Februari 2012


 

      Agak aneh membaca judul ini. Rasanya tanpa berpikir tak mungkin keputusan bisa diambil dengan cermat. Betulkah dugaan seperti itu?. Tidak selalu seperti itu. Tidak percaya? Coba saja secara sederhana ketika tiba-tiba tangan anda disodorkan geretan yang menyala oleh teman anda. Ketika itu pula secara refleks anda menghindari api. Contoh lain ketika tangan anda dicubit segera pula anda menolak tangan sang mencubit. Ketika itu terjadi apakah anda sempat berpikir apa yang terjadi, mengapa itu terjadi, dan bagaimana bisa itu terjadi dsb. Lalu anda tidak usah memikirkan apa yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Semua semua serba cepat. Bisa jadi cuma membutuhkan dua detik pertama saja untuk sebuah kesimpulan dan keputusan solusi.

       Fenomena keputusan yang tidak membutuhkan analisis dan pembuktian cermat bisa juga terjadi di bidang manajemen sumberdaya manusia. Misalnya ketika seorang manajer sedang berhadapan dengan seorang karyawannya yang kurang jujur. Manajer tidak harus secara mendalam menganalisis penjelasan sang bawahan ketika ia menegurnya. Coba saja dilihat dari gaya bahasa tubuh sang bawahan. Dalam waktu sangat singkat bisa dilihat dari gerak gerik mulutnya yang gagap, sorotan matanya tidak konsentrasi, kerap menunduk, dan bahkan telapak tangannya basah. Begitu pula kalau manajer sedang menghadapi turbulensi internal gara-gara protes karyawannya tentang manajemen kompensasi. Karena itu sebagai kebutuhan karyawan maka manajer bisa segera mengetahui apa masalahnya dan bagaimana mengatasinya.

       Contoh kasus-kasus di atas diilhami dari buku berjudul Blink karya tulis Malcom Gladwell. Dia mengatakan tentang dua detik pertama yang sangat menentukan ketika kita mengamati sesuatu. Pemahaman dalam waktu yang sekejap itu terbentuk berkat pilihan-pilihan yang muncul dari komputer internal. Disitu ada kemampuan bawah sadar seseorang. Kemampuan itu sering disebut sebagai kemampuan berpikir tanpa berpikir dimana keputusan sekejap yang didapat dari informasi relative sedikit namun akurat. Misalnya para ahli cicip makanan yang mampu membedakan kue bermutu tinggi dan rendah. Begitu pula orang yang mencicipi teh mampu menilai segera tentang kualitasnya. Juga akhli menghitung umur dan keaslian patung dapat segera menentukan keaslian atau kepalsuan patung. Orang-orang seperti yang diungkapkan dalam blink adalah mereka yang telah terlatih menentukan keputusan sesuatu tanpa harus didukung banyak informasi dan waktu yang lama.

 

       Tiap orang apakah dia sebagai manajemen puncak maupun karyawan operasi (operator) pasti pernah mengalami kelelahan kerja. Kelelahan baik dalam segi fisik maupun mental dan bahkan mungkin sekaligus kedua-duanya. Kelelahan fisik dicirikan oleh otot tubuh yang lemah,sulit digerakkan, dan terkadang disertai rasa nyeri dan pusing. Biasanya disebabkan oleh lamanya duduk, lamanya menggunakan bagian fisik tertentu seperti tangan, kaki, mata, dan telinga. Kalau berlanjut tanpa perlakuan bisa menyebabkan penurunan stamina, mudah emosi, dan sulit tidur.

        Sementara itu kelelahan mental dicirikan oleh sulit berpikir atau berkonsentrasi, gelisah, sulit tidur, dan berikutnya bisa mengalami penurunan stamina. Kelelahan jenis ini biasanya disebabkan terlalu banyak berpikir, terlalu luasnya lingkup dan bobot aspek permasalahan yang dihadapi, dan ketahanan emosi yang lemah serta kurang relaksasi. Selain itu bisa jadi orang seperti itu jarang bersosialisasi. Kalau dibiarkan akan menyebabkan emosinya semakin peka, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, stres, dan tidak jarang lalu mengisolasi diri.

        Akibat logis dari jenis kelalahan apapun terhadap individu yang bersangkutan adalah penurunan kinerja. Semakin sering dan beratnya kelelahan yang dihadapi seseorang semakin sering tidak masuk kerja. Ujungnya adalah kinerjanya rendah. Dan cenderung jenis kelelahan akan berhubungan dengan jenis dan beban pekerjaan seseorang. Karyawan yang lebih banyak bekerja dengan menggunakan otot ketimbang otak akan semakin mudah mengalami kelelahan fisik. Sementara di kalangan manajemen yang sering menggunakan otak untuk berpikir akan berpeluang mengalami kelelahan mental. Walaupun demikian kedua jenis karyawan itu (manajemen dan nonmanajemen) bisa saja megalami dua jenis kelelahan sekaligus. Yang membedakan adalah bobotnya kelelahan. Bagaimana mengatasinya?

        Mengelola kelelahan kerja bisa dilakukan oleh setiap individu dan atau secara terorganisasi. Secara individu bisa dilakukan dengan prakarsa karyawan bersangkutan. Merekalah yang sangat mengetahui jenis kelelahan yang dihadapinya. Sementara organisasi atau perusahaan dapat melaksanakan program peningkatan kinerja karyawan secara reguler dimana di dalamnya ada subprogram mengurangi kelelahan kerja karyawan. Pedekatannya cenderung beragam yang sangat bergantung pada jenis kelelahan dan penyebabnya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah sistematis.

       Berdasarkan volume dan bobot kelahan kerja maka Individu karyawan sebaiknya melakukan langkah-langkah berikut yakni (1) menelaah penyebab mengapa terjadi kelelahan kerja, kapan saja, dimana, dan ketika mengerjakan apa; (2) kalau dirasa terlalu berat perlu melakukan konsultasi dengan orang yang ahli dan berpengalaman; (3) melakukan pemulihan kelelahan dengan cara berolahraga secara teratur, tidur yang cukup, bersosialisasi, relaksasi, dan kalau dianggap perlu berobat ke dokter; dan (4) meminta cuti kerja.

       Mengatasi kelelahan kerja oleh perusahaan dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut; (1) melakukan analisis kinerja karyawan dan organisasi; (2) menelaah hubungan kinerja dengan kelelahan kerja karyawan; (3) menganalisis jenis uraian kerja dan beban kerja hubungannya dengan kinerja; (4) menyusun program peningkatan kinerja khususnya subprogram mengurangi kelelahan kerja; (5) melaksanakan program peningkatan kinerja secara teratur; dan (6) mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan program dan kinerja karyawan/organisasi.

 

         Adakah beda antara kemiskinan absolut dan kemiskinan nurani? Beda dua bentuk kemiskinan itu sangat signifikan. Kemiskinan absolut disebabkan minimnya, bahkan nol, akses sumberdaya fisik dan non-fisik yang dimiliki seseorang untuk berusaha. Yang dimiliki tinggal tenaganya saja. Akibatnya kebutuhan hidup walau minimum tidak terpenuhi secara cukup. Sementara kemiskinan nurani tidak selalu sejalan dengan kemiskinan absolut. Artinya bisa jadi secara fisik seseorang kaya harta atau berstatus sosial relatif tinggi tetapi ternyata miskin nurani. Lebih tegasnya kemiskinan nurani ditunjukkan dengan kurangnya kepekaan dalam bentuk kepeduliaan dari seseorang atau sekelompok orang akan keadaan lingkungan masyarakat yang tertinggal.

          Sebaliknya mereka yang tergolong miskin harta bisa jadi kaya akan nurani. Saya sering meneteskan air mata ketika melihat acara serial khusus di salah satu saluran televisi dimana ada seseorang yang termasuk golongan tidak kaya, hidup pas-pasan, ternyata secara ikhlas mau menolong mereka yang membutuhkan bantuannya. Ada yang membantu dalam bentuk uang seadanya, pakaian, makanan, tenaga dan bahkan ada yang mendonorkan darahnya untuk membantu seseorang yang akan dioperasi. Ternyata di dalam nuraninya tersimpan mutiara hati kepedulian untuk merasakan penderitaan orang lain. Itulah suatu miniatur sosial si miskin harta tapi kaya nurani. Namun yang jelas ada juga seseorang yang kaya harta dan sekaligus kaya nurani. Subhanallah.

         Ketika beberapa hari lalu tersiar berita ada anggota DPR yang jadi tersangka lagi karena kasus suap untuk suatu proyek tertentu, saya hanya mengurut dada. Betapa begitu galaunya hati ketika kemiskinan masih merajalela namun di sudut sana ada individu yang miskin nurani. Mudahnya keputusan untuk berbuat moral hazard seakan tak ada lagi kisi-kisi norma etika berkehidupan sosial. Solidaritas sosial dikorbankan demi kepentingan individu.

         Bandingkan dengan fenomena ini yakni kalau DPR sedang membahas adanya berbagai fasilitas mewah DPR. Pasti mereka tersenyum simpul dan mengiakan. Mengapa mereka begitu teganya menutup mata-telinga dan hati ditengah-tengah penderitaan rakyat? Dimanakah kekayaan nurani mereka yang mengaku dirinya wakil rakyat? Kemana bersembunyinya hati nurani mereka yang tergolong lantang sering mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini?