Mengapa ada perusahaan yang gagal dan ada yang sukses? Pertanyaan berikutnya, mengapa bisa gagal, padahal perencanaan sudah dibuat sedemikian canggihnya oleh para akhli. Sebaliknya ada yang sukses, padahal perencanaan yang dibuat cenderung hanya menggunakan perasaan dan atau intuisi saja. Dengan kata lain kualitas perencanaan yang asal jadi alias acak-acakan namun pelaksanaannya bagus. Pertanyaan di atas sepertinya tak masuk akal. Ada apa gerangan, khususnya di perusahaan-perusahaan Amerika?
Kegagalan suatu perusahaan sering kali disebabkan oleh fokus yang kurang pada produk dan atau manusia. Sementara, manajemen begitu terpesonanya pada asumsi-asumsi dari hasil analisis para pakar manajemen atau bisnis. Karena begitu berlebihannya tingkat kepercayaan akan perencanaan sampai-sampai perusahaan mengabaikan resiko dan tindakan-tindakan operasional. “Banyak perusahaan melakukan hal ini secara berlebihan, kata Ed Wrapp seperti terungkap dalam buku “In Search of Excellence”(Thomas J.Peters dan Robert H.Waterman,Jr, 2007,Karisma).Selanjutnya diungkapkan,”Mereka merasa perencanaan lebih menarik daripada menghasilkan produk yang layak jual”. Perencanaan menjadi pelarian yang menyenangkan dari masalah operasional….Secara intelektual memang seperti itu karena tidak menimbulkan tekanan seperti yang ditimbulkan dalam kegiatan operasional.Perencanaan jangka panjang formal hampir selalu menyebabkan pengutamaan yang berlebihan pada sisi teknik.”
Sehubungan dengan itu Fletcher Byrom dari Koppers menyarankan; ”sebagai pedoman dan sebagai alat pendisiplin bagi sekelompok orang, kedudukan perencanaan sangat penting”. Menurutnya,buatlah perencanaan tetapi sekali perencanaan dibuat, simpanlah itu di dalam rak. Jangan terpaku padanya. Jangan gunakan perencanaan sebagai masukan utama dalam proses pengambilan keputusan. Manfaatkanlah perencanaan terutama ketika terjadi perubahan”. Dan agak aneh kedengarannya, ketika Business Week pernah melaporkan bahwa perusahaan Johnson & Johnson yang dipandang sebagai perusahaan yang selalu berpikiran jauh ke depan ternyata tidak memiliki anggota direksi yang dinamakan perencana.
Guru Besar pemasaran Harvard yang terkenal,Theodore Levitt, pernah mengatakan “Penyusunan model membangun keputusan yang rumit yang manfaatnya hanya diungguli oleh keterpesonaan para manajer lini tingkat tinggi terhadap para teknokrat yang membuatnya” (Karisma,2007). Ada pendapat senada bahwa mayoritas pengusaha tidak memiliki pemikiran orisinal karena mereka tidak mampu melepaskan diri dari tirani nalar. Dalam prakteknya ketika para perencana ini diberikan posisi sebagai pelaksana ternyata dinilai tidak tepat. Mereka memang cemerlang dalam nalar namun bukanlah sebagai orang yang tepat dalam mengimplementasikannya.
Uraian di atas bukan berarti menganjurkan perusahaan untuk tidak melaksanakan perencanaan. Yang jelas perusahaan harus membuatnya. Namun yang menjadi pokok perhatian adalah perencanaan jangan menjadi tujuan final. Perencanaan memang bisa digunakan sebagai instrumen persiapan mental jika terjadi turbulensi pada aktifitas bisnis. Dalam prosesnya, aktifitas bisnis bisa berjalan tidak sejalan dengan rencana yang sudah dibuat. Artinya perusahaan tidak terpaku semata-mata hanya pada perencanaan. Jadi yang terpenting bagaimana perusahaan sebaiknya bertindak lentur. Harus mampu melakukan adaptasi pendekatan-pendekatan bisnis ketika berhadapan dengan dinamika perubahan pasar yang kerap tidak pasti atau tidak mudah diprakirakan.
Februari 8, 2008 at 10:03 am
wah foto baru Pa’, Pa’ Prof terlihat lebih muda dan fresh…
Perencanaan adalah bagian dari hidup ya Pak prof, sebagai acuan atau tolok ukur dalam mengerjakan apapun tetapi ada yang Maha berkehendak yaitu Alloh SWT bahkan Nabi Muhammad pun merupakan seorang Planner yg handal di segala bidang.
semoga di Indonesia memiliki planner2 yg handal yg mampu mempertimbangkan religiusitas didalamnya selain intuisi dan pengalaman
Februari 8, 2008 at 12:18 pm
terimakasih mas ridwan; benar perencanaan adalah penting….dan yang lebih penting lagi menterjemahkannya dalam bentuk kegiatan nyata……dari visi ke aksi…….
Februari 8, 2008 at 10:52 pm
Definisi NALAR dalam tulisan diatas apa prof?apakah nalar yang berarti RASIONALITAS atau NALAR yang berarti NALURI (baca:nafsu)?
kalau berdasarkan nafsu,memang bisnis yang dalam waktu singkat paling menguntungkan yang berkembang pesat dan keuntungan lebih cepat dari laju bunga bank adalah:
1.prostitusi.
2.perjudian.
3.miras n narkoba.
Tetapi apabila sebagai RASIONALITAS,maka bisnis harus memiliki etika,goodwill,semangat luhur, dsb. contoh: GE nya Alfa edison,kebakaran pabrik tidak menyurutkan langkahnya untuk terus berkreasi dan berinovasi agar berguna banyak bagi umat manusia.
Jadi selama bisnis itu memiliki tujuan baik insya Allah akan bertahan.
Februari 8, 2008 at 11:22 pm
nanda siber…..yang dimaksud nalar disini adalah rasionalitas……..misal perencanaan bisnis berbasis nalar…….nalar disini berarti pemikiran dan pertimbangan rasional, masuk akal, layak, dan obyektif………namun dalam prosesnya atau praxisnya dihadapkan pada turbulensi yang tidak diperkirakan sebelumnya…….sesuatu yang tidak pasti…….nah,lalu dianjurkan jangan terpaku pada nalar ketika proses perencanaan itu dibuat……….dengan kata lain perlu dilakukan adaptasi atau modifikasi perencanaan yang ada……..untuk dapat menghadapi letupan-letupan internal dan eksternal……untuk itu bukan berarti tanpa menggunakan nalar……..nalar itu sendiri bersifat dinamis……salam