Juni 2008
Monthly Archive
Juni 18, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
mental,
MSDM,
Mutu
[8] Comments
Kita pasti punya teman. Dan sudah tahu bagaimana membangun persahabatan. Namun hubungan persahabatan dalam suatu pekerjaan tampaknya berbeda. Kalau di luar pekerjaan mendapatkan teman adalah tujuan dalam suatu kehidupan sosial. Namun di dalam lingkungan pekerjaan, kita bersosialisasi bertujuan untuk menjadi seorang teman kerja. Karena bekerja dalam suatu tim maka membangun persahabatan menjadi sangat penting. Disitu ada proses kerjasama timbal balik antarkaryawan. Ada saling kebergantungan. Tujuannya memperoleh saling manfaat. Kalau kerjasama tidak terjadi berarti setiap individu akan bekerja sendiri-sendiri atau dalam subkelompok yang terpisah. Proses koordinasi akan mengalami kesulitan. Dan jelas pendekatan seperti itu sangatlah tidak efektif. Karena itu perlu diterapkan cara-cara bagaimana menjadi seorang teman ideal; harapan lingkungan kerja yang solid.
Pada dasarnya prinsip-prinsip membangun persahabatan di lingkungan pekerjaan hampir sama dengan persahabatan pada umumnya. Yang pertama adalah bagaimana kita mampu menjadi seorang pendengar yang baik. Konon teman sejati dicirikan oleh kemampuan dan kemauannya dalam mendengar dan memahami apa yang dibicarakan oleh rekan kerja. Tentunya dilakukan dengan perasaan paling terdalam. Kalau perlu plus dengan rasa atau ketrampilan berhumor. Kita akan mendukung rekan kerja ketika dia berjuang untuk kesejahteraan karyawan; kita akan mengoreksinya dengan penuh perhatian ketika dia gagal melakukan sesuatu; dan kita memaafkannya ketika dia berbuat keliru.
Selain itu teman sejati akan mendorong teman kerja dalam meningkatkan kualitas kepribadian yang bersangkutan. Kita sepatutnya merasa senang kalau ada rekan kerja yang mampu berkembang. Dengan demikian kemampuan mendengar sebenarnya mengandung makna bahwa salah satu kebutuhan yang bersifat manusiawi adalah kebutuhan memahami dan dipahami orang lain. Ketika itu tercapai maka pasti kita akan merindukan rekan kerja dan juga sebaliknya mereka akan selalu mencari kita untuk tempat bercurhat ria. Tempat berbagi perasaan masing-masing. Semuanya itu bakal terjadi karena telah terbangunnya suatu saling pengertian dan saling mengingatkan satu sama lainnya.
Agar berlanjut, kondisi persahabatan hendaknya tidak cuma dibatasi pada lingkup pekerjaan saja. Seharusnya hal itu dapat dikembangkan menjadi persahabatan dimana dan kapan saja. Semakin baik hubungan seperti itu maka semakin baik hubungan kerja dalam suatu tim. Dalam pemahaman pekerjaan maka seorang teman sejati tidak akan ragu untuk mengungkapkan suatu kebenaran ketika yang lainnya tidak mengatakannya. Memang kadang terjadi dilematis. Kalau dikatakan apa adanya, dikhawatirkan persahabatan akan retak. Sementara kalau tidak diungkapkan maka proses pekerjaan akan terganggu. Karena itu, pemahaman saling mengingatkan bisa saja dikembangkan menjadi saling memperingatkan satu sama lain kalau berbuat keliru. Tentu saja disampaikan dalam waktu dan tempat yang cocok. Kalau merasa menjadi sahabat maka tidak ada alasan akan timbul konflik personal.
Dengan demikian lewat persahabatan, karyawan akan mampu menempatkannya sebagai dasar untuk membangun kerjasama tim. Karyawan hendaknya tulus untuk menjadi teman. Hubungan yang baik diantara karyawan akan mampu membangun tim kerja yang tangguh. Selain itu persahabatan merupakan fondasi pencapaian keberhasilan individu, tim, dan perusahaan. Dalam jangka panjang, keberhasilan tak mungkin tercapai tanpa didukung oleh ketrampilan para karyawan dalam membangun persahabatan. Kemampuan untuk bekerjasama akan berhasil jika berlandaskan asas saling manfaat.
Juni 17, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
mental,
MSDM,
Mutu
[6] Comments
Saya memerkirakan setiap kita pernah mengalami bertemu dan bahkan berhubungan dengan seseorang yang cerdas dan trampil namun berperilaku kasar. Trampil dalam berkarya namun “miskin” kemampuan dalam berinteraksi sosial. Ketika berhadapan dengan rekan kerja, manajer, dan pelanggan; karyawan yang tergolong seperti ini berada dalam jalur tidak normal. Kalau bicara cenderung blak-blakan dan kasar. Di sisi lain sepertinya menunjukkan ketulusan namun sebenarnya dia cengeng dan mudah tersinggung. Suka merasa terpuji padahal sebenarnya gadungan. Ketika dia tergesa-gesa bekerja, namun tiba-tiba saja berhenti tanpa alasan jelas. Maka tidak jarang karyawan yang berperilaku seperti ini dianggap tergolong tak berguna. Bahkan ada yang menyebutnya sampah. Lalu bagaimana pendekatannya?
Karyawan yang trampil bekerja tetapi kurang trampil dalam berinteraksi sosial sering menimbulkan masalah sosial di lingkungan kerjanya. Ada muatan keegoan yang tinggi. Lebih parahnya lagi ditambah dengan sifat yang kasar terhadap orang lain. Karyawan tipe seperti ini kurang memiliki empati terhadap orang lain. Dan juga tidak merasa khawatir sedikitpun atas konsekuensi segala tingkahnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau mereka ditempatkan di bagian yang melayani pelanggan. Yang seharusnya tampil dengan kaya senyum malah tampil dengan wajah sangar. Yang seharusnya dilakukan dengan pendekatan simpatik malah antipati. Tentu saja yang timbul adalah ketegangan di kalangan pelanggan karena diperlakukan tidak semestinya. Lambat laun loyalitas pelanggan semakin berkurang.
Dalam prakteknya lebih mudah mengubah seseorang yang kurang trampil bekerja ketimbang mengubah ketrampilan berinteraksi sosial yang lemah. Kalau toh dilakukan lewat pelatihan akan butuh waktu yang tidak sedikit. Bagi perusahaan tentu saja hal ini akan menimbulkan pemborosan. Karena itu pendekatan tambahan adalah dengan melakukan pendekatan khusus personalia secara intensif. Selain itu mengajak mereka untuk menghadiri seminar yang menyangkut perilaku ideal dari seorang karyawan. Kemudian agar kondisi itu tidak terulang lagi maka perusahaan sejak awal penerimaan karyawan baru perlu memperketat sistem rekrutmen dan seleksi pelamar. Tes kepribadian menjadi sangat penting.
Juni 16, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
MSDM,
Mutu,
organisasi
[4] Comments
Judul artikel ini mirip dengan moto lama di dunia kerja yang kini masih sering digunakan yakni “the right man in the right place”. Artinya tempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat. Dan ada juga yang menambahkan dengan “waktu yang tepat”. Penelitian yang dilakukan the Gallup Organization tentang kesempatan karyawan untuk melakukan hal yang terbaik setiap harinya terhadap 198.000 karyawan di 7.939 unit bisnis di 37 perusahaan menunjukkah hasil yang cukup mengagetkan yakni sekitar 50% bekerja di unit bisnis yang tingkat perputaran lebih rendah ; sebanyak 38% lebih bekerja di unit yang lebih produktif; dan sebanyak 44% bekerja di unit dengan angka kepuasan kerja yang lebih tinggi. Angka berikut ini menunjukkan gambaran signifikan. Ternyata mereka yang bekerja di unit bisnis sesuai dengan zona kekuatannya hanyalah 20% ( John C.Maxwell; 2005; The 360 Degree Leader). Apa sebenarnya yang terjadi?
Salah satu alasan pokok mengapa karyawan tidak menyukai pekerjaannya adalah karena mereka tidak ditempatkan sesuai dengan kekuatannya. Kalau tetap dipertahankan dalam kondisi seperti itu mereka umumnya menjadi kurang bersemangat, kurang produktif, dan akhirnya kehabisan tenaga atau daya. Sebaliknya kalau mereka ditempatkan sesuai dengan kekuatannya. Ada manfaat ganda yakni buat karyawan dan perusahaan. Bagi karyawan semangat kerja dan kinerjanya semakin meningkat. Kekuatan mereka yang ditempatkan pada posisi pekerjaan yang tepat merupakan warna kehidupan yang baru dalam mencintai pkerjaannya. Sementara dengan ketepatan zona kekuatan, para karyawan akan berkontribusi maksimum dalam mengembangkan perusahaan. Lalu apa dan bagaimana yang harus dilakukan seorang pimpinan ?
Langkah yang dapat dilakukan seorang pimpinan adalah menemukan kekuatan-kekuatan para karyawan. Hal demikian akan terlihat dari keseharian proses pekerjaan dan kinerja mereka termasuk keberhasilan dan kegagalannya. Selain dilakukan dengan pendekatan penilaian diri oleh masing-masing karyawan, pimpinan dapat menggunakan tenaga akhli. Dengan kata lain para karyawan dites dalam hal; kepribadian, bakat, kebiasaan, kapabilitas, dan kemampuannya. Pimpinan dapat juga melakukan observasi personal karyawan secara bersinambung.
Upaya pimpinan berikutnya adalah melakukan identifikasi ketrampilan yang karyawan butuhkan. Untuk itu diperlukan suatu model pelatihan berbasis kompetensi. Analisis kebutuhan pelatihan ditujukan untuk merancang pelatihan yang mampu menjawab kebutuhan individu karyawan, kebutuhan akan pekerjaan, dan kebutuhan organisasi. Semakin baik model tersebut diterapkan semakin tinggi semangat karyawan untuk meningkatkan kekuatannya. Dalam hal ini karyawan akan selalu terdorong mengembangkan potensi dirinya. Termasuk selalu siap untuk melakukan adaptasi pekerjaan pada posisi yang baru.
Setelah langkah-langkah di atas dijalankan maka pimpinan hendaknya bersedia memberikan hak bagi karyawan untuk menempati posisi pekerjaan sesuai dengan kekuatannya. Namun demikian hal ini jangan diartikan dari sudut yang sempit. Dalam prakteknya proses menemukan kekuatan karyawan membutuhkan waktu dan enerji yang tidak kecil. Dalam hal ini pimpinan jangan kaku harus menunggu hasil observasi dan hasil tes kekuatan. Dengan intuisinya (akumulasi pengalaman, pengetahuan, dan talenta), pimpinan seharusnya sudah mampu melihat mana karyawan yang cenderung potensial dan mana yang belum atau kurang. Begitu pula kalau ada kebijakan mutasi atau rotasi maka dengan kekuatannya mereka seharusnya mampu untuk menempati posisi baru. Intinya bukan berarti seorang karyawan seumur kerjanya di perusahaan akan terus menerus menempati posisi yang sama. Karena itu para karyawan benar-benar harus disiapkan secara matang termasuk melakukan orientasi pekerjaan yang baru.
Juni 15, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
MSDM,
Mutu,
organisasi
[21] Comments
Komitmen suatu perusahaan dapat dilihat dari beragam perspektif. Dari sisi karyawan perusahaan, komitmen dicirikan oleh produktivitas dan penghargaan terhadap karyawan; dari sisi pelanggan berapa target jumlah dan jenis khalayak pelanggan ; dan dari sudut investor adalah reputasi dan nilai-nilai intangible perusahaan. Dalam kenyataannya komitmen antarkaryawan bisa beragam. Mulai dari yang sangat kurang sampai ke yang sangat komitmen. Lalu apa yang bisa diperbuat pemimpin perusahaan dalam meningkatkan komitmen karyawannya?
Dalam prakteknya tidaklah cukup hanya menganalisis dari dimensi mana kita melihat komitmen karyawan. Yang jauh lebih penting setelah dilakukan analisis, pemimpin perusahaan hendaknya mampu membuat suatu kerangka pendekatan bagaimana meningkatkan komitmen karyawan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah mendefinisikan kembali jenis kontribusi karyawan yang mampu menciptakan suatu nilai yang baru bagi perusahaan. Misalnya karyawan yang memberikan kontribusi nilai yang lebih besar pada perusahaan seharusnya memperoleh imbalan yang lebih banyak pula. Disini unsur pertimbangan persamaan diganti dengan pertimbangan keadilan. Makin tinggi prestasi seseorang semakin banyak imbalan uang dan karirnya. Karyawan seperti ini cenderung akan bertahan dan bahkan akan mengembangkan potensinya untuk memajukan perusahaan. Sebaliknya kalau mereka berprestasi semakin besar tetapi imbalan yang diterimanya sama dengan karyawan lain yang kurang berprestasi cenderung akan meninggalkan perusahaan atau tetap di perusahaan namun tidak bergairah bekerja. Nah yang lebih tidak adil adalah manakala karyawan memperoleh nilai yang lebih besar ketimbang kontribusi yang diberikannya kepada perusahaan. Tentu saja karyawan yang diperlakukan seperti ini akan betah di kantor. Tetapi di sisi lain terjadi ketidak-adilan bagi karyawan berprestasi yang potensial dapat menuai protes keras.
Untuk menghindari terjadinya rasa ketidak-adilan, pemimpin perusahaan harus belajar membedakan kualifikasi karyawan dari yang terendah sampai tertinggi melalui penelaahan yang teliti. Ukuran-ukuran kinerja perlu dipakai sebagai indikasi obyektif. Di samping itu langkah-langkah perlu dilakukan secara sistematis sampai semua karyawan mau menerima sistem imbalan yang dikeluarkan perusahaan. Semuanya itu dalam kerangka untuk menciptakan komitmen kerja karyawan berbasis keadilan imbalan. Untuk itu dicoba mengadaptasi pendapat Ulrich dan Smallwood dalam mendorong karyawan untuk meningkatkan komitmennya melalui kegiatan-kegiatan pengembangan visi, kesempatan, insentif, impak, kemasyarakatan, dan komunikasi.
Terkait dengan visi, banyak karyawan ingin memperoleh makna dari pekerjaan yang dilakukannya. Mereka ingin memperoleh kebanggan dari apa yang dilakukannya buat perusahaan. Selain itu mereka ingin diakui eksistensinya. Para karyawan akan semakin komit ketika manajer mereka memberikan sesuatu yang bermakna dalam pekerjaan kepada karyawan. Nilai dari visi lebih tinggi dibanding slogan. Di dalamnya terdapat filosofi kerja. Karena itu seharusnya setiap pekerjaan memiliki nilai termasuk penghargaan yang bakal diterima karyawan. Para manajer mengkondisikan sistem nilai yang ada dalam visi itu kepada karyawan. Semakin terinternalisasi sistem nilai dalam visi semakin komit karyawan dalam melakukan pekerjaannya dengan lebih baik lagi.
Selain pentingnya aspek visi, dalam organisasi pembelajaran, ketrampilan dan kemampuan sudah merupakan kebutuhan karyawan. Semakin besar peluang yang diberikan pemimpin perusahaan kepada karyawan untuk mengembangkan ketrampilan dan kemampuan semakin tinggi komitmen yang diberikan karyawan. Karena itu pemimpin hendaknya mengizinkan karyawan untuk berkreasi dan berinisiatif. Biarkan mereka untuk terus menerus belajar dan tumbuh. Sementara, pemimpin perusahaan pun harus memiliki proses pembelajaran bagi semua karyawannya secara bersinambung. Lewat pendekatan ini maka karyawan diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan prestasinya.
Tidak ada yang membantah bahwa insentif baik dalam bentuk finansial dan bukan finansial berpengaruh terhadap komitmen karyawan untuk bekerja. Insentif finansial bisa berbentuk besaran gaji atau upah dan bisa juga berbentuk bonus. Sementara, bentuk non-finansial berupa promosi atau pengakuan/penghargaan. Semakin tinggi insentif cenderung semakin tinggi komitmen para karyawan dalam bekerja. Insentif ini merupakan bentuk apresiasi pemimpin kepada karyawan yang telah berkontribusi memajukan perusahaan. Namun demikian semata-mata karena uang tidak selalu mendorong karyawan bekerja maksimum. Karyawan juga membutuhkan pemimpin yang selalu memanusiakan mereka dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang humanis.
Sementara itu semakin dilibatkannya karyawan dalam mengerjakan hal-hal yang strategis dan pengambilan keputusan maka karyawan akan semakin diakui keberadaannya. Para karyawan merasa bahwa apa yang dikerjakannya dapat memberi impak pada perkembangan perusahaan. Mereka dinilai mampu menciptakan kondisi kerja yang nyaman dengan memelihara hubungan kerja baik jalur vertikal dengan pimpinan maupun jalur horisontal dengan rekan kerjanya. Dalam hal ini komitmen karyawan akan semakin tinggi.
Kebanggaan karyawan akan dicerminkan pula dalam bentuk perasaan bangga sebagai bagian dari suatu tim kerja. Disitu terdapat struktur sosial (kemasyarakatan) sekaligus interaksi sosial sebagai tempat untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan kolaborasi yang instensif. Unsur-unsur itulah yang membuat karyawan terdorong untuk meningkatkan komitmennya pada perusahaan.
Dalam struktur sosial di atas maka peran komunikasi menjadi sangat penting. Mereka memerlukan informasi apa yang terjadi dalam perusahaan dan bahkan dalam dirinya. Mereka membutuhkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan. Dengan demikian karyawan dapat berkomunikasi satu sama lainnya untuk membantu perusahaan dengan lebih baik lagi. Dalam hal ini mereka harus dipandang sebagai bagian keluarga besar perusahaan yang bertanggung jawab. Dengan kata lain pengakuan ini akan menimbulkan komitmen yang tinggi pada perusahaan.
Enam pendekatan tersebut tentunya memerlukan jabaran yang lebih teknis lagi. Hal itu diperlukan karena semua karyawan dalam suatu tim kerja tidaklah homogen. Masing-masing dari mereka memiliki keunikan perilaku. Di sisi lain bobot masing-masing pendekatan akan beragam sesuai dengan perilaku karyawan. Dengan demikian pemimpin perusahaan harus cermat atau teliti ketika akan merumuskan kegiatan pengembangan komitmen. Implikasinya, selain pendekatan umum maka pendekatan spesifik per karyawan pun sangat diperlukan.
Juni 14, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
Iklim bisnis,
MSDM,
Mutu
[6] Comments
Tidak bisa dibantah, setiap organisasi untuk mencapai tujuannya memerlukan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan yang berisi apa yang akan diproduksikan atau diusahakan, berapa jumlah dengan mutu tertentu akan diproduksi dan dipasarkan, berapa anggaran yang dibutuhkan, bagaimana metode yang digunakan, siapa saja yang dilibatkan dalam proses, siapa segmen pasarnya, dimana pasarnya, dan kapan waktu yang tepat proses bisnis dijalankan. Semakin baik suatu perencanaan dbuat dan dihasilkan semakin besar peluang tujuan organisasi tercapai. Benar bahwa suatu perencanaan untuk mendapatkan pendapatan adalah penting dan bermakna. Tetapi menyelamatkan pendapatan dan sekaligus kepercayaan pasar akan lebih bermakna. Apa maksudnya dari pernyataan seperti itu?
Dalam kenyataannya, sekalipun suatu perusahaan yang baik dengan seorang pemimpin perusahaan yang kompeten suatu ketika bisa saja mengalami kesalahan proyeksi dan merugi. Permasalahannya terletak pada komunikasi yang tidak dijalankan dengan baik. Padahal komunikasi dengan semua pihak khususnya para investor, rekanan bisnis, dan pemangku kepentingan internal merupakan kunci memelihara kredibilitas dan kepercayaan. Sebagai contoh apa yang dialami Jacques Nasser dari Ford Motor Company (Dave Ulrich dan Norm Smallwood , 2003, How Leaders Build Value). Dia dipecat ketika Ford mengalami kerugian segera setelah terjadinya perselisihan pahit dengan perusahaan ban mobil Bridgestone/Firestone. Biang keroknya karena Nasser tidak mampu berkomunikasi dengan berbagai pihak secara efektif. Dengan kata lain telah terjadi ingkar janji dalam bertransaksi. Dia tidak mampu menjadi motor dalam membangun hubungan dan kepercayaan. Lalu muncullah kekecewaan di kalangan Ford dan Bridgestone yang mengakibatkan kedua pihak tersebut mengalami kerenggangan hubungan bisnis. Sebenarnya kalau saja hal itu dapat ditanggulangi lebih dini lewat komunikasi sekaligus koordinasi internal yang efektif maka hasilnya pasti lain. Namun sebaliknya, yang terjadi adalah Ford mengalami kerugian besar, pendapatan berkurang, dan kehilangan kepercayaan yang semuanya itu mendorong Ford untuk memecat Nasser.
Membuat dan memelihara janji adalah bentuk nilai intangible dan bukanlah sesuatu yang eksklusif untuk kalangan eksekutif. Tidak masalah dimana posisi seseorang berada. Mereka, misalnya divisi anggaran, produksi dan penjualan perlu diberikan informasi dan koordinasi yang cukup tentang transaksi bisnis yang akan dijalankan oleh perusahaan. Begitu pula divisi IT harus memiliki kredibilitas tinggi agar mampu memberikan pelayanan data dan informasi kepada kalangan mitra bisnisnya. Disinilah seorang pemimpin harus mampu melakukan semuanya itu. Pemimpin haruslah memenuhi harapan-harapan pelanggan. Harapan itu sendiri bermakna janji. Jelas dan wajib dipenuhi.
Jadi tampak bahwa suatu harapan akan pupus ketika masalah janji transaksi bisnis gagal dipenuhi. Perusahaan akan kehilangan keuntungan dan pendapatan akibat tidak taatasasnya suatu implementasi perencanaan yang sudah disusun dengan baik. Padahal kegagalan tersebut akan dibayar mahal oleh perusahaan. Kredibilitas dan kepercayaan pasar terhadap perusahaan akan berkurang hanya karena ulah seorang pemimpin perusahaan yang tidak mampu memenuhi harapan mitra bisnisnya. Karena itu ada baiknya pimpinan perusahaan perlu membuat strategi implementasi perencanaan bisnis yang konsisten atau taatasas melalui pendekatan-pendekatan: antara lain merumuskan harapan-harapan bisnis yang realistik, mengembangkan gagasan dan harapan ke tiap lini perusahaan, mengembangkan sistem informasi manajemen, meningkatkan koordinasi dalam rangka pengembangan partisipasi semua individu organisasi, mengambil keputusan tepat ketika terjadi turbulensi, mengembangkan jejaring kerja dengan mitra bisnis secara efektif, dan membangun kredibilitas pasar dengan memenuhi janji.
Juni 13, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
mental,
MSDM,
Mutu
[2] Comments
Ada satu kesalahan terbesar para pimpinan perusahaan dalam konteks pemberian perhatian pada karyawannya. Yakni begitu enggan bahkan boleh dibilang malasnya mereka untuk sewaktu-waktu masuk ke ruangan kerja karyawannya. Untuk apa? Ya untuk menyapa dan membangun semangat kerja para karyawan. Namun, para pimpinan begitu asyik menghabiskan waktu mereka hanya di kamar kerjanya saja. Mereka begitu terikat pada agenda kerja yang padat seperti memimpin atau hadir pada beragam rapat tentang aspek bisnis yang sangat kompleks, loby sana-sini; pembuatan draf kerangka laporan bisnis; membuat gagasan-gagasan; dsb. Dalam situasi seperti itu kamar kerjanya seolah tertutup rapat untuk para kolega dan karyawannya. Kalau sang pemimpin keluar dari kamar kerjanya hanyalah untuk pergi ke ruang rapat atau hendak pergi keluar kantor perusahaan. Sampai-sampai kalau ada seseorang yang ingin bertemu dengan dia harus mendaftar dahulu atau diwajibkan membuat perjanjian melalui sekertarisnya. Akibatnya para subordinasi sangat enggan untuk masuk ke ruang kerjanya. Yang lebih parah lagi kalau para subordinasi akan menghindari untuk bertemu dengan bosnya.
Pemimpin dan kepemimpinan sudah pasti sangat erat hubungannya dengan masalah manusia. Pasti tidak luput dari interaksi sosial. Di sisi lain, hanya karena ada level pemimpin yang dibawahnya maka urusan sapa menyapa dengan subordinasi cukup dilakukan oleh pemimpin manajemen menengah saja. Pemikiran seperti ini adalah keliru. Membangun hubungan sosial dengan karyawan tidak mengenal istilah pendelegasian wewenang pada orang lain. Hubungan sosial harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan. Sifatnya sangat pribadi. Ketika hubungan diabaikan maka sama saja sang pemimpin sangat mengandalkan pada dirinya sendiri.
Memang benar bahwa seorang pemimpin yang baik adalah yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan segala tugasnya. Mereka mencoba melakukannya sendiri. Pertanyaannya seberapa jauh para pemimpin mampu berlari lebih cepat dari biasanya? Seberapa jauh mutu kerjanya akan lebih baik ketimbang dilakukan dengan bantuan orang lain? Bisa saja seorang pemimpin bekerja sendirian namun hasilnya belum tentu sesuai harapan. Untuk itu perlu disadari, suatu ketika dia akan membutuhkan orang lain; dalam hal ini subordinasinya. Dengan kata lain dia harus proaktif berinteraksi dengan karyawannya walaupun itu dilakukan secara informal. Dengan interaksi berarti cenderung terjadinya saling bergantung antara sang pemimpin dan subordinasinya.
Salah satu cara terbaik untuk memelihara hubungan sang pemimpin dengan subordinasinya adalah dengan menyempatkan diri untuk mampir ke ruang kerja para karyawannya. Sesibuk apapun ketika sang pemimpin misalnya akan pergi melewati ruang kerja subordinasinya, kalau bisa dia mampir sebentar lalu bertegur sapa dengan karyawan. Namun bukan berarti harus setiap hari melakukannya. Di sisi lain sebaiknya sang pemimpin memberikan peluang mereka masuk untuk bertemu di ruang kerjanya. Dalam keadaan seperti itu pasti para karyawan merasa mendapat perhatian dari atasan. Mereka bakal gembira. Dan pasti pula mereka tidak bakal merasa khawatir akan mengganggu kenyamanan kerja sang bos asalkan dilakukan secara proporsional.
Tegur sapa lewat bertemu sejenak dengan subordinasi di ruang kerja para karyawan mencerminkan sang pemimpin menaruh perhatian yang besar terhadap kondisi mereka. Sang pemimpin telah menciptakan keseimbangan hubungan yang sehat antara unsur pribadi dan posisi dirinya sebagai ”penguasa” yang dilakukan dengan segala kerendahan hati. Menyempatkan diri untuk mampir kelihatannya sesuatu yang biasa-biasa saja. Sepertinya hal yang remeh dan kecil. Namun para karyawan merasa diperhatikan bosnya. Semangat kerja mereka biasanya meningkat karena termotivasi oleh unsur kepemimpinan yang humanis dari sang bos.
Juni 11, 2008
Posted by sjafri mangkuprawira under
MSDM,
Mutu
[8] Comments
Henry Mintzberg pada tahun 1973 telah menerbitkan buku “The Nature of Managerial Work” yang merupakan uraian hasil penelitiannya terhadap lima CEO (Crainer). Mintzberg mengungkapkan dalam tulisannya bahwa:
1) Ada kesamaan dalam pekerjaan manajerial, baik yang dilakukan oleh pemimpin suatu perusahaan, administrator pelayanan kesehatan, atau bahkan dengan yang dilakukan oleh seorang mandor.
2) Perbedaannya terletak pada sisi fungsi dan hirarki dimana jenis dan bobot pekerjaannya disesuaikan dengan peran dan karakteristik pelaku dalam organisasinya.
3) Pekerjaan manajerial dan tugas-tugas dibuat secara teratur dan terprogram.
4) Manajer adalah seorang generalis dan sekaligus spesialis.
5) Manajer mengandalkan diri pada informasi, khususnya yang bersifat verbal.
6) Kegiatan-kegiatan pekerjaan manajer dicirikan oleh uraian ringkas, keragaman dan terfragmentasi.
7) Pekerjaan manajemen lebih sebagai seni ketimbang sebagai ilmu, dan mengandalkan intuisi dan proses non-eksplisit Pekerjaan manajemen semakin bertambah kompleks.
Model Mintzberg tentang pekerjaan manajerial diidentifikasi menjadi tiga kelompok dari peran spesifik manajer sebagai berikut:
(1) Kategori interpersonal
1) Peran sebagai pimpinan ”boneka”, dimana manajer berperan sebagai ketua organisasi hanya secara simbolis.
2) Peran sebagai pemimpin, dimana manajer membangun atmosfer dan memotivasi subordinasi untuk mencapai tujuan organisasi.
3) Peran sebagai perantara, dimana manajer mengembangkan dan memelihara hubungan dengan organisasi lain.
(2) Kategori informasional
1) Peran sebagai pemantau, dimana manajer mengumpulkan semua jenis informasi yang relevan dan bermanfaat bagi organisasi.
2) Peran sebagai penyebarluasan informasi, dimana manajer menyebarkan informasi dari luar ke para anggota organisasi.
3) Peran sebagai juru bicara, dimana manajer menyebarkan informasi dari dalam ke luar organisasi.
(3) Kategori Keputusan
1) Peran sebagai pengusaha, dimana manajer berinisiatif aktif mengendalikan perubahan organisasi mereka untuk disesuaikan dengan perubahan lingkungan.
2) Peran sebagai pengendali gangguan, dimana manajer berperan mengatasi ubahan-ubahan yang tidak diharapkan.
3) Peran sebagai pengatur sumberdaya, dimana manajer membuat keputusan dalam penggunaan sumberdaya organisasi.
4) Peran sebagai perunding, dimana manajer melakukan perjanjian dengan organisasi dan individu lain.
Hasil penelitian Mintzberg tidak luput dari kelemahan. Dalam praktiknya, para peneliti manajemen mengalami kesulitan dengan pengelompokan model Mintzberg karena dalam kenyataannya pengelompokan tersebut bersifat tidak universal seperti yang dikemukakan oleh Mintzberg. Setiap organisasi memiliki strategi penerapan peran manajernya masing-masing. Hal yang sama juga terjadi dengan hasil penelitian Louis Allen. Pada tahun 1953 Allen melakukan penelitian tentang karakteristik metode manajemen yang dinilai paling efektif, teknik manajemen baru apa yang terbukti paling efektif, dan apa yang seharusnya dilakukan perusahaan untuk mengelola secara efektif. Kemudian dia melanjutkan penelitiannya selama kurun waktu 15 tahun.
Hasil penelitian Allen kemudian diuraikan dalam bukunya berjudul Profesional Management. Menurutnya ada empat fungsi manajemen yang didasari oleh keyakinan bahwa para manajer berpikir dan bertindak rasional: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Kemudian Allen memilah fungsi-fungsi tersebut menjadi 19 kegiatan manajemen, sebagai berikut (Crainer):
1) Fungsi perencanaan, yang mencakup kegiatan peramalan, perumusan tujuan, pemograman, penjawalan, penganggaran, prosedur pengembangan dan pengembangan kebijakan.
2) Fungsi pengorganisasian, dengan mencakup kegiatan pengembangan struktur organisasi, pendelegasian, pengembangan hubungan organisasi.
3) Fungsi pelaksanaan, mencakup aspek kegiatan pengambilan keputusan, komunikasi, pemotivasian, penyeleksian dan pengembangan karyawan.
4) Fungsi pengawasan-pengendalian, yang terdiri dari kegiatan pengembangan standar kinerja, pengukuran, pemantauan dan evaluasi, dan pengembangan kinerja.
Rumusan Allen tentang 19 kegiatan manajemen telah banyak mempengaruhi para peneliti dan lebih-lebih pada pengelolaan organisasi. Namun demikian ada beberapa kelemahan. Allen dalam penelitiannya cenderung melihat manajemen profesional dari sudut pandang organisasi yang rasional dan menghilangkan pengaruh aspek manusia dan politik terhadap organisasi. Juga rumusan hasil penelitiannya kurang didukung oleh studi empirik. Allen mencoba menghasilkan teori umum tentang pekerjaan manajerial dan mengabaikan keragaman pekerjaan dalam tipe organisasi yang berbeda dan fungsi-fungsi yang berbeda seperti pemasaran, produksi atau finansial. Dengan kata lain banyak organisasi yang memiliki bidang dan fokus pekerjaan yang berbeda yang sulit dijadikan sebagai tolok ukur ciri-ciri fungsi manajer secara universal. Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana fokus penelitian seperti ini sebaiknya diarahkan pada pertanyaan apa yang seharusnya manajer lakukan dibanding dengan apa yang secara nyata dilakukan oleh manajer.
Sumber: Sjafri Mangkuprawira dan Aida Vitayala Hubeis; 2007; Manajemen Mutu SDM, PT Ghalia Indonesia.
« Laman Sebelumnya — Laman Berikutnya »