Prof. Muhamad Junus, perintis pengembangan lembaga keuangan mikro bagi kaum papa di Bangladesh, beberapa hari yang lalu mengunjungi Indonesia atas undangan pemerintah. Pemegang penghargaan Perdamaian Nobel itu merupakan orang pertama bagi Bangladesh, sebagai sebuah negara di Asia Selatan, yang termasuk termiskin di dunia. Tiga penerima Nobel dari negara Asia lainnya adalah Yaser Arafat (Palestina), Aung San Suu Kyi (Myanmar), Le Duc Tho (Vietnam, menolak) dan Carlos Felipe Ximenes Belo (Indonesia yang telah memisahkan diri menjadi negara Timor Leste) dan Xanana Gusmao diterima oleh Jose Manuel Ramos Horta (Timor Leste). Semua penerima penghargaan itu berasal dari negara yang mayoritas penduduknya miskin. Bagaimana dengan peluang bagi orang Indonesia?
Di bidang non-perdamaian, seperti dalam fisika, kimia, medis dan sastra, Indonesia seharusnya bisa. Lebih kurang selama tiga tahun terakhir ini anak-anak pelajar sudah membuktikannya yaitu unggul dalam olimpiade fisika dan matematika tingkat internasional. Itu seharusnya dipakai sebagai salahsatu jalur awal menuju perolehan hadiah nobel. Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (Yusuf; 22). Untuk itu diperlukan pembinaan secara bersambung, termasuk memberi peluang bagi para pelajar tersebut untuk berprestasi mengikuti kuliah di berbagai perguruan tinggi unggulan. Kemudian tentang penghargaan nobel di bidang perdamaian, bangsa Indonesia sendiri harus membenahi fenomena-fenomena anarkis seperti perang antar-suku, antar aliran-seagama, dan kemiskinan.
Bangsa Indonesia, khususnya pemerintah harus banyak belajar dari seorang bernama Yunus, yang bertitel PhD dan sangat peduli sekali pada kaum papa. Dia begitu tekun dan taatasas memberdayakan kaum perempuan yang miskin dengan membangun Grameen Bank. Untuk itu masalah yang perlu dijawab apakah bangsa kita sudah punya keberpihakan pada kaum papa, jiwa pionir, inovatif, kreatif, ketekunan dan kemandirian kerja serta solidaritas sosial yang tinggi dan merata di semua lapisan? Apakah lembaga-lembaga pendidikan, penelitian dan industri sudah mengkondisikan suasana belajar dan kerja yang berbasis invensi dan inovasi? Kalau sudah terjawab, siapa tahu walau Indonesia sebagai negara yang penduduknya masih banyak yang miskin, kelak bisa meraih nobel.