Perusahaan umumnya memahami bahwa tiap karyawan memiliki talenta (pembawaan) berbeda. Namun perusahaan juga seharusnya mampu memanfaatkan perbedaan talenta menjadi unsur potensial perusahaan. Ketika akan melakukan investasi, suatu perusahaan perlu melakukan peringatan dini tentang baik buruknya talenta. Kemudian mengamati perbedaan derajat talenta positif, memposisikan, mengembangkan,dan mentransformasikannya menjadi kekuatan bonafid. Hal ini penting agar talenta tidak menjadi mubazir atau bahkan sebagai ”musuh” perusahaan.
Ketika ego karyawan muncul, ada empat tanda-tanda peringatan dini yang dapat mengindikasikan kehilangan nilai; (1) perilaku membanding-banding, (2) defensif, (3) sok memamerkan keunggulan, dan (4) mencari legitimasi. Semakin besar intensitas atau frekuensi tanda-tanda peringatan dini,semakin curam penurunan nilai dari keegoan. Pertanyaannya bagaimana semestinya perusahaan mampu mengelola keegoan karyawan tersebut secara efektif. Mana yang menentukan timbulnya resiko dan mana yang menguntungkan perusahaan. Dengan kata lain mana ego yang paling bernilai dan mana yang paling menimbulkan biaya besar.
Untuk mengukur rasio tersebut, pertanyaan logis yang perlu dijawab adalah seberapa sering para karyawan dan perusahaan mengamati kekuatan ego individu dan nilai organisasi bagi kemajuan perusahaan. Menurut David Marcum dan Steven Smith (Egonomics, 2008), 63 persen dari kalangan pebisnis bilang bahwa ego negatif mempengaruhi kinerja setiap jam perharinya, sementara sisanya, sebanyak 31 persen, terjadi setiap minggu. Bahkan sebanyak 35 persen manajer yang mengambil pekerjaan baru gagal dan keluar atau diminta meninggalkan pekerjaannya oleh perusahaan. Ketika karyawan dan juga manajer terbaik dan unggul (intelektual) telah terrekrut dan ditempatkan, tidak menjamin bahwa kinerjanya sesuai dengan standar perusahaan. Hal ini karena ada pembawaan negatif yang tidak terdeteksi secara teliti ketika proses rekrutmen dilakukan. Selain itu peringatan dini tidak dilakukan secara optimal.
Pembawaan seseorang, khususnya yang negatif, tidaklah mudah untuk dihilangkan. Bukti empiris menunjukkan, pembawaan seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Budayanya kurang sehat antara lain dicerminkan oleh pembawaan egonya, seperti egoistik dan egosentrik, yang sangat kuat. Bisa saja kinerja kerjanya bagus dan berharap berlangsung lama. Namun ternyata sering hanya mampu bekerja dalam waktu yang relatif singkat. Karyawan bersangkutan ternyata tidak mampu bekerjasama dengan orang lain. Padahal kemampuan bekerjasama merupakan unsur penting dalam memelihara lingkungan kerja yang nyaman.
Maret 3, 2008 at 1:02 am
Tak kalah penting yang perlu dipantau juga adalah “Informal Leader” . Sosoknya bisa negatif bisa juga positif. Jika benar memanage-nya ia akan berguna sekali bagi perusahaan.
Maret 3, 2008 at 12:28 pm
mbak yoga……ya benar……dalam literatur sosiology,pemimpin informal seperti guru dan kiai, menjadi panutan masyarakat…….karena kedudukannya sebagai sumber informasi,inspirasi,nasehat dan panutan……umumnya dalam konteks yang positif……
Maret 4, 2008 at 6:06 am
semoga kita bisa mengontrol ego dan emosi sehingga bisa menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain di sekitar kita
itu saja
Maret 4, 2008 at 6:12 am
Kalau di dalam perusahaan informal leader ini seringkali malah tidak memegang jabatan yang strategis tapi peranannya cukup berpengaruh. Untuk itu perlu pendekatan khusus Prof. Dan terkadang ternyata mereka adalah karyawan yang “negatif” nah ini yang susah-susah sulit 🙂
Untuk lingkup corporate mungkin efeknya tidak terasa besar, tapi kalau bicara dikalangan buruh mereka ini bisa jadi idol.
Maret 4, 2008 at 11:07 am
ya realylife……….jadikan enerji negatif menjadi posisitf……..potensial produktif…..
Maret 4, 2008 at 11:13 am
ya benar mbak yoga bisa seperti itu….karena itu perlu dibangun komunikasi inter dan antarpersonal oleh pimpinan……..secara intensif……dan yang lebih payah ada pimpinan formal namun perilakunya justru kental dengan keegoan tinggi …….