Suatu ketika seorang ibu mengajak anak laki-lakinya, usia enam tahun, jalan-jalan ke mal untuk ‘window shopping”. Kali ini si ibu minta agar anaknya, sebut saja Koko, tidak minta belanja apa-apa. Kebetulan uang si ibu sangat pas-pasan. Karena itu selama di mal, si Koko jangan ngomong apapun, pesan sang ibu. Berdasarkan pengalaman kalau si Koko ngomong pasti ada maunya. Minta dibelikan ini-lah dan itu-lah. Pokoknya merepotkan si ibu. Jadi Koko harus nurut si ibu. Kalau melanggar nanti bakal dijewer. Tak ada ampun. Itulah ‘deal’nya.
Setelah lebih kurang 45 menit mereka keliling-keliling, si Koko tiba-tiba nyolek tangan ibunya; mau ngomong. Baru saja akan membuka mulutnya tidak ayal lagi mata si ibu melotot pertanda melarang Koko jangan ngomong. Setelah 10 menit si Koko memegang tangan ibunya lagi sambil meringis ingin ngomong. Lagi-lagi si ibu melotot bahkan sambil ngomel ngalor ngidul; sedikit kesal. Sampai tidak tahan lagi terus si Koko berhenti berjalan. Kemudian berdiri dekat ibunya sambil meringis hebat dan memegang erat tangan ibunya lalu menunjuk ke celana panjangnya. Apa yang terjadi? Karena sudah tak tahan, si Koko kencing di celana di kerumunan pengunjung mal. Karuan saja si ibu ngomel-ngomel kenapa tidak bilang dahulu kalau mau kencing, katanya pada si Koko. “Kan ibu bilang tidak boleh ngomong apapun. Bahkan tadi ketika Koko mau ngomong ibu marah-marah”, kata si Koko membela diri. “Eh, kamu ini gimana sih. Yang ibu maksud jangan ngomong untuk minta belanja. Ngerti enggak? Dasar anak tak tahu diri”, sambil terus menggerutu. Akhirnya dengan setengah “terpaksa”, tanpa rencana, sang ibu membeli satu celana panjang baru buat si Koko.
Kasihan si Koko. Dia tidak boleh ngomong sama sekali selama di mal. Dia begitu patuh sesuai ‘deal’. Padahal kesehariannya, Koko dikenal sebagai anak cerdas, lincah dan pandai bergaul termasuk di dalam keluarganya. Tetapi kali ini Koko telah menjadi kurban ‘kepatuhan’ atau ‘kedisiplinan’ mati dalam suatu aturan yang sangat kaku. Yang jelas kencing di depan khalayak tidak merupakan kebiasaannya. Dan bukan kehendaknya. Tapi semata-mata terpaksa dan rasa takut. Hak asasinya telah terpasung. Tapi masih beruntung dia mendapat celana panjang baru.
Kasihan si ibu. Dia menempatkan aturan yang akhirnya termakan aturan itu sendiri. Dia tidak tahu akan ketidaktahuannya. Dia mengabaikan hak-hak bicara anaknya untuk berbuat sesuatu. Karena disandra oleh aturan yang irasional. Walaupun sudah menjadi ‘deal’ tapi suatu aturan yang terlalu bias pada ‘kekuasaan’ si ibu sendiri. Sehingga anak kesayangannya tak mampu berbuat yang lebih baik ketimbang kepasrahan semu.. Maka fenomena tragis..tak tahan kencing….terjadilah. Yang nanggung malu bukan saja sang anak tapi juga sang ibu. Akhirnya dia juga harus mengeluarkan uang di koceknya buat sebuah celana panjang. Padahal ingin hemat. Paradox of thrift!
Cerita di atas hanyalah gambaran imajinasi saja. Saya percaya kalaupun benar-benar pernah terjadi, namun fenomena seperti itu sudah semakin banyak berkurang. Saya yakin kaum ibu sebagai pemeran utama keberhasilan pendidikan anak-anaknya tidak mungkin berbuat seperti contoh di atas. Wallahualam. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (an-Nahl; 78)……..dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka (Maryam; 32).
Diadaptasi dari Tb.Sjafri Mangkuprawira.2007.Coretan Seorang Dosen: Rona Wajah, IPB Press.
Juni 21, 2007 at 5:22 am
Mungkin ini juga yang terjadi di IPDN, kondisi seorang anak dan ibu bisa dianalogi di sini.
Juni 21, 2007 at 7:07 am
Wah,kasus di IPDN lebih kompleks rul. Suatu sistem pendidikan yang cenderung menyimpang dari norma pembelajaran yang wajar.
Juni 22, 2007 at 1:28 pm
Mencerahkan sekali …..
Sungguh saya sedang belajar dan akan terus belajar untuk tidak menjadi Ibu seperti yang bapak Tulis ….
Mudah – mudahan …..
Juni 22, 2007 at 6:01 pm
ya ms seventeenosix,
semoga menjadi ibu yang bijak.
salam
September 21, 2007 at 6:50 am
gambaran yang tepat buat pemda yang bikin perda sembarangan.
September 21, 2007 at 6:35 pm
ya benar mas alris…masih banyak contoh lainnya…..
September 23, 2007 at 11:05 am
Pak Sjafri maaf comment saya agak melenceng, tapi saya terarik dengan statment kedisiplinan dan kepatuhan,
Kadang kedisiplinan dan kepatuhan di Indonesia tercinta ini bisa jadi pedang bermatadua..Tapi saya rasa rakyat Indonesia (pada umumnya, kecuali yang sudah dewasa pikirannya, karena dewasa umur belum tentu) masih harus didisiplinkan dan “dipatuhkan” seperti zaman dahulu saat eyang Soeharto berkuasa, saat ini semua sudah melenceng diluar jalur dan terlalu panjang untuk menceritakan tentang keluar jalurya itu…Saya jadi berpikir lebih tentram dan sejahtera seperti dahulu dengan “disiplin dan patuh” dibanding sekarang, yang saya rasa there’s no law in my lovely country..Apakah ini berarti saya tidak reformis?
September 23, 2007 at 3:19 pm
bung felix….hemat saya penanaman karakter disiplin secara dini seharusnya dimulai dari sosialisasi di dalam keluarga dan sekolah……kemudian dalam prakteknya dibutuhkan keteladanan dari pimpinan…..nah inilah yang susah pada era sekarang ini…..
September 24, 2007 at 12:26 am
Setuju sekali,pak..susahsekali mencari pimpinan yang dapat dijadikan pautan saat ini.. Terkait pimpinan dan pemilihan rektor IPB, kenapa tidak, bapak mencalonkan diri saja..biar ada pembaharuan di pola pikir. Saya dukung,pak
September 24, 2007 at 11:25 am
bung felix…saya sudah tua…tahun depan pensiun…mari kita percayakan pada anak muda yang punya kepemimpinan amanah, arif-bijak, visioner, dan mampu membangun jejaring nasional dan internasional….