof, saya sekadar sharing, ada satu ganjalan bagi saya jika menonton berita di Metro TV, terutama saat ada kata Cina yang diucapkan oleh penyiarnya dengan Cha – i – na. Aih, sungguh telinga saya jadi terganggu, sepertinya Metro TV sudah “kompak berjamaah” menjadikan ejaan cha-i-na yang ditulis China (Kompas juga) dilafalkan demikian. Apakah saya yang tak mengikuti perkembangan bahasa Indonesia, karena setahu saya sudah tak ada lagi huruf ch dalam kosakata kita, apalagi jika antara tulisan dan pelafalan sudah menganut hukum bahasa Inggris. Bukankah itu salah kaprah ya Prof?
Oktober 29, 2008 at 9:10 am
pak Sjafri, kalo tdk salah sy pernah mendengar bahwa bahasa itu krn kesepakatan bersama, jd siapa yg lebih dulu mempunyai kesepakatan itu yang akan terpakai selanjutnya. Misalnya nama “batu” yg ada sekarang krn kesepakatan bersama masa lalu, kalo kita sepakat bisa diganti dengan bahasa yg lain, misal ditukar dengan “bata”, betul nggak ya pak?
Oktober 29, 2008 at 3:11 pm
terimakasih mas rahadi….uraiannya telah memerkaya artikel ini……hemat saya disinilah pusat bahasadepdiknas plus perguruan tinggi harus melakukan studi mendalam tentang bahasa indonsesia dilihat dari beragam perspektif….khusunya sebagai bahasa ilmiah dan pergaulan……harus diantisipasi kemungkinannya memperkecil terjadi degradasi mutu bahasa kita akibat gencarnya informasi global yang tidak mudah dikontrol efek negatifnya……
Oktober 29, 2008 at 3:14 pm
ya mbak yoga….cukup banyak yang salah kaprah……pengaruh bahasa inernasional seperti bahasa Inggris sangat signifikan terhadap ucapan……istilahnya tidak keren kalau tak berlogat asing…..
Oktober 29, 2008 at 3:25 pm
ya bung fajar….menurut sejarahnya kata yang digunakan memang sebagai suatu kesepakatan masing-masing masyarakat….termasuk juga asal kata itu berada….misalnya bahasa indonesia banyak dipengaruhi atau bahkan diambil dari kata-kata sanskerta,islam,melayu,belanda,inggris dan portugis…….asalkan ada kesepakatan maka wajar dari manapun asalnya kata itu bisa dijadikan bahasa nasional……misalnya kata-kata maha,raja,putra dari hindu; masjid,kalbu,kitab dari islam; tauge,teko,tahu,loteng dari cina;gereja,sepatu dari portugis; kantor,asbak,polisi dari kata bahasa belanda…..
Oktober 29, 2008 at 11:16 pm
Untuk bisa dekat dengan anak-anak, saya terpaksa harus memahami bahasa gaul mereka….hehehe…. lucu-lucu, tapi buat mereka tidak. Di sini saya merasa, lha ternyata udah tua….
Btw, bapak udah mendaftar untuk datang ke pestablogger08?
Oktober 30, 2008 at 12:59 pm
mbak edratna….saya juga senang bergaul dan menyimak ungkapan-ungkapan gaul dari para cucu saya….luar biasa perbendaharaan kata-katanya…..btw insya allah saya hadir di pb08……sampai jumpa…..
Oktober 31, 2008 at 3:55 am
Pa’ Prof seperti biasa bahasa berkembang seiring budaya, kadangkala penggunaannya tdk disesuaikan dgn sikon atau lawan bicaranya.
tp kalau menurut saya, saya mengikuti tren saja tapi kalau saya tidak berkenan biasanya saya membalasnya dengan bahasa yg lebih baik dan sopan shg lawan bicara saya akan sadar dan mengikuti gaya bahasa yg saya inginkan
Oktober 31, 2008 at 8:24 am
betul mas ridwan….kita filterisasi saja setiap kosa kata yang baru…..mana yang kita nilai terbaik sesuai dengan standar yang ada……
November 4, 2008 at 5:45 am
betul pak, menurut saya anak-anak sekarang bahkan mungkin kita (karena ikut terpengaruh/mengikuti perkembangan zaman) sudah tidak mampu/bangga menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Semua rambu dan aturan baku bahasa Indonesia sudah dilanggar entah siapa yang memulainya. Ini juga mungkin karena pengaruh bahasa daerah yang sangat beragam di negeri kita ini, sehingga kita merasa tidak memiliki bahasa Indonesia.
Saya pun mungkin sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia yang campur dengan bahasa gaul (gue .. elo .. termasuk bahasa gaul atau bahasa betawi ya ???)
Tapi seharusnya dalam sehari-hari bahasa gaul bisa kita gunakan namun jika menghadapi orang yang lebih senior, dalam forum formal tetaplah bahasa Indonesia yang baik dan benar yang harus digunakan.
eh, jadi bicara kemana-mana ya pak .. hehehe … saya ikut komentar ya pak ?
Perkenalkan nama saya Indra Gunawan, mahasiswa bapak di MB IPB kelas E30.
November 4, 2008 at 12:51 pm
bung indra….saya dan dengan sahabat-sahabat pun seangkatan ketika sekolah dan kuliah, kalau bertemu hingga kini masih suka gunakan kata-kata elo-gue…….pokoknya istilah-istilah betawi….maklum gede di sono……asyiiik rasanya,ingat masa remaja tempo doeloe…….betul di sisi lain kalau bicara atau menulis ya kita harus proporsional bergantung pada konteks isi pesan dan dengan siapa kita berkomunikasi…..
April 23, 2015 at 5:14 pm
siip.. tq 🙂
Juni 16, 2021 at 3:06 pm
Waktu sy sekolah SR (SD) Kristen akhir ’56 di Salemba, Jkt, banyak tmn dr Indonesia timur dan indo campuran kadang ber bhs belanda. Satu yg sy ingat kata “safe toch” (baca: seif toh) yg arti nya kurang lebih “asyik”, “aman” sy kira arti kata “sip” mungkin diambil dr situ.