Jumat, Agustus 10th, 2007


          Prof. Muhamad Junus,  perintis pengembangan lembaga keuangan mikro bagi kaum papa di Bangladesh,  beberapa hari yang lalu  mengunjungi Indonesia atas undangan pemerintah. Pemegang penghargaan Perdamaian Nobel itu merupakan orang  pertama bagi Bangladesh, sebagai sebuah negara di Asia Selatan, yang termasuk termiskin di dunia. Tiga  penerima Nobel dari negara Asia lainnya adalah Yaser Arafat (Palestina), Aung San Suu Kyi (Myanmar), Le Duc Tho (Vietnam, menolak)   dan Carlos Felipe Ximenes Belo (Indonesia yang telah memisahkan diri menjadi negara Timor Leste) dan Xanana Gusmao diterima oleh Jose Manuel Ramos Horta (Timor Leste). Semua penerima penghargaan itu berasal dari negara yang mayoritas penduduknya miskin. Bagaimana dengan peluang bagi orang Indonesia?

          Di bidang non-perdamaian,  seperti dalam fisika, kimia, medis dan sastra, Indonesia seharusnya bisa.  Lebih kurang selama tiga tahun terakhir ini anak-anak pelajar  sudah membuktikannya yaitu unggul dalam olimpiade fisika dan matematika tingkat internasional. Itu seharusnya dipakai sebagai salahsatu jalur awal menuju perolehan hadiah nobel. Dan tatkala dia cukup dewasa  Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.  Demikianlah Kami memberi balasan  kepada orang-orang yang berbuat baik (Yusuf; 22). Untuk itu  diperlukan pembinaan secara bersambung, termasuk memberi peluang bagi para pelajar tersebut untuk berprestasi mengikuti kuliah di berbagai perguruan tinggi unggulan. Kemudian tentang penghargaan nobel di bidang perdamaian, bangsa Indonesia sendiri harus membenahi fenomena-fenomena anarkis seperti perang antar-suku, antar aliran-seagama, dan kemiskinan.

        Bangsa Indonesia, khususnya pemerintah harus banyak belajar dari seorang bernama Yunus, yang bertitel PhD dan sangat peduli sekali pada kaum papa. Dia begitu tekun dan taatasas memberdayakan kaum perempuan yang miskin dengan membangun Grameen Bank. Untuk itu masalah yang perlu dijawab apakah bangsa kita sudah punya keberpihakan pada kaum papa, jiwa pionir, inovatif, kreatif, ketekunan dan kemandirian kerja serta solidaritas sosial yang tinggi dan merata di semua lapisan? Apakah lembaga-lembaga pendidikan, penelitian dan industri sudah mengkondisikan suasana belajar dan kerja yang berbasis invensi dan inovasi? Kalau sudah terjawab, siapa tahu walau Indonesia sebagai negara yang penduduknya masih banyak yang miskin, kelak bisa meraih nobel.     

          Untuk kesekian kalinya setelah beberapa tahun ini Eyang Harto (Suharto, mantan Presiden RI ke-dua) sedang digugat Pemerintah RI karena perbuatan melawan hukum. Kali ini Eyang sebagai pendiri sekaligus sebagai Ketua Yayasan Beasiswa Supersemar dan sebagai pribadi diduga telah menyelewengkan dana yang menyimpang dari tujuan yakni sebesar 420 juta dolar US dan dana 185 milyar rupiah.

Pernah ada dua kelompok ekstrim yang menanggapi kondisi eyang: Yakni ada yang mendukung penghentian tuntutan hukum terhadap Eyang. Artinya maafkanlah Eyang, tanpa syarat!! Eyang Harto dari zaman kemerdekaan sampai zaman orde baru dinilai telah banyak jasanya. Namun kelompok yang lainnya atau kelompok oposisi; mendesak sekali diadili, tetap diadili! Tak ada kompromi dengan segala kemaksiatan yang telah diperbuat Eyang.

Saya percaya bahwa demi hukum dan keadilan, siapa pun yang diduga bersalah harus diajukan ke pengadilan. Tegakkan keadilan walau langit akan runtuh, demikian filosofi hukum. Tuntutan hukum, politik dan protes keras terhadap tindak-tanduk negatif Eyang semasa orde baru menambah rantai panjang penderitaannya.

   Saya pribadi, kalau mempertimbangkan keuzuran serta kesehatan beliau, sementara berpendapat tidak usah ada proses pengadilan padanya. Kalau sudah sehat silakan, perkaranya dibuka lagi. Kalau dihukum diharapkan seadil-adilnya…..”dan (Dia menyuruh  kamu) apabila memutuskan hukum di antara manusia hendaklah memutuskannya dengan adil” ( an-Nisa’: 58).