Ada komentar pasti ada sumber yang dikomentari. Misalnya komentar terhadap pendapat seseorang, kelompok, organisasi, atau organisasi yang lebih besar yakni pemerintah. Komentar bisa berbentuk tulisan ataupun lisan. Disampaikan secara terbuka atau tertutup. Ada juga yang mengomentari secara diam-diam atau tersembunyi sambil ngangguk-ngangguk, tersenyum, mengernyitkan dahi, atau bahkan dengan tertawa lebar sendirian. Mengapa bisa timbul komentar?.
Komentar sebenarnya merupakan suatu reaksi atau respon terhadap suatu aksi. Yang dimaksud dengan aksi bisa berupa suatu gagasan, jawaban, perbuatan, dsb. Karena sifatnya maka komentar berupa reaksi bisa direfleksikan wajar-wajar saja, berlebihan, sinis, kerendahan hati, dan penghargaan atau apresiasi. Ketika komentar disampaikan seseorang yang selalu berpikir negatif dan apriori maka setiap aksi pihak lain cenderung selalu bernada sinis. Tak ada ruang di hatinya untuk mengapresiasi atas gagasan atau perbuatan tertentu. Hati nuraninya selalu hitam kelam oleh pikiran-pikiran negatif. Sebaliknya ketika komentar disampaikan oleh seseorang yang selalu berpikir positif maka walau isi reaksinya tidak menunjukkan kesetujuan atas suatu gagasan atau perbuatan maka disampaikannya dengan santun dan argumen yang masuk akal. Bahkan komentar yang diberikan sering dalam bentuk pendapat dan masukan baru.
Apakah komentar yang layak bisa dipelajari dan disampaikan sebagai suatu yang bermutu? Tentu saja bisa. Maka yang pertama perlu dilakukan adalah banyak membaca atau memelajari beragam dimensi ilmu pengetahuan dan pengalaman nyata. Semakin menguasai ilmu pengetahuan, bahasa yang baik dan benar, dan pengalaman nyata semakin trampil seseorang untuk mengomentari dengan baik. Kedua, sering-seringlah berdiskusi dengan orang lain untuk mengamati jalannya diskusi dan mulai belajar mengomentari suatu pendapat. Tidak harus gugup atau merasa kikuk apalagi merasa kecewa jika berkomentar salah. Namanya juga belajar. Lama kelamaan belajar dari kesalahan maka komentar yang disampaikan semakin bermutu. Ketiga, memasuki fase pemeliharaan yakni bagi mereka yang sudah terbiasa berkomentar maka cenderung isinya tidak cukup dengan pernyataan tidak setuju, ungkapan rumit, ngga benar, tidak layak dan sebangsanya tanpa argumen secuilpun. Pada tahap ini seharusnya mereka berkomentar dengan argumen yang bisa diterima atau masuk akal.
Jadi intinya seseorang tidak usah menjadi ilmuwan dahulu yang konon selalu berpikir sistematis untuk menjadi komentator unggul. Siapapun bisa. Tidak kurang dari pegawai (sebagai bawahan) yang mampu ngobrol dengan enaknya mengulas keadaan sosial ekonomi dengan saya. Tidak jarang pula saya begitu terkagum-kagum dengan pekebun di kebun saya mengomentari mengapa harga sembako naik. So asalkan seseorang berhasrat tinggi dalam belajar dan belajar bagaimana memperdalam ilmu pengetahuan, memanfaatkan pengalaman sebagai guru terbaik, mengasah pisau analisis walau sesederhana apapun, memiliki rasa ingin tahu, dan mengembangkan soft skills dalam berkomunikasi maka siapa pun bisa menjadi pengomentar yang baik. Bukan sebagai pengomentar yang asal bunyi.
September 14, 2008 at 2:22 pm
aslkm
komentar dan dikomentari sudah hal yang biasa didalam hidup ini, yg bikin jadi tidak biasa, kadang orang hanya ingin mengomentari tanpa mau dikomentari. padahal dengan kembali dikomentari maka ilmu kita akan semakin bertambah pula, dsitu akan terjadi pertukaran ilmu. satu kesalahan yg terjadi di kita pak, kita takut akan berkomentar, karena takut salah, menurut saya yang salah itu jika tidak berkomentar sama sekali, apalagi jika dia mengetahui sesuatu.
wassalam
September 14, 2008 at 4:00 pm
Dalam bahasa komunikasi komentar merupakan pesan umpan balik terhadap suatu pesan tertentu.Karena itu tiap komentar yang dikomentari seharusnya dikomentari kembali sampai terjadi titik temu.Kalau tidak maka akan terjadi kebisingan baik fisik maupun non-fisik. Justru yang lebih “bahaya” jika terjadi kebisingan psikologis.Saya sependapat ketika kita berkomen di mana pun berada haruslah dipertimbangkan matang-matang,baik dilihat dari sisi relevansi dan akurasi isi komennya.Apakah sudah sesuai dengan obyek yang dikomentari?.Pahamkah kita pada sesuatu yang dikomentari? Kalau tidak maka isi komen bakal ngawur.Tidak jelas mana isi yang penuh guyonan dan mana yang serius.Boleh guyonan tetapi harus cerdas tanpa menghilangkan makna isi komen.
September 14, 2008 at 5:21 pm
tapi kadang komentar2 yang nyeleh ditanggapi serius padahal niatnya cuman bercanda lho pak…
tapi itu sih tergantung orangnya lagi, bgmn kita berkomentar…
jadi harus menyesuaikan 🙂
September 14, 2008 at 8:00 pm
benar bung marwan…..pelit komentar pun seharusnya dihindari….namun dalam prakteknya tidaklah mudah…..kalau saya sedang ngajar,misalnya belum tentu para mahasiswa siap berkomentar….padahal pernyataan atau pertanyaan saya sering memancing agar mahasiswa siap berkomentar…..
September 14, 2008 at 8:06 pm
terimakasih mbak avita….ulasan anda memerkaya artikel ini…..betul bahwa interaksi antara pembaca dan penulis, sering tidak nyambung….ada komentar dari pembaca,misalnya dalam blog tetapi tidak dikomentari oleh penulisnya…..padahal interaksi itu akan memberi umpan balik yang bermakna pada siapapun……entah malas atau enggan….saya kurang tahu….hemat saya sebaiknya dikomentari oleh penulisnya…itu kan wujud penghargaan terhadap sang pengomentar……dimana sang pengomentar ingin tahu juga apakah komennya beralasan atau tidak…..ya intinya timbal balik….
September 14, 2008 at 8:16 pm
bung arul….hampir senada….saya berpendapat biarkanlah setiap pengomentar menyampaikan komennya dalam bentuk apapun….apakah santai,becanda,nyeleneh,setengah serius sampai serius banget,sah-sah saja….namun dalam proses pembelajaran sebaiknya jangan berkomen asal-asalan…harus kontekstual….idealnya harus beragumen yang masuk akal…..saya mendapatkan beberapa blogger atau penulis artikel walau menulis dan berkomen dengan gaya santai dan gaul namun isinya relatif padat mutu dan kontekstual……
September 15, 2008 at 12:44 am
Pak,apakah bisa diberi contoh komentar yang kurang kontekstual dan tidak diberikan alasan yang masuk akal? Jangan-jangan saya selama ini memberi komen seperti itu.Terimakasih
September 15, 2008 at 2:30 am
Kadang banyak Komentar yang OOT..
pelakunya termasuk sayah..
September 15, 2008 at 3:26 am
Kalau buat saya pribadi, ada saatnya seseorang bisa enak diajak ngobrol dan ada juga waktunya dia tidak enak diajak ngobrol, tentu tergantung topik yang ia senangi. Jikalau kita ingin bicara tentang sesuatu yang serius yang membutuhkan pemikiran sistematis ya enaknya kita ngobrol dengan orang yang selalu berfikir sistematis. Kalau kita lagi senang becanda ya kita cari orang yang senang becanda. Ya setiap orang ada waktunya sendiri untuk enak diajak ngobrol.
Tapi sulit juga ya kalau seseorang maunya terus serius atau maunya terus becanda, buat dirinya tentu ada saat2 di mana orang harus serius dan di mana sebaiknya ia becanda… 😀
September 15, 2008 at 3:41 am
Komentar ini sangat menarik bagi saya Pak karena sangat relevan dengan kehidupan keseharian kita dalam berinteraksi dengan sesama. Saya secara pribadi melihat Pak, kalau mayoritas orang lebih suka memberikan komentar daripada menerima komentar. karena, ketika memberikan komentar selalu yang dilihat adalah orang lain, entah kelebihan ataupun kekurangannya. Uniknya, yang paling sering dikomentari adalah kekurangan orang lain yang dalam defenisi tulisan Bapak disebut sebagai orang yang cenderung berpikir “negatif”. Timbul pertanyaan dalam diri saya Pak, apakah kita lebih suka berkomentar “hal-hal yang cenderung negatif” karena sesungguhnya kita tidak lebih bagus dari orang itu, ataukah kita ingin mengangkat kelebihan yang kita miliki dengan merendahkan orang lain?..Saya sendiri Pak lebih memilih diam, ketika saya melihat kekurangan orang. saya lebih senang berkomentar ketika melihat hal positif.
September 15, 2008 at 8:46 am
Yang jelas setiap membaca tulisan profesor, saya selalu terangsang untuk berkomentar. Ya, komentarnya cuma yang ringan-ringan aja, bukan sebuah pemikiran yang sarat teori. Dengan mengomentari tulisan profesor saya berharap bisa ketularan – meskipun tidak banyak – ilmu yang dimiliki profesor. Saya bukan pengomentar yang baik, tapi saya hanya pembaca yang baik. Menulis terus untuk kemerdekaan.
September 15, 2008 at 1:49 pm
bung zulkand….saya membagi jenis dan isi komentar ada lima tipologi:
(1)setuju sampai sangat setuju dengan pendapat atau perbuatan orang lain, namun tanpa alasan….contohnya “pokoknya saya sangat setuju; saya senang, titik”(2) hal yang sama dengan butir (1) tapi dengan alasan…contohnya “saya sangat setuju dengan anda karena memang ditinjau dari beragam dimensi kehidupan, semua pendekatan yang diusulkan sangatlah bermanfaat”, dst….(3)tidak setuju sampai sangat tidak setuju dengan pendapat atau perbuatan orang lain namun tanpa alasan,….contohnya “apapun alasannya saya sangat tidak setuju dengan pendapat anda,titik”;(4) sama dengan butir 3 tapi dengan alasan……contohnya “saya sangat tidak setuju karena beberapa dimensi untuk kasus masyarakat tertentu tidaklah realistis digunakan pendekatan blablabla; karena itu saya mengusulkan bliblibli”….(5) komentar yang tidak jelas apakah setuju atau tidak atas pendapat orang lain tetapi tak ada alasan; contohnya “wah pokoknya ide anda itu memusingkan ,saya tidak memahaminya-penuh teori melulu”……
September 15, 2008 at 1:51 pm
bung nur….komentar yang out of touch bukan saja terjadi pada anda tetapi bisa menimpa siapa saja termasuk saya…..sangat manusiawi….
September 15, 2008 at 1:53 pm
betul mas yariNK….intinya luweslah berkomentar atau berkomunikasi namun tanpa harus putus pada prinsip….
September 15, 2008 at 1:54 pm
betul bung andi….ulasan anda memerkaya artikel ini…..
September 15, 2008 at 1:57 pm
ya mas caknun….saya suka mampir di pondok blog anda menimba dan belajar dari isi blog yang sarat ajaran religius……